MY MISSION

35 0 0
                                    

Asal kalian tahu, ini adalah inisiatif yang aku lakukan sebab jika jadi aku, kalian juga takkan tahan melihat sahabat kalian selalu menangis karena seorang lelaki.

Kalian pasti bersikeras membantunya.

===================================

Jika aku setangkai bunga mawar, mungkin aku sudah terlihat layu dan satu persatu mahkota merah milikku sudah berguguran di atas lantai.

ARGHHHHHH Aku sungguh kesal ketika menunggu. Dua jam yang lalu aku bersikeras tidak pergi dari depan ruang musik di sekolah. Padahal arloji di tanganku sudah menunjukkan angka 18.00.

Hampir saja aku memutuskan menyerah, tiba-tiba pintu ruang musik dibuka dari dalam. Seorang lelaki berbehel keluar dengan beberapa lembar kertas di tangan kirinya. Wajah, rambut, dan seragamnya sama-sama kusut. Lelaki itu melewatiku padahal aku sudah berdiri dan memasang senyuman lebar-lebar.

"Charlie!" pekikku sebelum dia makin jauh.

Charlie menoleh dengan malas-malasan. Dahinya berkerut menatap wajahku dari kejauhan. oh jangan-jangan dia tidak mengenalku. Terakhir kali aku berinteraksi dengannya adalah saat kelas tingkat pertama ketika aku lebih memilih Lyla untuk menjadi rekan sebangku. Aku bergegas menghampirinya. Masih dengan senyuman lebar, aku berusaha mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.

"Darla. Dari kelas...."

"Aku tahu siapa kau. Pesta ultah yang gagal!"

Mataku terbelalak bersamaan dengan wajahku yang merah padam.

"Just Kidding" cepat-cepat Charlie meralat diselingi tawa singkat "Tentu saja aku kenal kau, my first chairmate"

Entah mengapa amarahku menghilang begitu saja seakan terhapus oleh deretan karet behel yang menghiasi gigi putihnya. Sangat manis.

"Lalu, mau apa? Aku sangat sibuk." ujar Charlie dengan nada ketus.

"Kau pikir cuma kau saja yang sibuk! Aku menunggumu sejak bel pulang berbunyi itu bukan pengorbanan?! Lalu kau mau pergi begitu saja?!!" aku menghardiknya. Tersinggung karena dia begitu pongah.

Charlie melongo menyaksikan reaksiku. Aku melihat perubahan wajahnya menjadi tegang. Dia memilih memperlebar jarak diantara kami, kemudian bertanya takut, "Kalau begitu, jadi apa maumu?"

Sedikit puas dengan rasa takut yang sangat terbaca di wajahnya, aku berusaha merendahkan nada suara.

"Simple saja. Aku ingin kau menjadi pengiring musikalisasi puisiku." Aku kembali menunjukkan senyuman lebar pada lelaki setinggi 170cm itu ditambah dengan bola mata hitamku yang sengaja dibuat berbinar terang. Aku yakin kali ini Charlie tak bisa menolak.

Namun, ternyata aku salah. Dengan cepat Charlie membalasnya dengan gelengan kepala.

"Apa maksudmu?!" Lagi-lagi nada suaraku naik tiga oktaf.

"Kau tahu alasan mengapa aku ada di dalam sana?" Tak mau kalah, Charlie meninggikan suaranya sambil menunjuk pintu ruang musik. Entah dari mana asal emosinya, kini aku yang merasa ketakutan.

Aku ragu-ragu menggeleng. Charlie buru-buru menarik nafas dalam untuk mengontrol emosinya. "Darla, aku itu baru saja mengikuti ujian remedial pelajaran musik. Jadi intinya, kau akan sia-sia meminta bantuanku. Aku bukan pemain musik yang andal."

"Tidak masalah!" Aku hampir menjerit ketika Charlie hendak pergi. Kali ini aku tak sadar menarik tangannya sangat kuat. "Aku cuma butuh kau saja."

My PsychoPALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang