2. Second Reason: Mawar Putih

23 1 0
                                    

Citra menyambut Jibril yang baru tiba dari perjalanan bisnis dua hari di Jepang. Kalau saja tak banyak mata yang menyaksikan rasanya Jibril ingin menghambur memeluk gadis berstelan jas hitam putih itu.

"Saya sudah mengatur pertemuan dengan para investor untuk proyek ini. Saya yakin Ketua akan senang mendengar keberhasilan pertama anda, Presedir"

Keduanya berjalan bersisian, Citra hendak meraih koper yang Jibril terus memaksa membawanya sendiri.

"Kita di luar, tidak bisakah bicara lebih santai?"

"Tapi kita masih di jam kerja lagi pula kita sudah sepakat untuk sebisa mungkin bersikap profesional" Citra berhasil merebut koper tersebut, Jibril merona malu karena tenaganya kalah kuat dari seorang gadis.

"Benar juga, setelah lima tahun tak bertemu kau bahkan hanya membolehkanku memelukmu selama lima detik. Ketua akan lebih senang jika beliau tau sikapmu yang sebenarnya ini," Sindir Jibril tak pelak membuat Citra sedikit mengulas senyum.

"Kau sudah hubungi Nn. Jelita?"

"Untuk apa?"

"Dia tunangan anda. Mohon taruh lebih banyak perhatian anda padanya, anda sudah janji seb-

"Baiklah, tak perlu kau terus mengingatkan perjanjian konyol itu. Jadi kita akan makan siang dimana?"

"Akan lebih baik jika anda menjaga baik-baik organ pencernaan anda"

"Maksudmu roti gandum lagi?" Citra mengangguk mantap sementara Jibril mendengus sebal. Tak banyak pilihan selain mengikuti sekretaris cantiknya itu kembali ke kantor.

Ruangan Presedir : Dr. Jibril Aldien Anggara

"Apa yang sedang anda fikirkan?" Citra mematap ke dalam mata Jibril, begitu caranya dia memberikan atensinya.

"Dia tak mengangkat telfonku. Sepertinya saat itu aku telah benar-benar melakukan kesalahan" Jibril melepas dasi dan jasnya yang serasa sesak di tubuh atletisnya kemudian menyerahkannya pada Citra untuk diantar ke binatu.

"Kesalahan seperti apa?" Setelah memasukkan semua pakaian kotor itu ke dalam paper bag, Citra kembali sibuk menyiapkan sebotol air mineral dan dua potong roti gandum dengan selai nanas kesukaan pria itu.

"Kau yakin aku bisa membahasnya denganmu?" Jibril menatap ragu Citra yang terus mendengarkannya meski tubuhnya sibuk mengerjakan banyak hal bersamaan.

"Saya akan dengarkan jika anda mau bercerita"

"Sepertinya... dia merasa tersinggung karena aku dan ayahnya terburu-buru membicarakan lamaran"

"Apa katanya?" Citra menunjukkan perhatian penuh tentu setelah tugasnya selesai.

"Dia tak mengatakan apapun tapi sorot matanya menjelaskan lebih dari penolakan"

"Anda-lah yang terburu-buru mengambil kesimpulan. Perempuan macam apa yang bisa lari dari pesona Putra Mahkota dari Heavens Group?"

Jibril menatap Citra lekat.

"Kau. Kau contohnya. Jelita berikutnya. Sepertinya benar kata Sarah, aku tidak memiliki daya pikat sebagai pria"

"Jika pun benar, memang siapa yang peduli daya pikat? Wanita hanya butuh diyakinkan"

"Jadi aku tak bisa meyakinkanmu?" Jibril seperti tak pernah bosan dengan usahanya membuat Citra jujur akan perasaannya.

"Meski tidak bagiku. Tapi terhadap Jelita, anda punya banyak opsi untuk membuatnya menganggukkan kepala saat Ketua datang meminangnya untukmu"

"Opsi apa saja itu?"

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang