Maaf jelek. Baru belajar bikin. Maaf banyak typo. Hehehe
Semoga banyak yang suka :)
-Cerita ini pernah saya publikasikan di Wattpad lebih dari setahun yang lalu, kini muncul setelah di upgrade... Happy Reading~
=================
Tia
Aku bosan. Sudah lama aku duduk di ruang tunggu rumah sakit ini. Kalau saja bukan karena Bunda, mana mau aku duduk dan menunggu disini. Melihat orang berlalu lalang duduk bergantian di kursi panjang di depan ruang praktek dokter paru-paru, yang juga kutempati, membuatku sedikit pusing. Pasiennya banyak banget, termasuk bunda. Bunda akhir-akhir ini merasa sakit di dadanya, dan terkadang sesak nafas saat malam. Karena aku anak yang baik dan cukup perhatian, maka aku dan Bunda pergi ke dokter untuk memeriksakan Bundaku.
Aku hanya berharap bunda sehat dan baik-baik saja. Bunda tidak boleh sakit. Kalau bunda sakit, anak semata wayangnya tidak lagi bisa dimanja-manja. Bagaimana pun, bunda adalah satu-satunya keluarga bagiku.
"Bu Rahma Harjuna, silahkan masuk ke ruangan," seorang perempuan berbaju putih berparas cantik, memanggil kami.
Aku berdiri, membuntuti bunda masuk ke ruangan dokter spesialis paru-paru. Saat melihat wajah dokter tampan itu, serasa pernah bertemu. Tapi tidak tahu kapan. Aku melihat reaksi terkejut Bunda ketika mata bunda dan dokter ganteng itu bertemu. Dokter itu terlihat cukup ramah. Wajahnya selalu tersenyum. Tapi siapa ya?
Bunda -yang kutahu selalu bersifat sopan, tiba-tiba memekik tajam sambil menunjuk-nunjuk muka dokter dengan telunjuknya yang lembut bagiku.
"Naufal?!" Pekik Bunda.
"Iya, Tante Rahma?" Kata dokter itu dengan wajah yang masih mempesona.
Aku melihat name tag dokter itu. Dr. Naufal Handoko Sp.P? Seperti pernah dengar.
"Naufal Handoko? Anaknya Fiya kan? Fiya Candra Handoko?"
"Tepat, Tante Rahma." Pria itu memberikan jempol pada Bunda sambil menyengir.
Ah, itu dia! Sekarang aku ingat! Dia adalah anak sahabat bunda. Naufal. Aku tidak bertemu dengannya sejak delapan tahun yang lalu. Lebih tepatnya setelah dia lulus SMA, dan saat itu aku dan dirinya masih unyu-unyu. Aku tentu saja masih ingusan. Yah, aku memang masih kelas empat SD, dan dia kelas dua belas SMA. Sekarang dia menjadi laki-laki wow yang menurutku cukup. Cukup muda, tampan, mapan dan sempurna. Tunggu, aku tidak boleh memuji pria seperti itu, nanti aku alergi. Otakku sudah mem-blacklist laki-laki yang terlalu baik, terlalu ganteng, terlalu sempurna, dan segala jenis keterlaluan lainnya.
"Bagaimana kabar ibumu Fal?" tanya bunda antusias. Sepertinya dia melupakan penyakitnya semalam seketika ketika membahas teman dekatnya yang satu itu. Yeah, kurasa, aku akan lebih lama lagi disini. Yakin. Bunda secara tertarik berbicara lebih jauh dengan dokter keterlaluan itu. Ah! Sial! Kalau hari ini bukan minggu, aku akan sangat bahagia menemaninya sepagi apapun selama apapun asal aku tidak masuk sekolah. Masalahnya hari ini hari minggu, aku nggak suka jatah istirahatku berkurang. Tapi aku harus mengakui, aku lebih benci kalau Bunda yang kesehatannya berkurang.
Sekarang sangat amat menyebalkan. Aku sangat bosan. Aku ingin main dengan handphone-ku yang tertinggal di rumah. Aku rindu main game.
"Hei, Miss Tomboy." Kata dokter itu. Ia menyapaku dengan panggilan seperti delapan tahun lalu, setelah menjawab serentet pertanyaan bunda. Dia tidak berubah. Hanya bertambah keren sedikit saja, dan tentu saja kelihatannya ia sangat bertambah tinggi.
Harus kuakui dulu aku memang seperti anak laki-laki, makanya Kak Fal -sapaan masa kecilnya, bisa mengenalku. Hei, tapi itu dulu bukan? Maksudku, setidaknya sekarang aku menjadi lebih... feminim.
Aku dulu benci Kak Fal, mungkin sekarang masih sedikit membencinya. Padahal orang tua kami sangat akur. Dulu, aku memang terlalu kasar sebagai perempuan, tapi Kak Fal lebih kasar lagi. Masak iya anak kelas empat SD disuruh naik pohon ngambilin kucing? Kak Fal pura-pura nggak bisa manjat pohon lagi waktu itu. Aku juga salah sih, pura-pura bisa manjat pohon. Oke, ini salahku. Semua itu terjadi karena gengsi dan ego yang tinggi. Tapi tidak sepenuhnya. Bagaimana pun aku tetap menyalahkannya atas tindak tandukku di masa kecil.
"Eh, kok kamu ketawa sendiri sih? Saking senengnya ketemu saya ya?" Dokter Naufal Handoko menatapku dengan wajah meledek. Ketawa katanya? Apa? Ketawa? Yang benar saja. Aku hanya ingat betapa kesalnya aku padanya.
Boro-boro pengen ketemu, pisah jauh malah iya. Sejak manuver berbahaya itu aku membencinya. Aku terjatuh lengan kiriku patah. Beberapa saat kejadian itu berlalu, tiba-tiba dia dan keluarganya pindah. Menyisakan perasaan sangat kesal yang dihatiku saat itu. Bukan karena apa-apa, tapi karena dia aku dapat marah dari Bunda. Marah yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin itu kemarahan Bunda terbesar yang pernah kuterima, ya mungkin juga karena kesalahanku yang terlalu. Yah, walaupun aku bukan orang yang menyimpan dendam, aku tetap saja kesal ketika mengingatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor [Complete]
RomanceKisah seorang dokter, yang malangnya jatuh cinta pada seorang gadis muda yang hampir selalu mengacuhkan manusia berjenis kelamin laki-laki.