Dari tadi gue dicuekin sama Yoonbin, mulut gue pun rasanya lelah nanya ada apa dengan dia. Tapi gue yang terlalu penasaran mencoba sabar menunggu jawaban darinya, Yoonbin berasa nenek-nenek yang ngambek gak di beliin ice cream.
"Bin, lo itu kenapa sih?" tanya gue, "lo bisa curhat ke gue. Inget ya bagaimana pun kita saudara, gue bisa kok nyari jalan keluar dari problem lo."
Yoonbin yang sedari tadi menundukkan kepala langsung menatap kearah gue dengan wajahnya yang terlihat lelah. Gue mencoba meraih tangan Yoonbin, kemudian gue menepuk tanganya sambil tersenyum dalam artian gue bisa jadi pendengar yang akan dia ucapkan.
Berapa menit kemudian pintu kamar terbuka memunculkan Changbin, ya saat ini gue lagi di kamar mereka. Tapi posisinya Yoonbin duduk di kasurnya, sedangkan gue duduk di kursi belajarnya menghadap dia.
"GUE GAK BISA!" teriak Yoonbin tiba-tiba membuat gue membulat kedua mata karena terkejut.
Gue tersenyum canggung kemudian gue memutuskan untuk ke kamar, tapi sebelum itu gue kembaliin kursi belajarnya ketempat semula, setelah itu gue berjalan kearah pintu.
"lo ngerti gak sih, kalau gue gak bisa!" ucap Yoonbin membuat gue menghentikan langkah kaki yang baru berjalan tiga langkah.
"Iya gue ngerti, gue gak maksa lo buat cerita. Ya ud—"
Yoonbin berjalan menghampiri Changbin yang lagi mencharger ponselnya, dia membalikan tubuh Changbin dengan sangat kasar. Kedua mata gue dapat melihat wajah Yoonbin yang penuh emosi.
Tunggu, ini ada apa?
"gue gak bisa ngikutin apa yang lo suruh," ucap Yoonbin dengan nada suaranya terdengar dingin. "lo—"
"na, bisa keluar?" ucap Changbin yang memotong ucapan Yoonbin, dia pun tersenyum membuat gue geli setiap melihat senyumannya.
Gue menganggukan kepala dan tersenyum canggung, kemudian gue kembali berjalan ke pintu kamar dengan perasaan yang penasaran dengan kedua cowok itu.
"karena dia, gue ngelakuin semua karena dia! Changbin nyuruh gue buat jauhin lo."
"ng?" gue mengkerutkan kening, kemudian membalikan tubuh menatap kearah Yoonbin dan Changbin secara bergantian.
"KELUAR, NA!" teriak Changbin membuat gue membulat kedua mata untuk ke sekian kalinya.
Tanpa mempedulikan ucapan Changbin gue kembali berjalan ke meja belajar Yoonbin, gue muterin kursi belajarnya kemudian gue duduk dengan tubuh gue yang menyandar di belakang kursi. Gue menarik nafas lalu menghelakan nafas, gue tersenyum kearah Changbin.
Kedua telinga gue dapat mendengar Changbin yang mencibir, dia tersenyum miring membuat wajahnya kelihatan menjadi menakutkan.
"gila ya, kalian kompak banget. Pikiran kalian juga kompak, sama-sama bodoh!" setelah mengucapkan kalimat tersebut Changbin mengeluarkan laptopnya dari tasnya.
Yoonbin berjalan menghampiri gue, dia pegang tangan gue dan dia paksa gue beranjak dari kursi belajarnya. Lah ini gue masih bingung, kenapa gak ada penjelasan dari mereka?
Yoonbin membawa gue masuk ke dalam kamar gue, dia menatap gue dengan matanya yang lesu. Tangan kanan Yoonbin mengusap pipi gue, kedua ujung bibirnya pun tersenyum. Gue hanya bisa terdiam menatapnya, gue bener-bener bingung dengan situasi seperti ini.
Yoonbin menarik tubuh gue ke dalam pelukannya, dia peluk tubuh gue dengan sangat erat. Gue mengkedipkan kedua mata dan menahan nafas. Entah kenapa gue jadi lupa cara bernafas.
Kedua telinga gue dapat mendengar helaan nafas dari mulut Yoonbin, tiba-tiba dia menyembunyikan wajahnya di leher gue dengan kepalanya yang ada di pundak gue. Tangan gue mencoba membalas pelukan Yoonbin, gue memberikan usapan di punggungnya. Dan saat itupun Yoonbin tambah erat memeluk tubuh gue.
Berapa detik kemudian Yoonbin melonggarkan pelukannya, kedua tangannya menangkup wajah gue. Perlahan-lahan dia deketin wajahnya sampai bibirnya menempel di kening gue, kemudian beralih mengecup mata gue, lalu pipi gue, setelah itu dia kembali memeluk tubuh gue.
Sekitar enam detik tiba-tiba tubuh Yoonbin melemah membuat gue terjatuh karena gak kuat menahan tubuhnya. Dia kenapa lagi?
"Bin, gak lucu ya Yoonbin!" ucap gue dengan kedua tangan yang menepuk punggung Yoonbin berulang-ulang.
Gue mencoba melihat wajah Yoonbin, tangan gue menyentuh wajahnya. Panas, Yoonbin demam. Gue mencibirnya, ini gimana caranya gue pindahin Yoonbin ke kasur?
Gue mengangkat tubuh Yoonbin membawanya ke kasur gue dengan seluruh tenaga. Untuk kedua kalinya gue membopong Yoonbin, terlebih lagi karena dia yang tiba-tiba sakit.
Gue menjatuhkan tubuh Yoonbin ke kasur, gue menghelakan nafas sambil memegang kedua lutut. Gila itu anak makan apa coba sampai tubuhnya berat begitu?
Gue membenarkan posisi tidur Yoonbin, tangan gue kembali menyentuh wajahnya. Panas banget, apa jangan-jangan dia sakit karena kemarin malam main basket sampai larut?
Gue keluar dari kamar berniat mengambil obat, tapi bodohnya gue baru inget di rumah gak ada obat-obatan karena ya selama ini di keluarga gue gak ada yang sakit.
Gue kembali ke kamar mengambil dompet, ponsel dan hoodie. Dengan buru-buru gue keluar dari rumah beli obat di klinik yang gak jauh dari mini market dekat rumah. Tapi buat gue jalan ke sana kayanya lumayan lama, masa iya gue minta tolong ke Changbin?
Kedua mata gue menatap jendela kamar yang di samping rumah, lampunya masih menyalah. Gue membuka lock screen ponsel, ibu jari gue mengklik aplikasi line dan gue langsung membuka chat room Yohan. Tapi apa mungkin dia mau nganter gue ke klinik? Ah bodo, di coba aja dulu.
Sena: malam, boleh minta tolong gak?
Sena: tolong anterin gue ke klinik, beli obat. Bisa gak?
Read"lah di read doang?" gue langsung menutup chat room Yohan. Gue menggulung lengan hoodie ke atas, gue menghelakan nafas kemudian lari menjauh dari rumah.
Sekitar enam meter gue lari menjauh dari rumah, tiba-tiba ada suara klakson motor membuat gue lebih menepi larinya dari jalanan.
"Na!" panggilan tersebut membuat gue menghentikan langkah kaki, gue membalikan tubuh menatap suara tersebut. "ayo, naik!"
Tanpa memikir lama gue naik ke motor matiknya, gue duduk di jok belakang dengan kedua tangan yang memegang behel belakang motor. Orang itu Yohan.
Sekitar tiga menit akhirnya sampai di klinik, gue langsung masuk ke klinik tersebut. Berapa menit kemudian pun gue keluar dari klinik dengan tangan yang menjinjing plastik kecil yang di dalamnya plester penurun panas dan obat antibiotik.
"siapa yang sakit?" tanya Yohan saat gue baru duduk di jok belakang motor. "ah Yoonbin, bisa nanti aja nanyanya? Tolong cepet pulang ke rumah," ucap gue agak gak enak gitu. Yohan pun menyalahkan mesin motornya dan langsung pulang ke rumah.
"oh ya maaf ya ganggu lo, kalau jalan ke klinik kan lumayan jauh," ucap gue sedikit berteriak karena suara mesin motor matiknya terlalu keras. Yohan menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan gue.
Berapa menit kemudian gue sampai di depan rumah, dengan buru-buru gue turun dari motor matik Yohan dan gak lupa gue bilang terima kasih ke dia. Kedua kaki gue berjalan masuk ke rumah dan langsung ke kamar. Sesampainya di kamar kedua mata gue melihat Yoonbin yang tertidur dengan tubuhnya yang dia tutupi dengan selimut.
Gue menghampiri Yoonbin, tangan gue kembali mengecek keadaannya. Tubuhnya masih panas, tapi Yoonbin kedinginan. Gue pun mengambil remot ac menaiki suhunya menjadi dua puluh satu derajat celsius, setelah itu gue berniat menempelkan plester penurun panas ke kening Yoonbin.
Perlahan-lahan tangan gue mengangkat poninya ke atas, kemudian gue langsung tempelin plester penurun panas ke kening Yoonbin. Kedua mata gue mengabsen wajah Yoonbin, entah kenapa dia jadi tambah ganteng dengan wajahnya yang pucat karena sakit.
Gue tersenyum, sedetik kemudian senyuman gue luntur. Untuk kesekian kalinya gue meyakinkan diri gue sendiri untuk gak mencintai Yoonbin, dan itu gak akan terjadi lagi. Bagaimana pun zona gue dengan Yoonbin hanya sebatas saudara, gak lebih dari itu. Seperti terbakar api semua cinta gue rasanya menyakitkan.
if we were destined
GILA YA KALIAN JAHAT PADA SUUDZON SAMA YOONBIN:((
KAMU SEDANG MEMBACA
if we were destined;yoonbin
Fanfiction❝𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘵𝘶𝘳 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘣𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰�...