Pulang

13.2K 493 0
                                        

Hai penggemar The Doctor, ane nongol untuk menulis lanjutan bagian demi bagian. Semoga suka ya?

Oiya, aku nulis cerita lain lho... Baca juga ya? Judulnya Prajurit Cinta.

Ngomong-ngomong, maafin ya gak bisa sering update.

Selamat baca

Lapyuu :*

Behind the scene: Sedih... Begitu cerita udah banyak eh, Watty error trus ceritanya ilang. Ngeselin kan?

========================

Tia

Aku tidak tahu kenapa mereka bersitegang karena aku. Cuek sajalah. Toh yang penting Mas Mandala sama Naufal nggak pake tonjok-tonjokan. Daripada pusing mending aku pesan satu porsi bubur ayam lagi. Bukannya tidak kenyang, hanya saja perut ini belum terasa nyaman. Sekalian nunjukkin ke mereka berdua, aku ini cewek yang banyak makan. Biar mereka agak jengkel atau merasa nggak suka karena mengkhawatirkan aku gendut. Tapi sungguh, aku memang bertubuh seperti ini meski banyak makan.

Makanan kedua datang. Aku langsung mendapat lirikan tajam dari Mas Mandala, dan pandangan terkejut dari Naufal. Aku sedikit merasa menang. Untung-untung kalo mereka mau menjauh dariku gara-gara dua porsi bubur. Aku terus mendengarkan mereka berdebat saat aku makan porsi yang kedua. Kadang aku merasa sedikit tersinggung, dianggap bagai piala yang harus diperebutkan. Tapi, sudahlah. Tidak penting mengurusi laki-laki seperti mereka.

Jangan pernah berpikir menjadi Isabella Swan di film Twilight Saga itu enak. Diperebutkan dua laki-laki. Jangan memimpikan hal seperti itu. Itu keinginan yang konyol. Karena kenyataannya jika di dunia nyata tidaklah seperti itu. Aku, sebagai wanita normal, tersinggung karena aku layaknya mainan yang diperebutkan dua orang anak kecil. Atau akulah yang tidak normal karena tidak tersanjung karena diperebutkan? Ah, masa bodo.

Bubur kedua siap dimeja. Aku melihat ke arah kedua laki-laki itu. Bubur di mangkuk mereka masih sisa seperempat. Tak habis pikir, ternyata ada laki-laki yang makannya lama karena bergosip dengan temannya. Langsung saja aku tancap gas, makan bubur ayam keduaku dengan lahap. Sekalian melampiaskan rasa kesalku karena dari tadi diam, tidak diajak bicara, malah digunjing, diabaikan, diperebutkan.

Begitu bubur ayamku habis, aku melihat kearah mereka yang ternyata melihatku takjub.

"Jadi, siapa diantara kalian yang akan mengantarkanku pulang?" Tanyaku kepada mereka.

"Dengan Mas Mandala saja," tawar Mas Mandala dengan senyuman yang manis.

"Sama aku aja, Tia, kan tadi berangkatnya sama Mandala, pulangnya sama aku ya?" Naufal menyahuti dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan oleh siapapun.

"Tidak, aku sudah berjanji pada bundamu untuk memulangkanmu dengan baik," kata Mas Mandala. Benar juga apa yang dikatakan Mas Mandala. Aku pergi dengan Mas Mandala, tidak mungkin pulang bersama Naufal. Apa kata Bunda?

"Ya, aku pulang dengan Mas Mandala saja, karena yang ijin pada Bunda tadi adalah Mas Mandala," kataku.

Aku melihat Naufal. Dia menatapku aneh. Ada sirat kecewa dan tak percaya dimatanya. Entah kenapa hal itu membuatku merasa... bersalah.

"Yasudah, terserah kau!" Jawab Naufal dengan meninggikan nada suaranya. Jadi, apa aku benar kalau menduga Naufal sedang kecewa.

"Karena tadi aku berangkat dengan Mas Mandala, berarti pulangku juga dengan Mas Mandala. Maaf ya," kataku menjelaskan pada Naufal. Aku tidak mau membutnya marah. Ah, tidak... bukan seperti itu. Aku tidak mau memiliki atmosfer yang tidak enak dengan Naufal.

"It's ok," jawab Naufal lirih. Mungkinkah dia sudah bisa menerima jika aku pulang dengan Mas Mandala?

Tiba-tiba handphone Mas Mandala berbunyi nyaring, tanda ada panggilan penting. Mas Mandala mengangkatnya kemudian air wajahnya kaget dan bingung. Entahlah apa yang dibicarakannya di telepon.

Dia mendatangiku. "Tia maaf, Mas nggak bisa anterin kamu ada orang butuh perawatan jiwa," kata Mas Mandala dengan lembut dan sedikit berbisik.

"Trus Mas, aku dianterin siapa?"

"Naik taksi ya?"

"Ogah Mas. Mending sama Naufal."

"Kenapa?"

"Aku nggak mau semobil sama laki-laki yang nggak aku kenal," kataku menggigit bibir bawahku. Aku tidak tahu sejak kapan aku agak takut dengan laki-laki yang tidak kukenal. Apalagi laki-laki itu berusia parubaya. Hal itu membuatku mengingat orang itu.

"Baiklah, Tia sayang, oke. Jangan ketakutan seperti itu. Kamu boleh kok pulang dengan Naufal," kata Mas Mandala mengusap kepalaku. Aku sempat bingung karena Mas Mandala tahu aku ketakutan padahal aku tidak mengatakannya, tapi aku mendapatkan jawabanku sendiri, dia seorang psikolog kejiwaan. Pantas saja.

"Bro, tolong anterin Tia pulang ya? Jangan diapa-apain. Anterin sampai kedepan pintu, gue ada panggilan mendadak," kata Mas Mandala dengan sedikit menundukkan kepala.

"Siap!" Jawab Naufal. Mas Mandala pergi menjauh menuju Range Rover-nya, kemudian segera melaju. Dia terus berusaha melihat kita. Kaca hitamnya yang terbuka dan wajah Mas Mandala terus menghadap ke arah kita. Tatapan matanya terlihat tidak rela. Sebelum benar-benar menghilang dari hadapan kita saat ini, dia memberi salam dengan menganggukkan kepalanya. Ah, ada apa sebenarnya dengan laki-laki ini. Apa semua laki-laki seperti itu?

"Tia, yuk pulang," kata Naufal menggandeng tanganku sambil berjalan menjauhi tempat itu. Aku kaget tapi tetap berusaha mengikuti langkahnya yang lebar.

"Nggak bayar dulu?" tanyaku begitu sampai disebelah mobilnya.

Naufal menepuk dahinya,"Astaga, lupa. Oke, kamu tunggu disini ya? Jadi patung sebentar, aku mau bayar," Naufal langsung pergi dengan sedikit berlari kearah tukang bubur dan memberikannya uang seratus ribuan. Entah kenapa aku merasa Naufal berbeda. Dia menjadi lebih... lembut.

"Sudah Tia, ayo masuk."

***

"Tia, kenapa kamu manggil Mandala dengan sebutan Mas Mandala sedangkan aku yang bahkan lebih tua dari Mandala, kamu panggil 'Naufal' tanpa embel-embel MAS," Naufal bertanya sambil menyetir menuju rumahku.

Aku kaget dengan pertanyaannya. Apa maksudnya? Aku tidak pernah tahu juga kenapa aku tidak ingin memanggil Naufal dengan sebutan Mas Naufal. Lagipula kejadian masa lalu dengan Naufal membuatku sedikit enggan memanggilnya 'Mas'.

"Hm, entah," itulah yang keluar dari mulutku pada akhirnya.

"Apa karena masalalu yang buruk denganku?"

Apa dia membaca pikiranku? Wow, ternyata aku benar-benar menemukan tokoh Twilight Saga yang lain. Edward Cullen.

"ataukah karena sesuatu hal yang lain? Aku minta maaf kalau aku pernah menyakitimu," lanjutnya dengan nada meilirih. Ternyata dia tidak membaca pikiranku.

"Tak apa," Jawabku singkat.

"Tapi Tia, maukah kau berusaha memanggilku Bang atau Mas atau terserah kamulah, aku senang jika kamu bisa sedikit menghargai umurku," katanya sambil tertawa. Tawanya terdengar satir. Tapi aku tidak ingin memanggilnya dengan Mas atau Bang. Tidak ingin.

"Tidak, Naufal saja? Oke?" kataku.

Dia sedikit mendesah putus asa setelah mendengar jawabanku. Tapi pada akhirnya dia menjawab, "Oke."

Kita terus terdiam dalam perjalanan sampai di rumahku. Dia menghentikan mobilnya pelan saat berada di halaman rumahku. Dia benar-benar menepati janjinya pada Mas Mandala. Mengantarkanku sampai kedepan rumah, bahkan menjelaskan pada Bunda bagaimana semua ini terjadi. Aku menjadi sedikit terkesan.

Meski Naufal tersenyum, aku tidak tahu, tapi aku masih merasakan dia kecewa. Apakah gara-gara aku?

The Doctor [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang