Mimpi Buruk

15.9K 649 1
                                    

Tia

Sulit kupercaya sekarang aku berada di mobil Naufal. Ini gila. Ini pasti mimpi buruk. Tapi setidaknya aku disini bersama Naufal. Aku sedikit lebih tenang dan beruntung karena lebih mengenalnya daripada Dio. Jadi kuputuskan saja masuk ke mobilnya tanpa berpikir panjang begitu Dio memanggil 'panggilanku' di sekolah. Dio sudah sejak kelas X seringkali berusaha mendekatiku. Aku malah anti padanya. Tapi kadang aku bertanya tentang kesetiaanya mengejarku selama hampir tiga tahun ini. Tapi ah, bodo amat dah.

Lagipula tadi Dio bersama perempuan lain. Kata Dio, yang dulu pernah ditanyai anak-anak kelas dan aku hanya mendengarkan dan sok tidak peduli, namanya Mbak Rea. Anak dari teman mama Dio yang sering kali 'memeras' uang jajan Dio. Percaya gak percaya sih, tapi gimana lagi? Begitulah cerita Dio dikelas.

Semoga pilihanku berada di mobil ini, bukan pilihan yang salah.

"Tia, kita mau jalan kemana nih?" Katanya. Apa? Jalan? Aku nggak salah denger kan? Mana mungkinlah aku jalan sama orang kayak gini. Idih.... Amit amit jabang bayi dah.

"Pulang!" Suaraku meninggi. Berusaha membuatnya menyerah dengan sikapku yang langsung kasar. Ternyata raut wajahnya tak terpengaruh bentakanku. Petaka. Ini petaka. Dia sudah kebal dengan teriakanku. Aku nggak berhasil. Seketika aku menyesali apa yang sudah aku lakukan.

"Ayolah jalan. Katanya aku pangeranmu?" tanyanya memasang muka sok cute. Aku benar-benar menyesali kalimat itu sekarang. Jangan-jangan dia ge-er gara-gara aku memanggilnya pangeran? Tidak mungkin! Tadi kan aku hanya berusaha menghindar dari Dio. Ya Tuhan, gampang sekali laki-laki ini besar kepala.

"PULANG! P.U.L.A.N.G!" kataku berusaha membentak lagi. Harus berhasil kali ini.

"JALAN! J.A.L.A.N!" katanya mengulang nada bicaraku. Sial!

"Kalo gitu turunin aku sekarang. Aku pulang naik taksi aja lah," ucapku berusama membuka pintu mobil.

"Tia!" katanya memperingatkan aku dengan bentakan keras sambil terus menyetir mobil. Sontak teriakan itu membuatku kaget. Biar deh pokoknya. Aku sudah kesal dan tidak tahu cara mengakhirinya. Aku nggak mau deket laki-laki sinting ini. Bunda. Aku terus berusaha membuka kenop pintu mobil, yang kurasa percuma karena terkunci.

"Tia!" Katanya kemudian menarik tanganku.

"Kamu bisa terluka kalo kamu memaksa keluar melulu. Udah diem aja, aku nggak mau ngapa-ngapain kamu lagi kayak dulu. Justru aku mau minta maaf. Jangan kekanak-kanakan! Jadi, please, aku udah ijin bundamu, so, ijinkan aku meminta maafmu, Tia," nada suara Naufal meninggi. Membentakku. Aku benar-benar takut sejak pertama kali mendengar bentakannya tadi. Inikah yang disebut meminta maaf? Atau aku terlalu menanggapi nada bicaranya berlebihan?

Entah kenapa tiap kali mendengar bentakan aku ingin menangis. Aku mengingat bagaimana dulu Ayah dan Bunda saling marah. Ayah membentak-bentak Bunda sampai menangis. Hatiku selalu terasa sakit ketika melihat Bunda menangis di hadapanku. Begitu aku ikut campur, ayah akan selalu mengunciku di kamar. Aku benci masa kecilku. Sangat benci.

"Tia? Kenapa kamu menangis? Ya Tuhan, maafkan aku Tia," Kata Naufal dengan nada menyesal kemudian memingirkan mobilnya ke sebuah taman kecil. Tangisanku semakin pecah.

"Tia, baiklah. Apa maumu sekarang? Kita pulang? Jangan nangis ya. Kita pulang deh," lanjut Naufal bertanya. Aku masih melanjutkan menangis. Rasa sakit itu muncul lagi. Kesakitan aneh, kecewa, amarah, sedih, lelah, semuanya bercampur. Mengingat saat ayah bergi begitu saja meninggalkan Bunda dan aku. Rasa takut akan gelap bercampur lelah akan tangisan yang terasa tak mudah usai. Aku ingin melupakan kenangan itu. Kenangan gilq itu. Tapi kenangan itu selalu muncul begitu seseorang membentakku.

"Tia, kau tak apa?" Tanya Naufal begitu aku mengusap kedua air mata, yang kujanjikan sebagai air mata terakhir untuk menangisi kenanganku. Tangan Naufal yang besar meraih daguku dan mengusap sisa-sisa air mata di pipiku.

"Tidak," jawabku otomatis. Entah kenapa rasanya terhipnotis.

"Kita pulang?"

"Iya."

"Tidak Tia, Mama sedang diajak Bunda berbelanja, dan nyalon, jadi kamu sama aku aja oke? Daripada di rumah sendirian," katanya kemudian mengerlingkan matanya ke arahku. Jijik banget dah. Naufal kembali menancapkan pedalnya dan fokus ke jalanan. Entah kenapa perasaanku mulai sedikit tenang.

"Whatever..." Jawabku pada akhirnya menyerah. Mimpi buruk telah di depan mata Tia!

The Doctor [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang