PUISI: AYAH

222 8 0
                                    

Ayah,
telah ku terima suratmu. Alamat-alamat yang kau tulis di kepalaku tak jadi nama. Mereka bersayap, beterbangan menulis kalimat perpisahan

Ada beberapa nektar di suratmu yang usang, pasti itu adalah matamu yang basah oleh gerimis

Kau serupa lentera, gulita dibalik cahayamu itulah aku, anakmu. Petang melumat sinarmu tak redup jua.
Kita hidup di jantung Kota dengan raut wajah yang bergelayut sedih

Suratmu datang menjabat waktu, pulang satu-satu. Sedang waktu menggarami luka. Cahaya memang tak selamanya lahir dari api, karna kau adalah lentera ditengah gulitanya atmaku

Namun, subuh itu cahayamu yang serupa lentera sirna dalam atmaku
Aku terpuruk mendoakan potretmu
Yang kian tercabik waktu

Ayah, daksamu subuh itu kembali tenang. Setenang sarayu, atmamu terbang teramat aksa, bersama iringan pujian teruntuk Maha Esa

Ayah,
Nama Tuhan di akhir suratmu , seperti berpesan agar Ia menjagaku dengan sungguh

Engkau bagai lanskap dalam batinku, titik hujan yang angslup dalam dadaku: terlukis laut

Bumi Gerbang Salam, 3 September 2014

#30hariramadhanbercerita
#GTMenulis
#literasiindonesia

RATU BUCINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang