11. Kau, Yang Hatinya Tak Pernah Disentuh Cinta

8 1 0
                                    

PRAK!

Jelita mendengar suara pecahan keramik lagi. Entah yang ketujuh atau kedelapan kalinya Tn. Airlangga melempar barang-barang didalam ruangan tertutup itu. Cemas sudah pasti, Jelita mengkhawatirkan keadaan suaminya di dalam sana. Mika adik iparnya tak pernah selamat dari luka gores dan lebam setiap keluar dari ruangan Sang Ayah.

"Ayah paling membenci 'pelanggaran pertama'. Mika berakhir dengan lima jahitan di kepala dan patah lengan kanan saat pertama kali membuat Ayah kami murka"

"T-tapi Mas Jibril hanya-"

"Berselingkuh, mengencani putri pelayan dan mencemarkan nama keluarga. Ayah kehilangan Ibu kami karena salah satu darinya tapi beliau menghukum dirinya seumur hidup"

"Mas Jibril bahkan tidak berzina. Aku akan jelaskan sendiri pada Ayah" Jelita hendak menerobos masuk tapi saat itu juga pintu terbuka. Jibril keluar dalam keadaan kurang baik, wajahnya terluka serpihan kaca, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah.

"Jika kau sampai menceraikan Jelita, saat itu juga kau ku keluarkan dari daftar ahli waris" terdengar suara berang mengamcam Tn. Airlangga.

Blam. Seorang pelayan dengan cekatan menutup pintu sebelum Shara ataupun Jelita mencoba masuk.

"Mas, kita ke rumah sakit sekarang. Keadaanmu tidak baik" Jelita semakin panik ketika melihat luka Jibril lebih dekat.

"Aku baik-baik saja. Tolong tinggalkan aku" Bisik Jibril yang bisa dipastikan tidak sedang baik-baik saja.

Shara menahan Jelita mengikuti Jibril.

"Kakakku pasti sangat malu dipukuli diusianya. Kakak ipar, kau harus menahan dirimu"

Sampai saat ini menahan diri adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan. Tapi kali ini tidak, Jelita tau Jibril lebih dari rasa malunya sangat membutuhkan seseorang saat ini.

"Mas," Jelita meraih pergelangan tangan Jibril setelah berhasil mengejar langkah panjangnya di parkiran mobil.

"Kau pulanglah dengan sopir atau kau juga bisa ikut mobilnya Shara. Please, Ta, aku sedang ingin sendiri" Jibril menghindari kontak mata.

"Tidak. Anda ingin sendiri karena anda merasa bisa menangani semuanya tapi sesungguhnya tidak, masalah ini tidak akan terjadi jika anda bisa lebih kompeten" entah keberanian dari mana, Jelita menumpahkan kejengkelannya dengan volume suara tinggi.

"Oke. Aku memang tidak kompeten. Aku bahkan tidak berhak memilih pendampingku. Karena ketidak mampuanku kau sampai harus menjalani pernikahan yang tidak diinginkan ini. Jadi apa yang ayah, kau dan orang-orang harapkan dariku? Apa lebih baik aku mati saja? HAH?!"

Pria yang biasa mengunci rapat mulutnya dari membicarakan perasaan itu kini berteriak frustasi. Nafasnya yang biasa konstan kini menderu keras. Air mata jatuh dari sepasang gioknya. Demi apapun, Jelita tak suka melihat sisi lemah prianya. Tak suka jika harus terus peduli lantas larut lebih dalam.

"Setidaknya aku menikah bukan dengan orang yang ku benci, setidaknya orang yang tidak kompeten itu berusaha maksimal dalam pernikahan ini. Tapi, Mas, mati tidak pernah ada dalam tujuan siapapun. Akui saja kau ingin bahagia tapi tak mau berusaha, akui bahwa kau ingin semuanya damai dan menerimamu tapi kau sendiri tak pernah mau menerima dirimu sendiri. Aku yang akan mengakhirinya jika kau memang tidak mampu"

BUGH!

Jibril melayangkan tinjunya ke tembok. Jelita berbalik untuk kembali dikejutkan oleh pergelangan tangan suaminya yang bercucuran darah.

"Akh!" Jibril mengaduh sakit.

"Mas, kau tidak waras? Tanganmu! Coba gerakkan"

"Lepaskan aku. Kau- jangan peduli padaku! Aku terus meragukan keputusanku karena kau terlalu baik dan peduli padaku seperti ini" Jibri berusaha menampik gelitik dalam hatinya setiap tatapan sendu Jelita menusuk sisi terdalam dirinya yang selama ini ia tau hanya untuk Citra.

"Biarkan aku, biarkan aku peduli padamu karena aku bahkan tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Saat tak melihatmu aku terus memikirkanmu dan saat kau dipandanganku aku terus khawatir padamu"

Habis sudah. Jelita mengutuk dirinya yang tak biasanya terlalu banyak bicara. Jibril mundur selangkah setelah berhasil melepaskan lengannya dari genggaman perempuan yang kini nampak kebingungan itu.

"A-apa jangan-jangan kau,, mencintaiku?"

Tak sekalipun terlintas dibenak Jelita untuk menyatakan cinta kemudian ditolak. Tapi hari itu, tak hanya Jibril, dan Ayah mertuanya, Jelita pun ikut menggila. Mungkin karena pergantian musim, mungkin juga karena untuk pertama kalinya Jibril yang kuat dan teguh nampak begitu rapuh dan mudah rusak. Entah dari mana asal keberanian itu, Jelita menarik jarak, tangannya terulur melingkari leher suaminya. Jelita menepuk lembut punggung Jibril, menenangkannya dari ketakutan yang juga telah menguasai hatinya.

"Saya tau saya tidak boleh mencintai Anda maka jangan buat saya melupakannya bahkan untuk sesaat sekalipun"

"Maaf, maaf aku tak tau bagaimana harus bertanggung jawab padamu"

Apa yang lebih teragis dari permintaan maaf sebagai jawaban pernyataan cinta.

"Aku tak minta Mas bertanggung jawab, cukup biarkan aku terus peduli hingga aku bosan dan berhenti dengan sendirinya"

Jibril dapat merasakan rasa sakit asing dalam hatinya ketika mengetahui Jelita yang mencintainya berencana untuk berhenti peduli padanya suatu hari nanti.

"Aku boleh mengobati lukamu, kan? Aku takut bekas lukanya akan memburuk jika tak lekas diobati"

Jibril mengangguk, ia pasrah saja ketika Jelita meminta kunci mobil agar ia yang mengemudikan. Tak sampai lima belas menit Jelita menemukan apotek. Ia menepi untuk membeli antiseptik, perban dan plester. Ketika kembali didapatinya Jibril tertidur dalam posisi duduk bersandar. Saking lelahnya pria itu tak terusik meski Jelita membersihkan darah kering di lukanya dengan menggunakan antiseptik alkohol juga obat merah. Pekerjaan Jelita selesai tanpa gangguan, ia tersenyum melihat suaminya yang beberapa waktu lalu histeris kini tertidur tenang seperti bayi.

'Sejak kapan perasaan ini dimulai, untunglah kau tak menanyakannya, Mas. Karena aku tak mau memikirkannya juga tak mau berbohong padamu. Jatuhnya hatiku seperti jatuhnya kelopak bunga di musim gugur. Ia jatuh karena angin atau karena tangkainya tak cukup kuat, Si kelopak bunga tak pernah mempertanyakannya. Sebab itu ia tak pernah membenci angin maupun dahan'

"Tuan kenapa, Nyonya?" Tiba di mansion Petugas kamanan berlari menyambutnya.

"Tuan sakit, bisa tolong bawa tuan ke kamar?"

.

Menjelang malam Jibril terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap menemukan pemandangan asing. Ia menepuk sisi ranjangnya yang seperti dugaannya Jelita meletakkan kepalanya disisi ranjang, tertidur dalam posisi duduk di kursi selagi menjaganya.

'Hanya kau yang memperlakukanku seperti anak kecil' Batin Jibril.

"Mas, kau sudah bangun?" Jelita terusik dari tidurnya ketika Jibril merapikan anak rambut yang menutupi matanya.

"Kita dimana?"

"Rumah Ayahku. Ku fikir kau perlu beristirahat sedangkan perjalanan ke kota butuh setidaknya dua jam lagi"

"Apa yang Ayahmu katakan melihatku seperti ini?"

"Ayah sedang pergi berburu bersama teman-temannya sedangkan Mama Carra cukup tau bahwa ada privasi untuk tak mencampuri kehidupan pernikahan putrinya"

"Kau sangat dingin pada keluarga demi melindungi suami brengsek sepertiku"

"Ayah akan membunuhmu jika tau kita bercerai karena kau memiliki perempuan lain, jadi berhati-hatilah sampai kita benar-benar berpisah"

"Ta,"

"Hm? Mas tentu lapar, aku sudah minta Bibi buatkan bubur. Bubur buatan Bibi lebih enak dari buatanku jadi Mas pasti menyukainya" Jelita bangkit berdiri.

"Ta, dengarkan aku sebentar saja" Jibril meraih pergelangan tangannya, meminta Jelita kembali duduk.

"Baiklah, Mas mau bicara apa?" Jelita kembali ke tempatnya, tatapannya fokus pada Jibril.

"Aku... Aku tak mengapa jika kita terus seperti ini. Maksudku... Aku akan menyerah terhadap perceraian,, juga Citra"

. . .

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang