5. Musim Dingin 'Bag. 1'

13 0 0
                                    

Aku tak mengira keputusan yang ku buat mendadak itu akan menciptakan segala yang tak kalah mendadaknya. Seminggu kemudian Tn. Anggara datang meminangku untuk Mas Jibril. Pinangan yang keluargaku setujui tanpa meminta pendapatku. Yah memang bukan berarti aku hendak menolak namun tetap saja ini terlalu cepat mengingat kami intens bertemu belum genap sebulan ini. Dan bagaimana dengan program S2 ku? Apa aku harus berhenti karena pernikahan ini?

"Kau habis menangis?" Tanya Mas Jibril begitu acara lamaran usai. Semua orang masih di dalam manikmati jamuan sambil berbincang-bincang merancang pernikahan kami yang akan digelar minggu depan.

Mas Jibril mengajakku bicara di teras menjauhi keramaian. Teras depan rumah kami sudah tak seberantakan sebelumnya karena kemarin Mama Carra meminta jasa ahli taman merapikan dan mengatur ulang semuanya. Ajaib, seperti Bandung Bandawasa membuat seribu candi dalam semalam, Para ahli kebun itu menyelesaikannya seharian tepat sebelum fajar tenggelam.

"Lita..." Suara barithone itu memanggil namaku lembut karena tak kunjung mendapat responku. Biarlah, sejujurnya aku sangat kesal. Dia tak menanyaiku lebih dulu mengenai lamaran ini. Apa menurutnya aku bukan perempuan yang cukup layak untuk dilamar secara pantas?

"Kau pasti marah padaku karena aku-

"Lita lelah, mau ke dalam" potongku buru-buru tak peduli dengan apa yang akan ia fikirkan.

"Kita bisa batalkan jika kau tak menginginkan pernikahan ini" ujarnya seperti mantra yang selalu berhasil membuatku tak berdaya.

"Kemudian kami hancur? Anda tau saya tidak akan bisa begitu."

Aku memutar tubuhku kembali menghadapnya. Tubuhku bergetar marah dan mungkin ekspresi wajahku pun menunjukkannya. Segala kekesalan yang ku simpan di hati.

"Jadi kau hanya sedang marah padaku saja rupanya,"

Sial. Apa aku tertangkap sekarang?

"Saya t-tidak marah, kok"

"Kau bicara formal dan sedari tadi kau menghindari bertatapan denganku, kalau bukan marah lantas apa, hemm?" Apa dia selalu bisa membaca pikiran orang lain begini?

"Saya... itu... anda meremehkan saya, bukan? Anda tak menanyakan pendapat saya lebih dulu"

"Bukankah kita sudah sepakat untuk segera menikah-

"Tapi tidak secepat ini. Minggu depan- anda serius? Apa anda sendiri siap untuk-

"Menjadi pria beristri?"

"Ya. Itu" aku mengiyakan.

"Ku rasa kau bukan tipe istri yang akan mengekang suami. Asalkan kau tetap seperti Lita yang ku kenal saat ini maka ku jamin semuanya akan sama seperti harapan kita"

Apa maksud perkataan pria ini? Dan tatapan asing apa itu? Apa dia sedang mendikteku untuk menjadi istri yang patuh kelak?

"Lita," panggikan lembut itu kembali menyeretku ke kesadaran.

"Ya?"

"Aku punya hadiah untukmu"

"Hadiah?"

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang