8. A Day With You

4 0 0
                                    

"Orang bilang jatuh cinta seperti kecelakaan lalu lintas, dan seperti sebuah kecelakaan, aku tiba-tiba terluka oleh pria itu. Jatuh cinta padanya adalah kesalahan fatal sepanjang hidupku"

***

Dan apa tadi? Pria semacam Jibril suka bunga? Ah ya, dulu pun ia merayuku dengan bunga dan proposal bisnis. Untuk beberapa orang sejenis Mas Jibril tentu yang namanya memberi bunga hanya formalitas saja begitupun ia menghapal maknanya, sekedar untuk melancarkan strategi bisnisnya. Dan aku sempat termakan triknya.

"Apa ada sesuatu di wajahku?"

Sial. Dia memergokiku menatapnya. Tunggu! Apa aku sungguh habis memandanginya?

"Mas punya tahi lalat?"

Bagus. Jelita mensyukuri bakat alaminya menemukan detail penting sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Ah, di sini?" Jibril menunjuk samping kanan batang hidungnya yang mancung ala prosotan TK.

"Hm. Itu cukup jelas tapi aku baru bisa melihatnya"

"Sekilas pandang memang tidak terlalu nampak, apa kelihatan aneh?"

"Tidak, kok"

Bagaimana bisa tahi lalat dihidung nampak secantik itu?

Tentu aku tak bisa menyuarakannya keras-keras. Akan jadi benar-benar aneh jika aku memujinya terang-terangan ketika kami harusnya tidak akrab begini. Ingat, Ta, Jibril menyelingkuhimu. Itu kotor dan tidak bisa dimaafkan.

"Dan kau, ternyata kau punya tanda lahir di cuping telingamu" giliran Jibril yang menilik detail wajah Jelita.

"Itu terlihat jelas, Mas bahkan baru bisa melihatnya?" Ujar Jelita seraya merapikan helain rambutnya kebelakang telinga.

"Kita sama-sama tak banyak tau, padahal sudah setahun" Ada apa dengan nada suara rendah itu? Apa Jibril sedang menyesali masa lalu?

Ah, tidak mungkin. Mas Jibril hanya sedikit merasa bersalah saja tapi menyesal tidak.

"Tapi bukankah itu ada baiknya? Tak banyak yang bisa diingat dan tak banyak yang mesti dilupakan" Jelita mengaduk tehnya yang telah dingin karena lama dianggurkan. Ia tertunduk untuk meniupnya padahal uap saja sudah tak ada.

"Aku tak memberimu apapun kecuali luka. Maaf" Jibril tak jauh beda, ia memotong lebih kecil pancakenya yang tinggal sepotong. Keduanya seperti canggung untuk bertatapan langsung.

Ah, aku benci diriku yang melemah karena ucapan tak berarti itu.

"Aku akan pergi dari rumah ini jika Mas mengungkitnya lagi," Ancam Jelita dengan nada keras.

"Maaf" Bisik Jibril nyaris tak kedengaran lawan bicaranya.

"Jangan juga meminta maaf. Mas melakukannya bukan karena suka tapi bukan juga tak sengaja. Lagi pula aku baik-baik saja, jangan posisikan aku sebagai istri yang dicampakkan demi wanita lain"

"Tentu. Kau tidak sepadan untuk dibandingkan dengan wanita manapun, tidak akan ada yang akan menyalapahaminya"

Orang bodoh mana yang tidak akan salah faham? Jelas-jelas Wanita bernama Citra itu lebih segala dibanding diriku. Jelita juga tak menyuarakannya. Ia menyimpan keluhannya jauh didalam hati.

"Citra. Wanita bernama Citra itu apa yang anda suka darinya?" Okay. Untuk yang satu ini Jelita tak mampu menahan keingintahuannya. Ia berharap Jibril punya alasan yang lebih bagus ketimbang fisik atau semacamnya.

REASON In SEASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang