WEIS 29

449 40 0
                                    

Calista masih menatap Iqbal yang sedang dibawa ke ambulan. Separah apa cidera Iqbal sampai harus dibawa ambulan? Rasa khawatir tiba-tiba menyelimutinya.

Peluit berbunyi dan terdengar suara bahwa pemain pengganti Iqbal telah memasuki lapangan. Calista tidak fokus menonton bola, pikirannya masih melayang memikirkan kondisi Iqbal.

"Lo bengong karena Iqbal ya?" tanya Ali membuat Calista menoleh.

"Sok tau," Calista kembali menatap ke depan karena terdengar suara sorakan gol. Calista melihat papan skor, ternyata baru saja timnas Indonesia mampu menyamakan kedudukan. Calista bernapas lega.

Waktu tinggal tigapuluh menit lagi, waktu yang singkat. Timnas Indonesia harus kembali berjuang, mereka tidak boleh kalah dengan timnas Ana. Tekanan demi tekanan terus dilakukan oleh timnas Indonesia.

Hingga waktu kurang limabelas menit lagi, timnas Indonesia masih belum mampu menambah skor. Pertahanan negara Ana sangat kuat, sehingga timnas Indonesia sulit merobohkan benteng dari timnas Ana.

Sepak pojok dilakukan oleh Firza, berharap sepak pojok ini bisa menjadi gol kedua. Dengan menghela napas mantap, Firza menendang bola itu.

Sagara yang sudah berada di depan gawang membuat ancang-ancang untuk menyundul bola itu. Dan sundulan telah dilakukan oleh Sagara, "GOL!" teriak seluruh suporter yang ada di stadion itu. Sundulan dari Sagara mampu menambah skor tim-nya, 2-1. Mereka bersorak bahagia karena dapat mengungguli tim Ana yang terkenal tidak terkalahkan.

Waktu kurang lima menit lagi, dalam waktu yang menurutnya tidak terlalu singkat timnas Indonesia harus mampu mempertahankan gawangnya agar tidak kebobolan. Mereka haru mengatur strategi untuk memperlambat permainan agar waktu cepat selesai.

Peluit panjang telah berbunyi, pertandingan telah selesai dengan skor 2-1. Timnas Indonesia yang mendapat kemenangan atas pertandingan ini, bersujud syukur di tengah lapangan. Dan juga timnas Ana harus mengakui keunggulan lawannya.

Calista bersorak bahagia melihat kemenangan timnas Indonesia.

"Gue heran deh sama lo. Indonesia kalah lo nginjek kaki gue, Indonesia menang lo hampir bunuh gue," gerutu Ali karena tadi Calista mendorongbya kedepan, kalau saja Ali tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya mungkin dia sudah menjadi injakan masa.

"Gue lagi bahagia Ali!" Calista mendorong-dorong Ali kecil.

"Kalau lo lagi bahagia, nggak usah nyakitin gue. Mending lo cium gue," Ali menepuk pipi kirinya.

"Ogah! Mending gue cium cowok gue daripada nyium lo!" Calista memukul pelan pipi Ali.

"Pakek acara nolak, dulu aja waktu kecil tiap ketemu gue lo minta cium," ledek Ali dengan mengingat waktu mereka masih umur lima tahun Calista merengek minta cium Ali.

"Itu kan dulu."

Calista kembali menatap kedepan, melihat timnas Indonesia yang mendapat medali juga mendapar piala. Mereka tampak bahagia ketika adegan foto bersama. Andai saja Iqbal bisa ada disana mungkin kebahagian mereka akan bertambah. Sayang sekali Iqbal tidak bisa merasakan kebahagian itu.

"Li, nanti lo temenin gue ketemu Witan ya."

"Hem."

------------

Calista dan Ali berjalan menuju resepsionis untuk menanyakan dimana kamar Witan. Perdebatan kecil dilakukan oleh resepsionis dan Calista. Resepsionis tidak mau memberikan dimana letak kamar Witan, sehingga membuat Calista harus berpikir keras agar bisa mengetahui kamar Witan.

Dengan ide cemerlangnya Calista mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto dirinya dengan Witan. Calista mengaku kalau dirinya adalah saudara Witan yang dari jauh.

"Masih nggak percaya sama saya mbak?"  suara Calista terlihat menantang.

"Percaya kok mbak, kamar Witan terletak di lantai dua nomor tigapuluh satu," jawab resepsionis itu dengan ramah, meskipun masih tidak yakin.

"Gitu dong dari tadi," balas Ali. Calista menarik Ali menuju lift untuk ke lantai dua.

Calista sangat tidak sabar ingin bertemu dengan sang kekasih. Banyak yang ingin dia tanyakan kepada Witan, mulai dari A sampai balik ke A lagi. Dia sangat rindu pelukan Witan.

Calista mencari nomor kamar Witan, "duapuluh empat...."

"Duapuluh lima..."

"Duapuluh enam...."

"Duapuluh tujuh...."

"Duapuluh del-"

"Lis gue ke kamar mandi dulu ya, lo cari sendiri deh kamarnya," ucap Ali membuat Calista menghentikan hitungannya.

Calista mengangguk, kemudian melanjutkan hitungannya, "duapuluh-" belum sempat Calista mengucapkan nomor yang ada di depan pintu sudah ada yang menepuknya, "apalagi sih Li, katanya mau ke kamar mandi. Udah sana pergi jangan ganggu gue."

"Ehem."

Orang yang di anggap Ali oleh Calista berdehem, membuat Calista memutar tubuhnya untuk melihat laki-laki itu, "Sagara? Ada apa?"

Orang itu adalah Sagara, yang masih memakai pakaian saat pertandingan tadi. Kaos yang basah beserta rambutnya membuat Sagara bertambah tampan, "ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu? Terpesona? Tapi maaf gue udah punya cewek."

Calista menghela napas, ingat Lis lo nggak boleh jatuh hati sama mantan lo yang kurang ajar ini, "lo ngapain ada disini?"

"Seharusnya gue yang nanya, lo ngapain ada disini?" tanya balik Sagara, membuat Calista diam, "gue tahu lo pasti lagi nyari Witan kan?"

Calista mengangguk.

"Witan nggak ada disini, dia ada di taman belakang hotel ini."

"Lo mau kan anterin gue?"

Sagara berpikir sebentar, kemudian mengangguk.

--------------

Yuhuuuuu

Gimana part yang ini?

Kurang beberapa part lagi cerita ini akan selesai, jadi siap menunggu ya.

Menurut kalian endingnya gimana nanti?

Apakah Calista akan tetap bersama Witan?

Atau

Calista berpaling ke Sagara?

Atau

Calista lebih memilih cowok lain?

Atau lagi

Calista memilih jomlo?

Jangan lupa komen dibawah sebanyak-banyaknya, dan jangan lupa juga vote cerita ini.

 Be WEIS (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang