1. First Reason: Lamaran Sindiran

49 2 0
                                    

Gadis yang baru turun dari mobil ferari biru itu Jelita namanya. Benar kata Ayah dia sangat cantik. Bibirnya mungkin berselimut madu hingga nampak manis ketika tersenyum menyapa setiap orang di sekelilingnya. Ia tidak berlama-lama mengobrol dengan teman sebayanya hingga kemudian tenggelam-sibuk dengan dunianya sendiri dibalik tumpukan buku yang menjulang. Ia berasal dari salah satu keluarga kaya di kota metropolitan yang juga ku tinggali, namun nampak benar ia cukup asing untuk tau betapa aku memperhatikannya seminggu terakhir. Lewat kaca spion mobil aku melihatnya berjalan melewatiku tanpa kehilangan fokus dari buku yang dibacanya.

"Dia juga suka membaca, kalian akan nyambung dalam pembicaraan apapun" kata Citra tak kehilangan senyuman indahnya ketika mengungkapkan sebaris kalimat pujian itu. Perempuan berbusana formal itu sedang memeriksa schedule-ku.

"Apa kau baru akan merasa lebih baik jika aku menikahi gadis itu?" Demi apapun ku harap Citra akan menolak kali ini.

"Tentu" Tapi dia tetap tangguh seperti sudah jadi karakternya. Karakter yang juga membuatku jatuh cinta teramat sangat padanya.

"Kau akan pergi kemana?" Tanyaku selalu tak suka ketika dia sengaja menjaga jarak atau bahkan terang-terangan membatasi hubungan kami.

"Aku akan menyiapkan dokumen perjalanan bisnismu ke Jepang besok. Kau pun, setelah mengawasi gadis itu lekaslah pulang dan istirahat agar kau kembali segar besok, Presedir" Ia memberikan penekanan pada kata 'Presedir' fakta yang menamparku akan kenyataan kami tidak akan bisa bersama kecuali ku lepas warisan juga jabatan sialan ini.

Citra turun dari mobil tanpa ku bukakan pintu juga tak minta diantar atau sekedar di-stop-kan taksi seperti yang biasa pria lakukan pada wanitanya. Dia teramat mandiri dalam segala hal hingga sepertinya kehadiranku dalam hidupnya memang tak begitu ia butuhkan.

Apapun itu, aku tetap tak bisa tidak mencintainya. Berlawanan dengan keadaan yang memaksaku memilih gadis yang kini tengah menyebrangkan lansia beberapa meter dari tempat mobil ini terparkir.

Jelita. Dia kelihatan begitu murni dan bersinar dalam kesederhanaannya. Seandainya  terpaksa menikahinya aku tidak akan suka membuat senyum ceria itu menghilang.

"Kau mengambil alih parkiran juga? Tubuhmu bau" Sindir Sarah sinis. Dia adikku, anak kedua dalam keluarga kami. Karena banyak alasan ia tidak menyukaiku dan sejujurnya aku tak peduli. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali kami berbicara layaknya saudara.

"Kau menemui pria di kencan buta terakhir kali?" Mendadak aku teringat pernah melihat Sarah makan di restaurant langganannya bersama pria itu. Pria yang juga ku kenal.

"Bagaimana kau tau? Kau membayar seseorang untuk menguntitku?" Sarah tak sadar pertanyaanku hanya untuk menggodanya saja.

"Pria itu junior-ku di kampus"

"Kakak tau semua nama Junior di kampus? Apa itu masuk akal?"

"Riva Zain Adhitama, aku bahkan ragu kau tau nama panjangnya"

"Ish!" Sharah mengumpat kesal lantas pergi ke kamarnya. Adikku yang satu ini nampak menggemaskan dengan caranya sendiri.

"Kakak sudah pulang?" Adikku yang paling bungsu terlihat menuruni tangga dengan sebelah mata masih mengawang.

"Apa suara klakson mobil kakak mengganggu tidur siangmu?" Cherry menggeleng ringan sambik terus menggosok matanya yang memerah dan sedikit bengkak.

"Suara Mbak Sarah yang yang membuatku bangun. Mbak Sarah hanya menaikkan volume suaranya pada Kak Jibril"

"Lantas mana Kakakmu yang satunya lagi? Kakak tadi di telfon sekolahnya karena dia membolos dua hari terakhir" Aku hampir saja melupakan tujuan sebenarnya kepulanganku.

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang