Bab 3

678 154 11
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita


Waktu terasa sangat lambat. Aidan terus mengintip dari balik tirai untuk melihat keadaan sekitar dengan jantung berdebar-debar. Otak remaja itu berpikir keras untuk mencerna peristiwa yang sedang terjadi.

Perkataan gadis jadi-jadian itu kembali terngiang di telinga. Tokoh dongeng yang menjadi hidup dan bisa membuat makhluk hidup menjadi batu.

"Tokoh dongeng …, batu …," gumam Aidan berulang kali.

Pikiran Aidan langsung tertuju kepada Malin Kundang, tokoh yang dikutuk oleh ibunya sendiri menjadi batu karena durhaka.

"Enggak mungkin si Bruno durhaka ke ibu Malin …." Aidan menggeleng kecil sebelum mendecakkan lidah. Remaja itu mengambil telepon genggamnya untuk memeriksa kondisi sinyal dan wajahnya semakin kusut. "Duh! Masa masih nggak ada jaringan!"

Rasa khawatir yang mengisi hati Aidan semakin menjadi-jadi. Bagaimana kalau Nadia benar-benar berubah menjadi batu?

Aidan memutar semua ingatan yang dimilikinya mengenai dongeng Nusantara. Sejak kecil, dia sering menghabiskan waktu untuk membaca kisah rakyat mengenai legenda dari berbagai daerah, bahkan dia dinobatkan oleh Nadia sebagai si Pendongeng Waktu Tidur.

Aidan menarik selembar kertas. Dia langsung menulis beberapa calon tersangka yang telah menyebabkan para binatang menjadi arca.

*****

Situasi malam hari tidak lebih baik dibandingkan pagi. Ibu Aidan juga tidak mendapatkan sinyal telepon. Satu-satunya hal yang berhasil Aidan peroleh dari penantian panjang hari ini adalah dia sepertinya tahu siapa yang telah membuat para binatang berubah menjadi batu.

"Aidan, kok ayamnya enggak dimakan?"

Teguran halus dari ibu Aidan membuat remaja itu tersadar dari lamunannya. Dia melihat fast food yang dipesan oleh ibunya untuk makan malam tanpa minat. Remaja itu benar-benar mengkhawatirkan saudarinya.

"Tadi di depan ada ribut-ribut, anjing Bu Ratna dan kucing Pak Setyo katanya hilang," lanjut ibu Aidan membuka pembicaraan. "Selain itu banyak arca …."

"Ma, lusa sudah libur sekolah …, apa Aidan boleh menemui Nadia?" Aidan memotong ucapan ibunya dan memandang wanita itu dengan kilat mata cemas.

Ibu Aidan menunjukkan ekspresi keberatan. Kerutan halus di sudut mata yang tertutup bedak, sedikit terlihat saat dia mengerutkan wajah. "Mama kurang suka kamu ke sana …."

"Tapi Aidan khawatir sama Nadia," bantah Aidan. Dia teringat akan ancaman si gadis jadi-jadian.

"Loh, memang Nadia kenapa?"

Aidan terdiam. Dentang jam yang berasal dari sudut ruang tamu terdengar delapan kali dan memecah kesunyian. Otak remaja itu berputar. Dia tidak mungkin mengatakan kepada ibunya bahwa ada cewek siluman yang mengancam dirinya bahwa Nadia akan berubah menjadi batu …, bisa-bisa malam ini juga dia jadi penghuni salah satu bangsal rumah sakit jiwa.

"Na-nadia kakinya luka karena dikejar anjing gila," jawab Aidan pada akhirnya. "Papa kaya biasa sibuk di tambang dan Aidan khawatir sama kondisi Nadia."

Ibu Aidan menghela napas panjang sebelum berkata kecut. "Dasar papamu, selalu saja lebih mentingin kerjaan."

"Jadi, boleh, ya, Ma?"

Ibu Aidan mengangguk pelan dan rasa syukur langsung membanjiri hati Aidan. Dia bisa memeriksa keadaan Nadia!

Aidan seketika bangkit berdiri. Remaja itu hendak memasukkan seluruh isi lemari pakaian ke dalam ranselnya sebelum suara ibu Aidan menghentikannya. "Makan dulu. Mama enggak mau kamu sakit saat perjalanan besok."

Aidan menurut. Dia kembali duduk, lalu mulai menyantap makan malamnya dengan cepat.

*****

Keesokan harinya setelah mereka mengambil rapor, Aidan meminta ibunya berangkat kerja dan meninggalkan dia di depan gerbang sekolah.

"Kamu yakin?" tanya ibu Aidan dari balik jendela mobil yang setengah terbuka. "Mama bisa antar kamu langsung ke bandara."

Aidan tersenyum sambil menggendong ranselnya yang sudah penuh dengan pakaian. "Aidan mau beli game PlayStation dulu di mall biar bisa main sama Nadia nanti."

Ibu Aidan menghela napas panjang dan terlihat menyerah. "Ya, sudah, ingat untuk selalu ngabarin Mama, ya …."

"Siap, Ma!"

Kendaraan sedan putih milik ibu Aidan langsung melaju. Aidan mengamati kepergian ibunya sebelum tiba-tiba wangi melati tercium dan membuat remaja itu menoleh mencari sumber aroma.

Dari kejauhan terlihat Aura, si gadis jadi-jadian berjalan mendekat. Hari ini penampilan cewek itu sangat modis. Dia memakai kacamata hitam, celana pendek, dan kaos putih yang sangat ketat. Namun, rambut hitamnya tetap terkuncir dua.

Napas Aidan tertahan seketika. Dia merasa jantungnya berpacu sedikit lebih cepat. Cewek itu meski bukan manusia beneran, tapi tetap kelihatan manis.

Dasar jomlo, tiang listrik dikasih lipstik aja, lu anggap cakep, cela Aidan pada dirinya sendiri sedetik setelah dia berhasil mengembalikan akal sehatnya.

Aura berdiri tepat di depan Aidan. Gadis itu mendongak sambil melepas kacamatanya. "Hmm, kukira kamu tidak akan menemuiku."

"Aidan, siapa itu?!" Seruan salah satu teman sekelasnya membuat Aidan menoleh ke arah gerbang sekolah. Tiga orang siswa yang berpakaian bebas sama seperti dirinya berjalan mendekat dengan ekspresi tertarik.

Salah satunya bahkan menyikut Aidan sehingga remaja itu terdorong ke belakang, lalu merapikan rambutnya sambil menyeringai dengan laga keren. "Hai, kenalan, yuk. Namaku Roy."

Dua remaja lainnya juga ikut menyodorkan tangan ke arah Aura. Mereka total mengabaikan Aidan yang berada di luar kerumunan.

Aidan mendengkus kesal. Tiga playboy cap kardus yang sering menggoda para siswi juga kini mengincar cewek jadi-jadian.

Biarin aja lu pada dikutuk jadi batu, umpat Aidan dalam hati.

"Minggir dong! Ganggu aja!" Bentakan Aura membuat keempat laki-laki yang berada di situ langsung terkejut. Dia mendorong remaja yang menghalangi jalannya, lalu melangkah cepat ke arah Aidan dengan wajah masam dan menarik lengan remaja itu. "Ayo!"

Aidan melirik ke belakang dan melihat ketiga teman sekelasnya memasang tampang terkejut. Remaja itu tidak dapat menahan senyum. Enggak apa-apalah dicemburui sekali-kali, walau karena kali ini karena cewek jadi-jadian.

*****

Aura menyeret Aidan hingga ke lokasi yang cukup sepi. Dia melepaskan cengkeramannya kemudian bersedekap.

"Jadi, apa yang menyebabkan kamu bersedia bertemu denganku?"

Aidan mencoba mengatur napasnya yang memburu. Gadis itu telah membuatnya berlari cukup lama.

"Tung-tunggu …," ucap Aidan terbata. Dia membuka mulut lebar-lebar agar lebih mudah memasukkan oksigen ke dalam paru-paru.

Aura memutar bola bata. Namun, gadis itu tidak berkomentar. Gang tempat mereka berdiri di apit oleh bangunan komersil yang jarang dilalui orang.

Aidan menghabiskan waktu beberapa menit sebelum dia berhasil memelankan detak jantungnya. Remaja itu menegakkan tubuh, lalu berkata, "Di sekitar rumahku, ada beberapa binatang yang berubah jadi batu …. Jadi, aku rasa kamu tidak berbohong."

"… sudah berlangsung, ya …," gumam Aura pelan. Gadis itu merenung dengan kepala tertunduk dalam.

Aidan mengamati gadis itu sejenak sebelum memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Mudah," jawab Aura menyeringai. Dia mengangkat lengan kanan yang ditekuk seperti memamerkan otot. "Kita tinggal menghajar mereka hingga menjadi abu."

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Aidan dan Legenda Batu KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang