BAD BLOOD

25 0 0
                                    

Persahabatan tanpa perseteruan?
Mustahil. Justru itulah yang  akan memperkuat tali persahabatan.

Tapi, setelah dipikir-pikir kau boleh berseteru tentang masalah apapun kepada sahabatmu, kecuali satu.

MASALAH LELAKI.

====================================

Mungkin ini sudah ke seribu kalinya aku berusaha menelpon Lyla namun tidak diangkat. Aku paham dia masih marah karena siang ini dia telah menyaksikan aku dan pujaan hatinya -seakan-akan- tengah berpelukan.

Jika Lyla mengangkat telepon ini, aku ingin mengatakan kejadian semestinya, bahwa saat itu aku sedang kalut. Banyak emosi yang berkutat di dalam pikiranku setelah turun panggung. Mulai dari bayangan si brengsek Mathieu, Ivy League, dan perasaan bahagiaku ketika melihat para penonton memberikan standing ovation. Tak heran bila aku hanya ingin melepas beban ini. Melepasnya dengan tangisan bukanlah hal yang salah kan?

Yang salah hanyalah waktu. Waktu dimana Charlie adalah satu-satunya orang di sisiku saat itu, membuatnya terpaksa menenangkanku dengan dramatis. Dia memang sangat jelas memelukku dan aku menangis tepat di dadanya.

Sungguh, aku benar-benar ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya malam ini juga. Tak masalah jika aku harus mencoba panggilan telepon ribuan kali lagi. Aku takkan menyerah, Lyl.

***

Suara klakson mobil dan teriakan Mom memanggil Dad membuatku hampir loncat dari tempat tidur. Aku terbangun dengan kepala super pening. Kulihat jam di dinding sudah menunjukan angka 7.

SIAL!

Kali ini aku loncat sungguhan ke arah jendela dan berusaha berteriak meskipun yang keluar hanya suara parau khas orang baru bangun tidur. "MOM, DAD, TUNGGU DARLA 5 MENIT!"

Mom mendongak melihatku lalu menutup pintu mobil kesal. Tangan kanannya berkacak pinggang kemudian mengadu kepada Dad yang baru keluar rumah.

Aku bergegas menanggalkan baju tidur dan menggantinya dengan seragam olahraga yang sudah tergantung di kenop pintu lemari. Aku bersyukur tidak mengikuti saran THE GIRLS untuk memecat Nancy akibat kejadian di malam ulang tahunku. Kalau bukan karena Nancy yang setiap malam menyediakan seragam sekolah untukku, aku pasti sudah tamat hari ini.

Setelah berhasil memakai sepatu dalam tiga detik, aku menyambar tas sekolah dan berlari menuruni anak tangga. Sesampainya di depan mobil, Mom bertanya sambil masih berkacak pinggang "Mom pikir kau sudah berangkat bersama Lyla."

Aku yakin tak perlu menjawab pertanyaan Mom dan memilih masuk ke dalam mobil secepatnya. Jelas saja, penyebab keterlambatanku bangun pagi karena usahaku menelpon Lyla semalaman. Dia pasti jidak menjemputku karena masih marah. Dan sudah bisa ditebak, aku akan benci setengah mati karena terjebak bersama Mom dan Dad di perjalanan ini. Mereka akan menyeramahiku dengan topik membosankan seperti Ivy League dan rencana masa depanku.

Oh, kalau bukan karena tak ingin melewatkan ujian senam lantai di jam pertama dan bergegas menemui Lyla, aku bisa saja turun dan memilih jalan kaki menuju sekolah.

Tepat 30 menit kemudian aku tiba di gerbang sekolah. Petugas penjaga gerbang akhirnya memperbolehkanku masuk setelah Mom menggunakan diare sebagai alasan keterlambatanku. Kali ini aku sependapat dengan Mom. Aku bergegas mencium pipinya kemudian fokus berjalan memasuki bangunan sekolah.

Setibanya di lapangan, aku segera berlari masuk ke dalam barisan dan melakukan pemanasan. Di tengah-tengah lapangan seluruh teman sekelasku sedang berbaris untuk mengambil nilai. Awalnya aku tidak merasakan hal yang aneh namun lama kelamaan aku merasa tidak nyaman karena teman-teman yang sedang berbaris sering memandangiku diam-diam lalu berbisik kepada satu sama lain. Sesekali aku mendapatkan mereka tersenyum jijik.

My PsychoPALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang