Naufal
Aku melewati jalan jalan berlampu kuning dan berkelip dengan hati sangat berbunga. Tahu kenapa? Karena Tia berbicara padaku! Haha... Rasanya senang sekali mendengar suara Tia lagi. Rasanya lega setelah delapan tahun tidak melihatnya. Kurasa aku sudah dimaafkan olehnya. Atau justru semakin dibencinya gara-gara peristiwa piring pecah tadi. Halah, sudahlah. Tidak penting Tia marah atau tidak. Yang penting aku tahu Tia masih ingat caranya berbicara padaku.
Sekarang aku bisa menyimpulkan bahwa caranya agar Tia bicara padaku adalah dengan membuatnya marah. Satu lagi, Tia sudah tidak secerewet dulu, dan bagiku dia perempuan satu-satunya yang tidak hobi ngomel atau tidak hobi bicara denganku. Perempuan idaman bagiku. Yah, tapi mana ada wanita yang tidak cerewet? Aneh juga sih kalo ada wanita yang tidak cerewet seperti Tia. Apalagi dengan pesonaku sebagai dokter muda. Hm, mungkin Tia hanya cuek saja padaku. Seperti kebiasaannya dengan para pria lainnya. Cuek dan menganggap para pria tidak ada.
Suaranya tadi masih sama sih layaknya wanita normal. Duh, kenapa aku tiba-tiba inget Tia pake dress tadi? Jantungku mesti aneh jika mengingatnya. Sejak pertemuan kita yang pertama aku merasa aneh, apa ini yang disebut afeksi? Ah, apa aku suka ya padanya? Tapi masak secepat itu?
Kalau memang iya dia jodohku, kapan aku bisa mengatakan hal itu padanya. Sekarang Tia masih kelas XII SMA. Huh, kenapa aku harus hidup delapan tahun lebih dulu dari Tia. Aku seperti pedofil rasanya. Tidak! Aku bukan pedofil, kita kan sama sama dewasa. Lagi pula pedofil kan menyukai anak kecil. Tapi bagiku Tia masih anak-anak. Maksudku remaja.
Aku menepikan mobilku. Menghampiri tukang somai. Entah kenapa rasanya perutku yang terasa aneh ini membuatku kelaparan. Padahal tidak sedikit juga aku menghabiskan makanan dirumah Tia. Ternyata jatuh cinta membuatku perutku lapar. Ah, cinta ya?
"Bang, somay satu." Ucapku pada Bang somay sambil tersenyum. Entahlah. Wajah Tia yang marah terlihat sangat manis terus terbayang dan membuat senyumku tidak bisa hilang.
"Lho, Dokter Naufal ngapain malem-malem disini," sapa seorang wanita dari sebrang jalan. Aku belum mengenalinya karena lampu redup di seberang jalan. Lama lama bayangannya mulai jelas.
"Rea?"
"Iya, dok. Ngapain dokter disini?"
"Makanlah. Kamu nggak liat?" jawabku sinis. Kenapa perempuan ini hadir mengganggu imajinasi indahku tentang Tia.
"Kebetulan, dok. Saya juga." Katanya tersenyum sangat manis yang terkadang membuatku muak dengan senyumnya.
Aku hanya ber-oh ria dengan tidak mengindahkannya. Lama-lama aku muak juga dengan Rea yang setiap pulang kerja numpang. Aku disuruh anterin kesana kemari layaknya supir angkot.
Lagipula aku tahu satu alasan kenapa si Rea ini nempel terus. Tentu saja karena uang. Kalau Rea udah nyuruh aku menyetir mobil ke arah mall, aku sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dia akan mengakui aku sebagai pacarnya dan menyuruhku membayar di kasir, dengan uangku, catat! Aku mana mau tercoreng hanya karena mengatakan 'aku bukan pacarnya' ke tukang jaga kasir. Cewek yang satu itu emang mata duitan. Aku harus menyelesaikan makan dengan cepat sebelum dia pergi dan membiarkan aku membayar somay-ku dan somay-nya. Sejujurnya aku sedikit tidak suka dengan kelakuannya ini. Benar-benar merugikanku. Emang sih gajiku lebih besar dari gajinya, tapi, itukan aku tabungkan untuk menikah. Menikah dengan Tia. Eh.
"Bang, somay-nya yang tadi satu, nggak jadi dimakan disini ya? Bungkus aja." Ucapku berbisik pada Bang somay. Abang penjual somay hanya mengangguk anggukkan kepalanya, menuruti ucapanku, dan dengan cekatang membungkus pesananku.
Usai membayar dan tanpa pamit pada Rea yang sedang sibuk berbicara pada seorang pria disana, aku langsung berlari kecil masuk ke mobilku. Belum aku menutup pintu dengan sempurna, suara Rea menggema di jalanan yang sudah cukup sepi ini.
"Dok? Mau kemana?" Jeritnya. Aku yang memang tak peduli langsung tancap gas saja meninggalkan Rea yang dengan berlari-lari kecil mulai mengejarku.
Sekarang akhirnya, aku bisa membalaskan dendamku pada gadis penghabis uangku itu. Dasar cewek matre! Maunya dibayarin. Emang aku ini siapanya? Eh, eh, sejak kapan sebenarnya aku seperti ini? Biasanya aku selalu menerima perlakuan cewek-cewek itu. Sekarang kenapa aku malah dengan mudah mecaci Rea dalam otakku. Apa mungkin Tia sudah menyembuhkan sikap playboyku? Haha. Aku sangat bahagia. Masih cukup bahagia walaupun bertemu Rea. Ini semua pasti karena Tia. Tia. Sintia Larasati Harjuna. Kapan aku bisa memilikimu? Aku tak sabar untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doctor [Complete]
Любовные романыKisah seorang dokter, yang malangnya jatuh cinta pada seorang gadis muda yang hampir selalu mengacuhkan manusia berjenis kelamin laki-laki.