4. Fourth Reason: Wajah-Wajah Tak Serupa

13 0 0
                                    

Aku sengaja memintanya menjemputku di Perpustakaan alih-alih di rumah. Aku tak mau Mama Carra sampai ikut heboh dan membuatku makin nampak bodoh baginya? Kalian tanya kenapa aku peduli? Tentu aku harus peduli kerena meski pernikahan kami bukan atas dasar cinta, dia tetaplah pria yang akan kunikahi dan aku tak ingin nampak bodoh bahkan konyol di matanya. Aku tetap mengharapkan perlakuan baiknya sekalipun ia tidak mencintaiku.

Mas Jibril melambaikan tangan berseru 'Hai' yang hanya ku mengerti dari gerak bibirnya.

"Sepertinya dandananmu tidak asing. Ini agak seperti seseorang" katanya setelah sekian detik mengamati baik-baik perubahan penampilanku.

"Sarah?"

"Sarah-kah? Ahh... ya. Benar, ini seperti dia. Tapi kenapa tiba-tiba kau berdandan sepertinya?" Yang ia maksud berdandan ala Sarah ialah jump-suit dengan warna monokrom dengan aksesoris tambahan arloji klasik bertali kecil, tas tangan keluaran brand ternama juga sepatu hitam dengan heels 6cm yang membuatku merasa tinggi dadakan. Aku bahkan terpaksa mewarnai rambutku dengan aksen coklat. Oh, apa aku malah terlihat aneh baginya?

"Aku akan membuat Sarah menyukaiku. Ku kira berpenampilan sepertinya akan membuatku mudah diterima olehnya" aku berusaha menjelaskan maksudku meski kini aku sendiri ragu ini akan berhasil.

"Bukan seperti itu Sarah menilai seseorang dan memutuskan apa ia akan menyukai orang itu atau tidak"

"Jadi dengan cara apa Sarah memutuskan akan menyukaiku?" Tanyaku antusias meski agak kecewa karena Harline telah menghabiskan lebih dari dua jam untuk membantuku memilih pakaian juga berdandan.

"Masuklah dulu, aku akan jawab sambil kita jalan" Mas Jibril mempersilahkanku duduk di kursi samping kemudi. Ia memakaikan sit-belt padaku hingga posisi kami begitu dekat sesaat. Hingga hela nafasnya dapat ku rasakan dengan kedua indraku. 

Khem!

Aku berdehem mengikis keheningan. Mas Jibril kembali ke tempatnya untuk mulai mengemudiakan mobil Mercedes Benz-nya.

"Satu-satunya orang yang dia sukai adalah mendiang Ibu kami. Sarah tidak pernah menaruh hati pada siapapun semenjak Ibu kami meninggal" ia membuka pembicaraan menyinggung percakapan kami sebelumnya.

"Lantas seperti apa mendiang Ibunya Mas Jibril?"

Kembali hening, ku fikir aku kembali menyinggung topik yang enggan ia bicarakan. Aku selalu salah berbicara dihadapannya, ini sangat  tidak bagus.

"Kenapa pertanyaanmu begitu banyak, Uhm? Ku bilang santailah saja. Kau tak perlu Sarah menyukaimu, kau yang seperti biasa akan memberi kesan tulus ketimbang penuh maksud- tentu bukan maksudku menyebutmu tak tulus"

"Aku tau maksud Mas. Maka... apa kita bisa ke toko pakaian di persimpangan depan? Aku perlu baju untuk ganti"

"Tentu"

.

Jelita menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih dengan aksen renda di bagian lengan dan bawah lutut memang style yang ia sukai. Untuk mensiasati potongan rendah di bagian dadanya ia memilih melingkarkan selendang berwarna senada di sepanjang leher jenjangnya hingga dada. Jibril memgangguk dan tersenyum ketika Jelita mengusyaratkan permintaan pendapat mengenai gaya berpakaiannya yang sekarang.

"Itu yang kau pegang dari tadi boleh ku tau apa isinya?" Tanya Jibril menunjuk dengan ujung dagu pada tiga papper bag di kaki Jelita.

"Strawberry cake untuk Cherry. Dan yang ini buku sketsa untuk Mika" Jelita menunjuk papper bag warna pink dan biru secara berurutan.

"Mika tidak menggambar design lagi"

"Tidak?"

"Hm. Entah artikel tahun berapa yang kau baca itu tapi Mika seperti yang kau lihat sebelumnya ,,dia berantakan,,"

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang