10. Bekas Luka

7 1 0
                                    

Setiap orang memiliki bekas luka, baik di tubuh maupun ingatan dan hatinya. Aku meyakini hal itu maka ku putuskan untuk tidak mengeluhkannya, betapapun parahnya bekas luka tersebut, hal paling sulit yang mesti ku hadapi adalah bertemu kembali dengan orang yang menyebabkannya. Dan dalam kasus ini dia adalah Sean, Cinta pertamaku.

Aku selalu punya firasat tentang hal buruk yang bakal terjadi, begitu pun pagi ini. Mas Jibril dan tingkah manisnya yang kelebihan dosis dari pagi tadi adalah pertanda buruk yang sangat jelas. Benar saja, kejadian yang benar-benar buruk pun terjadi. Siapa sangka Sean yang bahkan tidak meluluskan sekolahnya di SMU kami tiba-tiba muncul dan terang-terangan menggangguku.

Moodku kacau dalam sekejap, ditambah bisik-bisik mereka yang tersulut dengki oleh keromantisan palsu Mas Jibril. Ya, Ya, barangkali rumah tangga mereka pun tak seindah kisah sinetron.

"Kau kelihatan murung, apa acaranya tidak menyenangkan?" Apa maksud pertanyaannya itu? Apa dia mengharapkan pujian? Dan ada apa dengan penampilan formalnya di akhir pekan?

"Saya hanya lelah saja. Mas rapi sekali, bukankah ini hari minggu?"

"Ayah menyuruhku berkunjung ke rumah perawatan" jawabnya seraya mengaitkan kancing di lengan kanannya.

"Kalau begitu saya akan siap-siap. Tidak akan lama"

"Aku bisa pergi sendiri, kau lebih baik beristirahat"

"Mana boleh begitu. Ayah mertua akan berperasangka macam-macam lagi pula saya bisa beristirahat di mobil"

"Aku tak ingat pernah menang darimu. Maka ku tunggu sepuluh menit,"

*

Jelita kembali tak sampai sepuluh menit, dengan memakai kemeja putih garis hitam vertikal dipadu jeans biru pastel membuat Jelita tampak formal dan santai bersamaan.

"Minum ini," Jibril menyodorkan tonic dalam kemasan botol dosis kecil.

"Ini apa?"

"Untuk daya tahan tubuh dan pengganti energi"

"Saya sungguh baik-baik saja,"

"Karena kau bicara formal padaku maka ku anggap kau tidak sungguhan dalam keadaan baik"

"..." Jelita sangat enggan menanggapi. Ia ketahuan sedang kesal, Jelita menenggak toniknya sambil memalingkan wajah enggan bertatap mata dengan Jibril.

"Ketika bertemu Ayah, abaikan saja jika beliau bertanya atau meminta macam-macam. Kau hanya memberi salam, mengobrol biasa saja... yah, pokoknya untuk hal lain biar ku urus sendiri,"

"Jadi ini bukan kunjungan biasa? Apa Mas tidak memberitahuku tentang bagian pentingnya?"

Jibril membuang nafas berat.

"Ayah ingin anak dari kita,"

"A-anak?"

"Ya. Anak. Untuk alasan tersebut ku fikir lebih baik kau tidak ikut,"

"Ayah akan sangat terkejut mendengar rencana perceraian kita, kita tidak bisa mengulur waktu sementara beliau ingin cucu. Jadi..."

"Apa? Kau punya ide?"

"Katakan saja aku yang menginginkan perceraian ini. Alasan! Kita butuh alasan"

"Lita-"

"Nah! Alasannya... katakan saja aku tidak bisa mencintaimu"

"Lita,-

"Itu kurang meyakinkan? Bagaimana jika aku punya pria lain?"

"Sebegitu inginkan kau segera lepas dariku?" Jibril nyaris berteriak. Jelita terdiam dan seketika menatap Jibril bingung.

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang