Kembali pada 'Kak' Naufal

11.8K 474 4
                                    

Naufal

Aku memandang wajah Tia. Entah kenapa aku senang berlama-lama menatap wajah manisnya, walau dalam keadaan yang seperti ini. Kukira aku tidak akan bertemu kejadian seperti ini lagi. Tapi ternyata Tuhan menakdirkan lain.

Tia, kau tau tidak? Mungkin Tuhan sudah menakdirkan kita bersama. Tuhan mengijinkan aku memperbaiki hubungan kita yang telah rusak. Kesempatan kedua itu ada. Bahkan dalam waktu yang lebih baik. Apa kita ini ditakdirkan untuk bertemu? Lalu bersatu? Batinku bertanya.

Hatiku serasa dipenuhi kekhawatiran dan bunga-bunga sekaligus di saat yang bersaman. Ketika aku merindukan Tia, Tia datang, walaupun dengan keadaan yang tidak baik. Tapi hal itu mampu membuatku tersenyum sendiri. Ah, seandainya Tia tahu perasaan aneh ini, apakah dia akan menolakku seperti Mandala? Aku jelas-jelas tidak ingin membuat Tia kesakitan. Aku ingin Tia selalu tersenyum bahagia. Aku ingin Tia tidak seperti ini lagi. Aku tidak mau dia terkena dampak dari mengingat seluruh trauma masa lalunya. Setidaknya, Tia harus mencoba konseling lagi, untuk menghilangkan post traumatic syndrome disorder yang parah ini. Bahkan hampir-hampir menjadi phobia.

Drrrrt... Drrrt....
Drrrrt... Drrrt...

Ponselku yang ada di saku celanaku bergetar. Ah Sial! Aku merogohnya dan mengeluarkannya. RS 3, memanggilku. Pasti ada seseorang yang butuh pertolongan, tapi kenapa waktunya sangat tidak tepat. Aku masih ingin berada di samping gadisku. Aku ragu akan menerima telepon atau membiarkan ponselku bergetar. Tiba-tiba aku teringat wajah Tia saat kami ada di Taman Wisata, dengan mantap dia menyuruhku mengangkat telepon walaupun kami akan bersenang-senang.

Tanpa berpikir panjang aku langsung menerima telepon , melepas tangan Tia, berdiri bangkit lalu berjalan keluar ruangan. Aku sedikit ragu pergi dari ruangan Tia saat aku menyadari ada Mandala di ruangan itu. Sama saja itu membiarkannya mengambil kesempatan. Ah, tapi sudahlah, aku berusaha mengerti, Mandala juga butuh waktu, dan aku juga berusaha mengerti apa yang diucapkan seseorang di telepon yang dari tadi tidak kupedulikan.

Usai bicara di telepon aku menarik nafas lega. RS 3 hanya mengatakan bahwa hari ini aku tidak ada praktik karena jadwal sedang disusun ulang hari ini. Jadi aku kesana hanya untuk mengecek pasien-pasienku di rumah sakit itu. Entah kenapa hatiku menjadi sedikit lega. Tuhan benar-benar baik padaku. Aku diberikan waktu untuk menjaga Tia. Untuk ada disampingnya. Berdoa untuknya.

Aku berjalan kembali menuju ruangan Tia. Saat aku ada di balik pintu ruangannya, aku sedikit mengintip apa yang dilakukan Mandala terhadap Tia. Mandala sedang duduk di tempatku duduk. Dia hanya memandang Tia dalam. Aku tahu, sungguh sangat tahu perasaan Mandala sebagai seorang pria. Tapi itu tidak membuatku berubah pikiran, bagiku Mandala tetap salah.

Kuputuskan untuk memasuki ruangan. Mandala sedikit kaget ketika gerakan pintu mengeluarkan suara berdecit. Dia menoleh ke arahku, dan baru aku tahu, dia menangis. Ya, Menangis! Memang tangisan pria tidak sama dengan wanita. Hanya beberapa tetes sudah mewakili betapa tersiksanya mereka. Banyak yang bilang jika laki-laki menangis karena sesuatu, itu adalah karena hal yang paling tulus dari hatinya. Sebagai laki-laki normal, kita memang sangat jarang menangis. Tapi mungkin ada kalanya saat kita merasa kehilangan atau tertekan yang terlalu dalam, emosi itu akhirnya membuahkan setetes atau dua tetes air mata.

Ibu Sekar, kepala rumah sakit, menghampiri aku dan Mandala yang sedang memandang Tia dalam diam. Dia menghampiri aku dan Mandala, aku hanya tersenyum untuk menyapanya. Sedangkan Mandala, sama sekali tidak menoleh pada ibunya. Ibunya kemudian memandang Tia lalu mengusap puncak kepalanya, saat itu jugalah Mandala menoleh dan menyadari ibunya sedang ada di samping mereka.

Ibu sekar memberi senyuman hangat pada Mandala, dia kemudian mengelus-elus rambut Mandala, layaknya anak kecil, lalu pergi meninggalkan kami berdua.

"Naufal, maafkan aku terlalu berambisi memilikinya," Mandala berucap tanpa sekalipun menoleh ke arahku, dia hanya fokus pada Tia yang sedang pingsan itu. Nada suaranya seakan sangat menyesal. Aku pun juga mengikuti arah matanya, menekuri Tia. Kurasa Mandala dan aku sama-sama menyukai gadis yang tidak suka dikerubungi laki-laki itu. Hatiku sungguh tidak karuhan melihatnya seperti ini lagi. Dulu saat aku baru mengetahui kisah Tia, Tia juga baru saja mengalami keadaan seperti ini. Aku memandang wajah Tia, dia gadis yang mampu membuat hatiku goyah.

Kau tahu Tia, kau sudah mengisi ruang hatiku saat kita bertemu untuk yang kedua kalinya. Kau sangat kejam Tia, aku sekarang tidak bisa merasakan apapun melihatmu seperti ini. Bangunlah Tia, tersenyum atau menangislah, karena aku selalu ingin melihat ekspresimu yang aneh sekaligus wajah cantikmu. Tia, kumohon cepat sadarlah, sebelum aku pingsan juga karena melihatmu pingsan. Batinku berdialog seakan-akan mengajak bicara gadis itu. Entah kenapa hatiku terasa sakit melihat Tia seperti ini.

Tak lama, pintu pun terbuka. Sekali lagi suara decitannya mengagetkan aku dan Mandala yang berada di ruangan itu. Pikiranku tentang Tia pun lenyap seiring melihat pintu itu.

Tante Rahma, bunda Tia, ada di balik pintu itu, langsung menyerbu masuk, tanpa mempedulikan kami yang ada disana.

"Bagaimana bisa Tia jadi begini?" kata beliau dengan tangisan berderai. Aku pun menjauh dari ibu dan anak itu. Mandala juga ikut menjauh dari Tante Rahma dan Tia. Berulang kali Tante Rahma menciumi anak semata wayangnya itu. Aku memutuskan keluar ruangan. Aku benar-benar tidak tahan dengan suara tangisan yang menyayat hati itu. Aku sendiri juga sangat bersedih. Aku juga ingin menangis melihat semua ini.

Samar-samar aku mendengar Mandala mencoba mengajak bunda Tia berbicara, dan meminta maaf, tapi Tante Rahma hanya fokus pada anaknya. Tak lama, Mandala pun menyusulku keluar ruangan. Aku pun memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan menengok pasien-pasienku sebentar. Kurasa kita semua butuh waktu untuk tenang, dan mulai berbicara lagi.

***

Aku sudah meninggalkan rumah sakit sekitar lima jam-an, tapi aku masih melihat Mandala tidak beranjak dari tempat duduknya yang tadi. Aku mendekatinya dan baru menyadari Ibu Kepala ada di sampingnya, sedang mengajaknya bicara, tapi Mandala diam saja. Aku kemudian mengintip ke kamar Tia. Dia masih belum sadar, sedangkan Tante Rahma tertidur di sampingnya. Aku pun memilih menunggui Tia di luar kamar seperti Mandala.

"Naufal, bagaimana keadaan Tia?" ucap wanita di sampingku. Aku seperti hafal suaranya, dan dugaanku benar, Mama dan Nana sudah duduk disampingku yang memang kosong. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Sekarang semuanya lengkap, ada keluargaku, keluarga Tia, dan keluarga Mandala. Aku menarik nafas panjang. Apa yang akan terjadi setelah ini?

Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Tante Rahma keluar ruangan dengan wajah yang sangat lega. "Tia sadar!" teriaknya di depan pintu kamar menghadap ke arah kita semua. Kami pun langsung menyusul masuk kamar Tia di belakangnya.

"Tia?" Tanya bundanya.

"Bunda, kepalaku sakit, apa yang terjadi padaku?"

"Tidak ada, kau baik-baik saja, hanya terlalu lelah Tia," jawab Tante Rahma langsung memeluk anaknya yang masih terlentang di kasurnya. Kami semua tersenyum melihat Tia seperti ini.

"Bunda, tadi saat aku tertidur, aku seperti mendengar suara Kak Fal dalam mimpiku," Kata Tia sambil memegangi kepalanya. Aku memandangnya takjub. Apa dia perasaan alam bawah sadar kita terkoneksi. Semoga saja.

Aku melirik kearah Mandala yang sepertinya memaksakan untuk tersenyum setelah mendengar apa yang dikatakan Tia barusan.

The Doctor [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang