Kekalahan bukanlah akhir dari segalanya.
Pepatah itupun ternyata berlaku untukku dan Lyla.
---------------------------------------------------------
Sejak kejadian Charlie mengamuk di kantin sekolah, semua murid seakan tidak mau berurusan lagi denganku maupun Lyla. Dalam kasusku, teman-teman sekelasku memilih menghindariku semisal tidak mau satu kelompok denganku. Kalaupun ada, mereka hanya akan menghubungiku lewat chat SMS atau di Facebook. Sementara itu, dari desas desus yang kudengar, nasib Lyla lebih parah. Kadang ada beberapa anak lelaki yang tega mengolok-oloknya di kantin sehingga dia sering tidak makan siang.
Aku pun pernah berpapasan dengannya sekali di lorong. Ia berjalan menepi sambil memeluk ranselnya. Wajahnya yang dulu ceria penuh percaya diri kini terlihat pucat dengan tubuhnya yang makin lama makin kurus. Meskipun begitu, aku bersyukur Alea dan Louisa masih setia mendampinginya. Tak apa, mungkin saat ini Lyla lebih membutuhkan dukungan keduanya dibanding aku.
Saat itu juga terlintas di dalam pikiranku bahwa kondisi Lyla nampak lebih menyedihkan dibanding diriku. Sebersit rasa kasihan muncul di dalam hatiku. Oleh karena itu, selepas kelas Filsafat, aku memutuskan untuk mencari Alea dan Louisa.
Bagaikan sebuah kebetulan, tiba-tiba seseorang memanggilku dari balik pintu ruang radio sekolah. Aku menoleh dan melihat Louisa berdiri sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku pun menghampirinya dengan perasaan was-was. Bagaimanapun juga Louisa tidak pernah memihakku selama perseteruanku dengan Lyla. Bisa jadi ini sebuah jebakan.
Dengan anggukan sekali, dia menyuruhku masuk ke dalam ruang radio dan di sana sudah ada Alea. Aku makin terkejut karena ternyata Lyla juga ada di sudut ruangan, melambaikan tangannya sambil tersenyum tipis ke arahku. Ia duduk dengan tenang di sofa merah. Ketiganya menatapku dingin.
Aku melangkah masuk ragu-ragu sambil mendekap tasku erat-erat di pinggang. "Hai, Darl." Lyla menyapaku dengan suaranya yang lembut. Begitu lembut sampai aku tak begitu yakin situasi ini nyata.
Louisa yang berada di belakangku kemudian menutup pintu.
"Tenang Darl. Ini bukan penindasan atau penyanderaan." cepat-cepat Louisa meralat karena dia menangkap gerak gerikku yang tidak nyaman.
"Ya, Darl. Aku yang meminta kita semua berkumpul di sini. Apakah kau tidak rindu dengan komposisi THE GIRLS? Saat-saat kita berkumpul bersama di kamarmu?" tanya Lyla tanpa bergeser satu senti pun dari posisi duduknya.
Aku memilih tak menjawab, walaupun sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa aku memang kehilangan kalian semua. Mungkin perasaan inilah yang membuatku tak ragu untuk masuk ke ruangan ini.
Mendadak Lyla terkekeh, "Sungguh, aku merindukan masa dimana kita berkumpul dan nonton Twilight Saga, bertengkar memperebutkan siapa yang menjadi Bella Swan, Alice, dan Rosalie. Lalu, Alea selalu mengalah dan ia akan menjadi Carlislie."
Bergantian aku melirik Alea kemudian menoleh ke Louisa. Keduanya nampak menunduk dan memilih tidak menimpali ucapan Lyla. Beberapa kali aku mendengar keduanya meringis. Sedih
" Aku ingin meminta maaf padamu, Darl." sahut Lyla sambil bangkit dan perlahan berjalan mendekatiku.
Jantungku mendadak berdetak kencang seakan tak percaya. Ini terlalu cepat. Baru saja aku merasa kasihan pada Lyla beberapa saat lalu dan sekarang kami sudah berhadapan kemudian meminta maaf.
"Darl." Lyla menggenggam tanganku. Jaraknya sungguh dekat hingga aku bisa menatap wajahnya yang pucat dan matanya yang celong. Dia tersenyum padaku kemudian memelukku. "Aku tahu selama ini aku telah salah menyakitimu dan mempermalukanmu di hadapan satu sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My PsychoPAL
ChickLitAku pikir dengan mengampuninya bisa mengubah dia menjadi pribadi yang lebih baik. Nyatanya dia justru semakin menjadi-jadi, menciptakan drama-drama agar aku bertahan di sisinya. Esok adalah kesempatan emasku. Kali ini aku harus membulatkan tekad un...