Naufal
Aku sekali lagi, memiliki kesempatan menjemput Tia di sekolah. Kali ini Mama mengajak Bunda Tia untuk pergi ke kebun yang sedang dikelola papa. Aku sudah cukup lama menunggu waktu-waktu seperti ini, mengingat rasanya sudah sangat lama aku tidak melihat wajah Tia. Ya, bekerja menjadi dokter itu memang menguras waktu, sudah sekitar lima hari terakhir aku tidak bertemu Tia atau mengirimi Tia pesan seperti yang biasanya aku lakukan. Banyak jadwal operasi yang melelahkan akhir-akhir ini. Selalu tiap malam seusai mandi aku selalu tepar alias tewas terkapar di kasur kamar apartemenku. Akhirnya hari ini ada waktu juga untuk melihat kecantikan my baby sweety Sintia Larasati Harjuna yang menurutku adalah gadis paling cantik, cuek, dan tidak pernah menilai ketampananku itu. Ngomong-ngomong soal cuek, setelah kejadian di rumah sakit itu, Tia sekarang memanggilku 'Kak' Naufal lagi. Tentu saja hal itu menggembirakan bagiku. Akhirnya, seorang Tia kembali padaku. Yah, aku bersyukur, Tuhan mengabulkan doaku, walaupun dalam keadaan yang tidak terduga.
Aku sengaja berangkat lebih awal untuk menjemput Tia sekalian berusaha mengajaknya ke sebuah Mall besar yang ada di dekat-dekat sini. Bukan akan mengajaknya nonton atau apa, tapi ingin membelikannya semangkuk es krim dan tentu saja gula-gula kapas yang besar. Aku tahu keinginanku ini cukup aneh, tapi rasanya untuk Tia yang unik, aku akan melakukan pendekatan yang unik juga. Aku sangat senang, hari demi hari bisa semakin dekat dengan Tia. Jujur, sebenarnya aku tidak pernah menyangka Tuhan akan menakdirkan garisku seperti ini. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu Tia dalam wujud gadis cantik, bukan lagi anak ingusan untuk yang pertama kali sejak perpindahanku.
Bel pulang sekolah berbunyi, mataku mulai menyapu seluruh area yang bisa kujangkau dengan mataku. Tak lama kulihat Tia sedang berjalan beriringinan dengan seorang pria. Pria terlihat sangat akrab dengan Tia. Kalau tidak salah Dio namanya. Ah, entah kenapa aku tidak suka melihatnya berjalan beriringan dengan laki-laki lain. Mataku mekori arah mereka berjalan mengarah ke parkiran tempat mobilku berada, kebetulan sekali, mobil BMW M6 keluaran tahun 2012 terparkir disampingku. Aku sangat yakin itu adalah mobil Dio. Tidak ada mobil mewah lain ber-merk BMW di parkiran ini. Pasti Dio ini orang yang suka berangkat di jam-jam mepet bel masuk sekolah, karena posisi mobilnya seringkali, maksudku selama aku menjemput Tia,mobilnya berada di bagian paling luar.
Aku memandangi mereka sampai mereka berhenti di depan mobil laki-laki bernama Dio itu. Dio membuka pintu mobilnya, diekori Tia di belakangnya. Ah, sial! Rasanya aku ingin menggeram saja. Apakah ini yang namanya cemburu? Mataku sedikitpun tidak berpaling dari mereka. Entah kenapa, aku akan merasa harus mengambil ancang-ancang jika Tia ikut masuk kedalam mobil dengan laki-laki itu. Aku pun berpindah tempat duduk sebelah kanan, tempat mengemudi, ke tempat duduk sebelah kiri. Saking penasarannya nih, aku menurunkan sedikit jendela mobilku, berharap aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi sayangnya, pembicaraan itu terhenti saat telingaku sudah siap mendengarkan mereka. Dio menutup pintunya lalu melaju meninggalkan Tia yang berdiri memandangi kepergian mobil Dio. Tia langsung berbalik menatap aku, atau menatap mobilku, aku tidak tahu. Tapi perasaanku tidak enak begitu mengetahui Tia berjalan mendekat. Aku berdoa agar Tia tidak tahu aku sedang mengamatinya dari dalam mobil sejak tadi. Jantungku berdebar-debar luar biasa. Apa yang akan terjadi? Apa yang akan terjadi? Ya Tuhan, rasanya aku seperti banci yang sedang bersembunyi, takut ketahuan satpol PP.
Tok~ Tok~
"Heh, Kak Fal! Kamu pikir aku nggak tau dari tadi kamu liatin aku ngomong sama Dio?"
Suara setan, bukan suara Tia.
"Eh, jangan gugup gitu, emangnya aku ini setan apa? Cepet bukain pintu."
Aku langsung membuka pintuku setelah mendengar pernyataan itu, tanpa melihat apa Tia sudah pergi dari depan pintu mobilku atau belum, dan nyatanya... Foila... aku baru menyadari Tia sudah jatuh tersungkur saat kaki kiriku menginjakkan tanah. Waduh! Gawat!
"Naufal, kamu nggak punya mata apa? Sembarangan aja buka pintu!" Teriaknya. Sudah kuduga. Aku menarik nafas dalam. Mencoba menerima makiannya, sambil membantunya berdiri lagi. Kurasa makian itu tidak hanya akan sampai disini. Sangat jelas Tia sedang tidak ingin menahan emosinya bukan seperti yang biasa dilakukannya pada laki-laki lain. Aku merasa sedikit tenang menangkap sinyal itu. Aku mulai menelurusi tubuhnya dengan mataku. Jangan salah paham! Bukan bermaksud apa-apa, hanya mencari luka jika dia memang terluka.
"Kamu itu dari dulu emang gak berubah, nggak dulu nggak sekarang, masih suka jatohin aku! Kamu mau apa predikat 'Kak' itu nggak aku sematkan lagi? Kamu itu udah aku anggap deket sama aku, sebab itu aku manggil kamu 'Kak' lagi. Itu semua juga karena entah kenapa saat itu kamu hadir di mimpiku. Ah, mungkin mimpiku salah! Dan aku salah mengartikannya! Mungkin aku emang nggak seharusnya menganggap mimpi itu lebih." Sambung Tia, masih dengan nada yang sama. Tapi aku sedikit kaget dengan apa yang baru saja dikatakan Tia, apa itu maksudnya? Otakku mulai mencerna pelan-pelan apa yang diucapkan gadis itu, Jadi dia...
"Maksudmu? Kamu mimpiin aku?!" Tanyaku.
"Yaudah nggak ada maksudnya! L.U.P.A.I.N aja!" Kata Tia penuh penekanan, sambil menyentuh sikunya, yang... berdarah! Aku tersenyum bangga. Merasa menjadi pria paling bahagia di dunia.
"Sini liatin lukanya, kamu berdarah," kataku sambil menarik tangan Tia yang sikunya berdarah.
"Aduh," jeritnya singkat saat aku meluruskan tangannya secara paksa.
"Ayo cepet, kita pulang!" Pintaku, langsung menariknya masuk ke dalam mobilku. Aku pun segera melajukan mobilku cepat. Tujuannya sudah jelas, menuju rumah Tia untuk memberi pertolongan pertama, karena di mobilku tidak ada kotak P3K.
***
"Aduh, pelan-pelan dong!" Teriaknya begitu aku meneteskan obat merah yang kutemukan di kotak P3K rumah Tia di lukanya.
"Tahan dikit Tia, manja amat sih, biasanya gengsi plus cuek sama cowok," godaku, berusaha mengalihkan fokus Tia dari rasa sakitnya.
"..."
Tia diam saja, tidak bergeming, atau menjawab pertanyaanku. Malah memalingkan muka sambil mengerucutkan bibirnya menjauh dari wajahku.
"Kenapa berpaling? Malu sama Kak Naufal? Atau jangan-jangan kamu suka sama Kak Naufal? Sampai mimpi..." Kataku semakin tertarik menggodanya. Entah kenapa rasanya aku sangat tertarik melihat wajah merah padamnya itu. Entah karena Malu, marah atau apa, aku tidak tahu pasti.
"Kakak benerkan?" tebakku sambil diikuti tawaku yang terbahak-bahak karena merasa wajahnya sangat lucu dan imut. Sungguh, sebenarnya aku pasti akan sangat bahagia jika kenyataannya seperti itu. Jika diperlukan sujud syukur atau salto demi kenyataan itu, atau pasti akan melakukannya detik ini juga, tapi masalahnya, entah beberapa persen dari bagian diriku yang lain masih ragu jika tadi Tia mengatakan bahwa ia menyukaiku secara tidak langsung.
Tiba-tiba kurasakan sebuah tinjuan ringan di perutku, aku berhenti tertawa dan membuka mata. Seketika itu aku tahu Tia sudah berjalan menuju kamarnya, meninggalkan aku yang duduk di kursi tamu. Dan aku baru sadar bahwa tebakanku benar.
Panik! Aku benar-benar panik sekarang. Jadi semua itu serius? Rasa bersalah pun segera menggelayuti hatiku.
"Permisi, Tante Rahma, Tia?" Sebuah suara terdengar di balik pintu. Aku segera melihat kearah pintu yang memiliki dua daun pintu itu, seseorang muncul dibalik pintu yang memang salah satunya terbuka.
"Mandala?!" Pekikku kaget.
"Naufal?" Ucapnya tak kalah kagetnya.
"Eh, Mas Mandala udah dateng?" Tiba-tiba saja Tia menyahutiku dari belakang. Dia sudah berganti baju. Baju BabydollI santai a la rumahan warna hijau toska benar-benar membuatnya cantik. Ah, selalu saja otakku ini memandang Tia cantik tak peduli apapun yang dikenakannya.
Tunggu. Tunggu dulu, apa katanya tadi? Mas Mandala udah dateng? Jadi? Apa sebenarnya mereka janjian? Tapi kenapa di rumah? Rasa curiga pun mulai menggelayuti hatiku lagi, atau mungkin bukan curiga, tapi cemburu. Ah, sebenarnya bagaimana? Perasaan apa yang kurasa? Jujur, Aku tidak pernah merasakan hal-hal aneh ini. Apakah aku memang benar-benar mencintainya? Aku jadi malu karena kurasa, aku, yang playboy ini, harus mengakui bahwa Tia adalah cinta pertamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor [Complete]
RomansaKisah seorang dokter, yang malangnya jatuh cinta pada seorang gadis muda yang hampir selalu mengacuhkan manusia berjenis kelamin laki-laki.