Prolog

2.1K 311 15
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

IG @Benitobonita


Seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun berdiri di depan pagoda raksasa sembilan tingkat di Pulau Kemaro, Palembang, dengan wajah murung. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana panjang hitam yang dia kenakan.

Suara seorang perempuan yang terus berkicau menjelaskan mengenai obyek-obyek wisata di tempat itu kepada rombongan turis membuat anak itu jenuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara seorang perempuan yang terus berkicau menjelaskan mengenai obyek-obyek wisata di tempat itu kepada rombongan turis membuat anak itu jenuh. Dia sudah mengetahui semua dongeng dan legenda nusantara dengan saksama. Almarhum ibunya telah menceritakan kisah-kisah mereka setiap malam tiba.

"Raka, kamu haus? Mau Papa belikan minuman?" Pertanyaan dari pria paruh baya yang berdiri di sebelahnya membuat bocah itu menoleh.

"Papa … aku tidak mau ke Jawa dan tinggal bersama Eyang."

Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Dia menunjukkan ekspresi tidak nyaman dengan ucapan putranya. "Raka …, Papa harus kerja dinas di pelosok. Tempat itu tidak cocok untuk anak kecil, terlebih kamu akan lebih mudah sekolah di tempat eyangmu."

Raka kembali menunduk dengan perasaan sedih. Setelah kematian ibunya, ayahnya seakan-akan ingin membuang dirinya juga.

"... sedangkan menurut legenda, di dasar Sungai Musi ini banyak sekali emas yang tersimpan …." Kicauan sang pemandu wisata kembali terdengar samar. "… sekarang kita akan kembali menyeberang dan mencicipi makanan khas tempat ini ...."

Rombongan turis berjalan pelan mengikuti arahan perempuan muda yang bersemangat itu. Mereka kembali menuju kapal yang terikat di tepi sungai.

Sebuah tepukan pelan dirasakan oleh bahu bocah itu. "Ayo, pulang …."

Raka mengangguk kecil. Bocah itu berjalan dengan enggan dengan kepala tertunduk lesu.

Satu persatu penumpang kapal naik secara perlahan ke atas kapal sambil bersenda gurau. Raka dan ayahnya menunggu giliran untuk naik. Tiba-tiba pantulan cahaya dari tepi sungai menarik perhatian bocah itu.

Ayah Raka sedang melangkah naik ketika sang bocah berlari menuju rerumputan yang tidak jauh dari kapal tertambat.

"Raka! Kamu mau ke mana?!" seru ayah Raka terkejut melihat ulah putra tunggalnya.

Namun, bocah itu seakan tidak mendengar. Dia berjongkok dan menemukan dua buah pecahan kristal kembar seperti seukuran buah duku yang dibelah dua dan bersinar indah.

Ayah Raka melompat turun dan bergegas mendekati bocah itu dengan ekspresi kesal.

"Raka! Apa yang sedang kamu lakukan?! Ayo, pulang!  Mereka sudah menunggu kita!"

Raka memasukkan kedua kristal ke dalam saku dengan terburu-buru. Dia bangkit berdiri saat ayahnya menarik lengan  bocah itu.

"Kamu tidak boleh tiba-tiba berlari seperti itu! Bagaimana bila kamu jatuh ke sungai?!" omel ayah Raka sambil menggenggam lengan putranya dan membawanya menuju kapal.

"Maaf, Papa …."

Ayah Raka menghela napas. Dia melepaskan tangan putranya dan berkata, "Ayo, naik."

Raka menurut. Bocah itu berpegangan pada sisi kapal dan melangkah naik. Tapi saat itu dia belum menyadari bahwa salah satu kristal keluar dari kantungnya, lalu jatuh ke dalam sungai.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Aidan dan Legenda Batu KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang