THE WEDDING

14 0 0
                                    

Ingatan masa-masa emas kita kembali mendatangiku. Saat pertama kali kita berkenalan kemudian bersahabat selama tiga tahun. Kami bercanda, tertawa, menonton film bersama, bernyanyi, menangis, kemudian berseteru. Segala naik turun kehidupan pernah kami lewati bersama.

Tapi aku lelah. Lelah dengan drama dan ketidakpercayaan yang terus terjadi. Perseteruan yang berakhir dengan menyakiti. Aku sudah tak mau lagi mengalaminya. Aku benar-benar ingin lepas dari racun-racun kehidupan seperti itu. Semua itu hanya akan menghabisi energiku.

Aku ingat pagi itu di kantor polisi, seorang petugas mengizinkan Lyla masuk untuk mengunjungiku tepat sehari setelah kejadian. Aku masih ingat dia masuk dengan kepala diperban dan kantung matanya bengkak.

"Darl. Kau sudah tahu keadaan Caroline? Aku sedikit kecewa sebenarnya." tutur katanya begitu pelan tapi bagiku terasa tajam berbisa. Kemudian ia duduk dan menatapku prihatin. "Kita pastikan tidak ada yang akan menuntutmu maka kita bisa berteman lagi."

Aku terdiam. Ruangan 5x5 ini terasa sunyi senyap. Lyla tersenyum sambil menunggu responku.

Dulu aku pernah memafkannya. Tapi kali ini aku tak mau ambil keputusan terlalu cepat.

Pandangan kami saling beradu untuk beberapa lama.
_____________________________________

7 Tahun Kemudian

Aku duduk menghadap cermin, memperhatikan lamat-lamat riasan wajahku dan gaun putih yang sedang kukenakan. Meskipun ini bisa jadi penampilan terindah dalam hidupku, tapi hatiku merasa amat kosong. Aku tersenyum sebentar sambil melirik mahkota indah di kotak berwarna putih, menimbang-nimbang kapan aku siap mengenakannya di atas kepalaku.

"Darla, Darla." tiba-tiba dua orang yang paling aku sayangi sepanjang hidupku merangsek masuk ke dalam kamarku. Alea dan Louisa.

"Hai!" wajahku otomatis berubah sumringah ketika menyapa dan mencium kedua pipi mereka.

"Come on, apalagi yang kamu tunggu, Darl. Semua orang sudah menunggu kamu." seru Louisa tak sabaran. Dia mengecek penampilanku lantas terdiam melihat wajahku. Wajahnya berpaling ke Alea yang sudah lebih dulu terdiam.

"Apa yang membuatmu ragu?" Tanya Alea hati-hati. Keduanya lalu mengambil kursi, duduk di hadapanku. "Lyla?"

Aku tersentak mendengar nama itu disebut. Kemudian murung dan mataku mulai berkaca-kaca.

"Apakah keputusanku sudah tepat? " isak tangisku pecah. Alea dan Lyla langsung memelukku dan menenangkanku. "Aku merasa bersalah melakukan ini."

Alea berdehem dan mengangkat wajahku. "Lyl. Berhenti memikirkan si gila Lyla. Dia takkan pernah berubah menjadi lebih baik. Dia akan selalu membencimu dan melukaimu. Coba sekarang kau pikirkan kebahagiaanmu. Tujuh tahun sudah lebih dari cukup kau menanggung rasa sakit yang dia buat. Saat ini kau harus bahagia dengan pilihanmu."

"Sekarang saatnya kau melepaskannya Darl. Kau pantas mendapatkan kebahagian untuk dirimu sendiri. Biarkan Lyla menanggung pembalasannya. Jangan lagi kau pedulikan dia." timpal Louisa seraya menghapus air mata di pipiku. "Lagipula kita sudah datang jauh-jauh ke Prancis, masa kau tidak jadi menikah?"

Kami saling berpandangan lantas cekikikan serempak. "Terima kasih sudah menemaniku di masa-masa sulit ini The Girls."

"NO! Sekarang tidak ada The Girls. Yang ada hanya Darla, Alea, dan Louisa." Louisa cepat-cepat meralat ucapanku. Kami bertiga pun lagi-lagi tertawa.

Tiba-tiba ketukan pintu kamar dari luar menghentikan tawa kami. Alea dan Louisa bangkit dan merapikan gaun anggun mereka. Kemudian Alea memberi saran singkat "Calon pengantin pria pasti sudah tidak sabar melihatmu. Hapus air matamu dan tambahkan sedikit bedak ya."

My PsychoPALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang