13. Malam, Kata Cinta dan Kabut di Matamu

10 1 0
                                    

Jelita mendengar suara ketukan pintu padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30. Jelita yang sudah memakai piamanya turun dari ranjang menuju pintu.

Pintu terdororong dari luar tepat saat Jelita membuka kuncinya. Jelita menatap nyalang pada tamu tak sopan yang terkesan menerobos masuk kamarnya itu.

"M-mas Jibril?" Dan seorang yang kurang ajar itu tak lain dan tak salah adalah Jibril, suaminya.

"Ta, aku boleh masuk, yah?"

"Untuk apa? Kalau ada yang anda ingin sampaikan, katakan saja disini" Jelita menutup jalan.

"Tapi, Ta, a-aku tak tau apa yang terjadi padaku. A-aku mohon, biarkan aku masuk"

"Mas kenapa? Tubuh Mas berkeringat banyak sekali. A-apa Mas kesulitan bernafas?" Jelita mendadak panik menyadari warna kulit wajah Jibril agak merah dan kelihatan tegang.

"Entah- setelah minum kopi yang Shara bawakan tubuhku mendadak terasa panas terbakar dan- jantungku berdegup keras sekali"

"A-aku akan panggilkan dokter, Mas masuk dulu. Aku ada minyak angin dan obat-obatan di tasku" Jelita minggir membuka jalan. Ia mencoba menghubungi nomor dokter pribadi keluarga Airlangga namun tak ada jawaban, mungkin karena sudah larut malam. Ia kembali memeriksa suaminya.

Jibril ada di kamar mandi, terdengar suara desahan keras dari dalam sana. Jelita mengetuk pintu setelah lima belas menit Jibril tak juga keluar.

"Mas, kau baik-baik saja? Apa kau muntah? Barangkali aku bisa membantu?"

Ketika Jelita hendak membuka pintu dan memeriksa langsung, Jibril keluar sendiri dengan tatapan aneh dan deru nafas memburu. Sebelum Jelita membuka mulutnya Jibril secara mendadak menciumnya dengan menggebu, kedua tangan Jelita di pegangnya erat agar tak memberontak.

Bugh! Jelita menendang lutut Jibril sekuat tenaga sehingga ia bisa melepaskan diri.

"MAS!"

PLAK! Berikutnya Jelita menampar Jibril tak kalah kerasnya.

"M-maaf, Ta. A-aku tak sanggup menahan diriku. A-aku merasa dahaga disuatu tempat dalam diriku d-dan aku membutuhkanmu" Jibril yang menggigil kedengaran sulit berbicara tapi Jelita terlanjur syok dan marah mendapatkan perlakuan tak pantas barusan.

"Apa kau waras? Kita akan bercerai dan kau memintaku melayani kebutuhan biologismu dengan cara seperti ini? Yang kau lakukan tadi adalah pelecehan, Mas. Keluar! Tolong keluar sebelum aku berteriak"

Tok. Tok.

"Jibril! Ini aku, apa kau didalam? Bril, ku mohon keluarlah!" Suara ketukan pintu dan teriakan perempuan di luar sana mengintrupsi ledakan marah Jelita.

"Siapa itu?" Jelita kembali menatap nyalang suaminya.

"Citra. A-aku tak boleh menemuinya dengan kondisiku yang seperti ini. Biarkan aku tidur di kamar mandi, kau kunci saja kamar mandinya agar aku tidak menyakitimu"

"Kenapa? Mas sangat mencintai Citra, kan? Bukankah ini kesempatan untuk kalian-"

"Apa aku serendah itu dimatamu? Kau fikir aku pria yang memperturutkan nafsu hingga melanggar larangan agama? Aku mendatangimu karena kau istriku"

"Tapi kita akan bercerai"

"Tidak. Aku tidak akan, dan kedepannya juga tidak ada rencana mengakhiri pernikahan ini. Aku pastikan kau selamanya menjadi istriku, Ny. Airlangga"

"Mas egois. Mas bahkan tidak mencintaiku" pungkas Jelita tak mau percaya.

"Persetan cinta. Aku hanya menginginkanmu, bukan hanya karena obat sialan yang telah menyiksaku ini, aku menginginkanmu setiap malam sejak kau terus peduli dan ikut campur dalam masalahku. Kau memasuki pikiranku bahkan saat aku tak ingin memikirkanmu. Kau- kau membuatku melupakan Citra bahkan saat Citra berada di hadapanku"

"Mas bohong"

"Ya, aku berbohong saat aku menyuruhmu berhenti peduli. Karena yang sebenarnya aku ingin kau terus peduli padaku. Saat kau memintaku menandatangani berkas perceraian sialan itu aku terus berfikir bagaimana cara meyakinkanmu untuk menarik keputusanmu. Aku mencintaimu, Jelita. Aku mohon, jangan berhenti mencintaiku"

"Buktikan. A-aku butuh bukti"

"Aku mendatangimu bukannya Citra, karena kau adalah istri yang ku pilih" Jibril mengutarakan alasan tersederhana yang ia punya.

Hening sesaat. Agaknya Jelita sedang mencerna situasi yang terjadi juga bagaimana ia harus menyikapi pernyataan cinta yang Jibril ungkapkan di situasi dan kondisi yang aneh ini.

"A-apa Mas akan kesakitan jika harus menahannya?" Jibril mengerjapkan kelopak mata tak percaya dengan kalimat tanya yang pertama istrinya ucapkan setelah jeda waktu lebih dari lima menit tadi.

"Aku bisa, aku yakin bisa menahannya. Kunci saja kamar mandinya"

"Mas-" Jelita menahan pergelangan tangan Jibril yang hendak melangkah masuk ke kamar mandi.

"A-aku siap. Menjalankan kewajibanku sebagai istrimu"

"K-kau serius?" Jelita mengangguk dengan pipi bersemu merah.

"A-aku akan matikan lampunya, dan- kau bisa menyuruhku berhenti jika kau tidak bisa melakukannya"

"Hm. Aku percaya pada Mas Jibril"

.
.
.

Pillow Talk...

Je: 'Kata percaya dan kata aku mencintaimu, menurutmu mana yang lebih membuatmu merasa puas?'

Ji: 'Karena kau yang mengatakannya maka aku lebih suka kata percayamu'

Je: 'Anda sangat canggung, kikuk dan agak ragu-ragu, ku fikir bukan karena obatnya'

Ji: 'Pengaruh obatnya sudah hilang berkat tamparanmu. Melihat air matamu mendadak aku kehilangan euforia sialan itu'

Je: 'Tapi anda tak menolak ketika saya menawarkan membantu'

Ji: 'Kau akan malu jika aku menolakmu. Kemudian kau akan berfikir aku tak sungguh-sungguh menginginkanmu'

Je: 'Anda sok tau. Saya akan lebih suka jika anda jujur meski itu bukan pernyataan yang akan membuat saya senang'

Ji: 'Tapi aku tak ingin membuatmu ragu sesaat sekalipum terhadap perasaanku. Tapi sayang, kau sangat sexy. Aku akan memeriksakan mataku yang kemungkinan bermasalah'

Je: 'Kenapa? Mas sakit?'

Ji: 'Hm. Mataku pastinya bermasalah karena tak bisa melihat betapa cantik dan mempesonanya istriku'

Je: 'Gombal murahan'

Ji: 'Sial. Kau tak terpengaruh'

Je: 'Mas, kau berterimakasihlah pada Shara. Dia membantumu mengatasi matamu yang bermasalah'

Ji: 'Benar. Adikku yang nakal itu lebih tau yang seperti ini setelah menikah. Tapi... Kenapa aku jadi kesal pada Riva, yah? Aku mendadak ingin menghajarnya'

Je: 'Memang, punya kakak laki-laki selalu bisa diandalkan'

. . .

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang