12. Sejuta Cinta, Seutas Benci

8 1 0
                                    

'Cintamu penuh putus asa, kakiku menari diatasnya. Bukan karena bahagia, melainkan karena... Tajam belati di hatimu menusuk setiap langkahku'
(Jelita)

***

Tangan Jelita bergerak menampar pipi putih Jibril. Tak sempat menghindar Jibril mendapatkan pedihnya. Tatapan nyalang berkaca-kaca milik Jelita memberinya jawaban bahwa ia telah melakukan kesalahan dan tamparan barusan adalah ganjarannya. Tidak. Tadi itu baru sebagian, dari ekspresi Jelita jelas perempuan itu punya lebih banyak pukulan untuknya.

"Ta, a-aku melakukan kesalahan, ma-af" Bibir Jibril terbata mengucap penyesalan.

"Anda selalu pandai menyakiti saya. Tapi cukup sampai disini saja, saya tidak bisa lagi"

Keesokan harinya Jelita menyodorkan berkas perceraian dengan bagiannya yang sudah diisi. Jibril merasakan kopi yang disesapnya tak lagi hangat di tenggorokannya.

"Ta, ini apa?"

"Anda tinggal mengisi form yang tersisa. Saya akan jelaskan perceraian kita pada Ayah jadi anda harus pergi sebelum itu."

"Kau menyuruhku kabur seperti pengecut? D-dan apa pula ini? Aku sudah bilang kemarin bahwa aku tak akan menceraikanmu. Aku juga akan memutuskan hubungan dengan Citra"

"Karena Anda takut pada Ayah Airlangga? Anda berani menghadapi Ayahku karena Anda fikir Ayahku sangat menyukai Anda, bukan? Salah. Dia lebih mencintaiku maka dia akan membelaku apapun keputusanku. Kita bercerai. Aku menginginkannya"

Seperti itu, Jelita perempuan yang selalu menunjukkan senyum teduh diwajahnya itu kini menunjukkan ekspresi penuh kecewa dan kemurkaan yang jika ia berbentuk api maka api tersebut akan cukup membakar Jibril jadi debu.

"Ta, panggilan 'Anda'mu menyakitiku. Sayang, tolong jangan seperti ini"

Sayang katanya, Jibril bahkan mengeluh tentang sakit. Setelah ia menyakiti Jelita sedemikian rupa, Jelita mendesah dengan seringaian yang tak kalah asing bagi Jibril.

"Kita harusnya tak perlu bertemu. Saya menyesal pernah menikahi pria sedangkal dan sepicik anda"

Hari itu, Jibril mendapat pelajaran untuk tidak melukai harga diri Istrinya bahkan saat ia tak bermaksud begitu.

Sebulan Kemudian, Perayaan Ulang Tahun Jibril...

"Tante mempersiapkan ini semua untukmu, jadi berusahalah" Shara mendengar percakapan antara Tante Ratri dan Riva, dari wajah bingung suaminya Shara bisa menduga isi dus coklat yang tantenya berikan pada Riva tersebut.

"Tante, lama tak bertemu" Shara menghampiri keduanya. Riva dengan gerakan cepat lekas menyembunyikan pemberian tante dibalik punggungnya.

"Sayang, apa yang kau pegang di punggungmu?"

"Ahh... Ini? Minuman gingseng"

"Tante sangat perhatian pada suamiku. Tapi... Bukankah Kakak yang lebih membutuhkan semacam ini dibanding suamiku?" Shara merebut kotak gingseng tersebut dari tangan suaminya.

"Sha, Kakakmu tidak akan meminumnya. Bibi sedih mendengar dia memberikannya pada suaminya Alira. Kau lihat hasilnya? Alira hamil anak ketika
p

adahal putra keduanya baru berumur 6 bulan"

"Kalau Kakak ipar yang memberikannya Kakakku tidak akan tau. Tante... Ingin cucu keponakan dari Mas Jibril dan Mbak Lita juga, kan?"

"Tentu! Tapi Tante juga ingin cucu keponakan darimu dan Nak Riva"

"Kalau kami sih... Tidak butuh yang seperti ini" Shara melirik ke arah suaminya. "Ya, kan, Sayang?" Ia meminta dukungan Riva.

"I-iya. Buat Mas Jibril saja"

"Kalau begitu aku yang akan berikan, pumpung Jelita sedang membuat teh di dapur"

Dengan langkah pasti Shara yang telah menemukan targetnya segera bergerak melaksanakan misi. Misi menggagalkan perceraian Kakaknya.

"Mbak, ini... Teh untuk Kakakku?"

"Kopi. Kakakmu ingin kopi. Teh-nya untuk Ayah, Tante Alisha dan  Citra"

"Whoa, Kakak membuatkan untuk Si Jalang itu juga? Tidak diusir saja perempuan itu sudah sangat beruntung"

"Jangan begitu, dia tamu kakakmu hari ini"

"Kopinya kakak biar aku saja yang bawakan. Toh Kau malas kan melihat muka menyebalkan Kakakku?" Jelita tak menyangkal.

"Aku berterimakasih kalau begitu, ini kopi juga cemilannya" Jelita memindahkan ke nampan terpisah, ia pamit duluan menyajikan minuman untuk yang lainnya. Tanpa sepengetahuan Jelita, Shara memasukkan sesuatu ke dalam kopi milik Jibril.

"Kak, selamat menikmati"

"Kau yang membuatnya bukannya Jelita?"

"Kakak Ipar malas melihatmu jadi aku gantikan membawakannya"

"Lita bilang begitu? Kau fikir aku percaya?"

"Terserah. Tapi... Sekedar info, Mbak Jelita tidur di kamar sebelah kamarku. Agar jauh dari Kakak"

"Semakin tambah umur kau semakin kekanakan, sekarang aku bisa merasakan tekanan yang Riva rasakan"

"Terserah saja, hanya... Nikmati malam Kakak"

Ada sesuatu dibalik omong kosong yang Shara ucapkan tapi Jibril tak mau terlalu menggubris adiknya yang suka mengganggu itu. Disesapnya segelas teh yang ia segera menghangatkan tubuhnya dari malam yang dingin.

.
.
.

"Jibril, aku mencarimu kemana-mana. Wait, kau pucat sekali. D-dan tubuhmu berkeringat sangat banyak. Katakan padaku bagian mana yang sakit?" tangan Citra terulur hendak menyentuh dahinya tapi Jibril menampik sentuhan tersebut.

"Cit, please, a-aku mau sendiri"

BLAM. Jibril menutup pintu kamarnya dengan keras nyaris seperti bantingan. Citra mengerjapkan matanya tak faham dengan situasi yang terjadi saat ini. Jibril yang mengundangnya tapi seharian ini Jibril sangat abai padanya.

"Aku akan kembali dengan air jahe hangat"

"..." Jibril tak menjawab.

Citra kembali tak sampai dua puluh menit. Tapi saat ia memeriksa kamar Jibril yang kini dalam keadaan terbuka ia tak menemukan penghuninya berada di dalam sana.

"Nona cari Tn. Jibril?" Tegur Bibi pengurus rumah melihat Citra mondar-madir di depan pintu kamar Jibril.

"I-iya, saya membuatkan wedang jahe untuknya tapi dia tidak di dalam kamarnya"

"Tn. Jibril saya lihat masuk ke kamarnya Ny. Lita"

"K-kamar Ny. Jelita? Bibi yakin?"

"Tentu saja, Tuan kelihatan tak sehat, beliau memaksa masuk padahal Ny. Lita bersikeras mengusirnya"

Citra mendapat firasat buruk, ia meninggalkan wedang jahe buatannya pada Bibi pengurus rumah. Ia segera berlari menuju lantai dua, tujuannya adalah kamar Jelita.

Citra mengetuk pintu berkali-kali sambil terus memanggil nama Jibril tapi tak juga ada jawaban. Tentu saja karena semua kamar dalam mansion dibuat kedap suara. Tak kehabisan akal ia mengetuk jendela kamar tersebut dari balkon lantai 2. Tapi yang didapatinya kamar Jelita gelap gulita.

"Bril, kau tak boleh melakukannya dengan Lita. Kau mencintaiku bukan istrimu" bisiknya dengan berurai air mata.

Sementara yang terjadi didalam sana adalah peristiwa yang sepenuhnya akan mengubah masa depan ketiganya. Jibril mengambil langkah dan keputusan drastis yang anehnya tidak ia sesali sama sekali.

. . .

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang