Bab 1

1K 196 10
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita

Matahari pukul sepuluh pagi terasa menyengat kulit cokelat Aidan. Siswa kelas sebelas SMA Palembang Harapan itu mengelap peluh dari keningnya. Dua hari lagi akan libur kenaikan kelas. Namun, mereka malah masih menghabiskan waktu untuk lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali.

Gelak tawa terdengar dari salah satu teman sekelas Aidan yang berlari melewati remaja itu. "Hoi! Siput! Cepetan larinya!"

Aidan mengertakkan gigi. Dia bukan tidak bisa berlari cepat. Namun, dia tidak boleh melakukannya!

Tiba-tiba bulu kuduk remaja itu meremang seketika. Hawa dingin yang tidak wajar seakan bertiup sesaat ke tubuh Aidan.

"Kumpul!" Teriakan dari Pak Mustar, guru olah raga mereka membuat Aidan menghentikan langkahnya.

Dia menggosok kedua lengan untuk mengusir dingin kemudian ikut berbaur dengan ketiga puluh dua manusia berseragam olah raga merah yang bermandikan keringat.

Hidung sensitif Aidan mengernyit seketika, di antara bau tubuh manusia, dia juga mencium aroma melati. Wangi yang tidak remaja itu sukai.

Pak Mustar menatap Aidan dengan pandangan iba, mungkin karena dia terlihat seperti pohon bambu yang hampir tumbang, kurus dan loyo.

"Bulan depan kita akan bertemu lagi, tetapi bukan di kelas dua … melainkan di kelas tiga …."

Sorakan riang terdengar dari para murid dan membuat Pak Mustar tersenyum lebar. "Bapak harap di tahun ajaran baru, kalian tetap semangat."

"Siap, Pak!" Seruan siswa dan siswi kelas sebelas jurusan IPS itu menggema di lapangan rumput yang terbuka.

Aidan tidak ikut berteriak. Remaja itu hanya mencari tempat ternyaman untuk mendudukkan bokongnya. Namun, tiba-tiba pandangannya tertutup oleh bayangan seseorang yang ikut duduk di sebelahnya.

Anak itu menyikut pelan lengan Aidan dan berbisik, "Aidan, nanti saat makan siang traktir gue bakso, ya …. Gue lagi bokek."

Aidan melirik kesal ke arah Bima. Teman sekelasnya itu sudah masuk kategori obesitas kelas berat tetapi tetap aja tidak bertobat dan terus memalak uang jajan anak lain alias dirinya.

"Aku tidak bawa uang hari ini," jawab Aidan berbohong. Dua hari lagi libur sekolah dia ingin menyimpan uang lebih banyak agar dapat membeli beberapa buku bacaan yang menarik di Gramedia.

Si Gendut Bima mendelik tidak suka. Dia mengeraskan otot-otot tangan sambil menunjukkan ekspresi mengancam. "Coba gue lihat dompet, lu."

"Gue nggak bawa dompet hari ini," elak Aidan sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Aroma melati lagi-lagi tercium dan kali ini sedikit lebih menyengat.

"… Aidan …." Suara halus seorang perempuan tiba-tiba masuk ke dalam pendengarannya.

"Bohong, Lu! Sini gue cek celana, lu!" bentak Bima kasar sambil merogoh kantong Aidan tanpa permisi.

"Bima! Aidan! Kalian sedang apa?!"

Kedua siswa itu refleks menoleh ke arah Pak Mustar yang kini berdiri bersedekap di depan mereka dengan ekspresi gusar.

"Eng-enggak ngapa-ngapain, kok, Pak," jawab Bima sambil tersenyum palsu. Kedua pipinya yang sebesar bakpao sedikit bergetar akibat takut dimarahi.

Bima menyikut Aidan hingga siswa itu sedikit terdorong. "Kita cuma ngobrol, iya, kan, Aidan?"

Aidan tidak menjawab. Remaja itu bangkit berdiri dengan wajah masam. "Pak, apa sudah bisa ganti baju?"

Pak Mustar mengamati kedua siswanya bergantian selama beberapa detik sebelum menghela napas. "Sudah bisa … setelah ini jam bebas sampai istirahat makan siang."

Aidan melihat ke arah teman-temannya yang sudah mulai berpencar berkelompok dan kembali ke dalam gedung. Siswa itu memutuskan untuk mengekor sebelum Bima kembali mengganggunya.

*****

Lorong sekolah tampak sepi. Murid-murid kelas lain terlihat sibuk dengan kegiatan mereka di kelas masing-masing. Kening Aidan berkerut karena dia tidak melihat teman-teman kelasnya.

Remaja itu hanya meleng sebentar akibat mendengar suara asing yang kembali memanggil namanya dan suasana di sekitarnya mendadak sepi.

Aidan berhenti di depan ruangan yang memiliki tanda papan kelas XI- IPS yang berada di lantai dua. Dia mencoba memutar pintu sebelum mendengar jeritan dari para siswi yang berada di dalam.

Wajah remaja itu langsung pucat pasi. Dia lupa bahwa sehabis selesai olah raga, para siswi selalu menguasai kelas untuk berganti baju terlebih dahulu.

"Ma-maaf!" teriak Aidan dari luar. Remaja itu langsung mundur teratur dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Teman-teman cowoknya pasti sedang berada di kantin. Namun, remaja itu tidak berminat ke sana. Bima dengan perut besarnya pasti telah menunggu dirinya.

"… Aidan …."

Suara menjengkelkan itu kembali menyapa dan membuat Aidan refleks menoleh. Wangi melati yang terbawa angin dari sisi timur bangunan seakan mengajak dirinya untuk pergi ke sana.

"Jangan …," bisik Aidan sambil menggelengkan kepala pelan. "Jangan ganggu aku …."

"… Aidan …."

Remaja itu menggertakkan gigi dan segera berlari menjauh, tidak pernah ada yang baik setiap kali suara itu datang mengganggu.

Napas Aidan tersengal-sengal ketika dia sampai di dekat tempat penyimpanan peralatan sekolah. Aroma melati itu tidak lagi mengikutinya.

Remaja itu merogoh saku untuk mengeluarkan telepon genggamnya. Dia menekan logo WhatsApp dan mencari nama Nadia sebelum mulai menulis.

Aidan : "Nadia, aku kembali mendengar suara itu."

Namun, mata Aidan berkilat kecewa saat dia melihat hanya ada satu simbol centang pada layar. Remaja itu memeriksa jaringan telepon dan wajahnya semakin masam.

"Tidak ada sinyal," gerutu Aidan sambil mematikan  telepon sehingga gambar kunci pengaman yang berupa foto dia sedang tersenyum lebar bersama Nadia, saudari kembarnya muncul di layar.

Aidan menghela napas panjang. Remaja itu melihat ke arah lorong dan bergumam, "Mungkin mereka sudah selesai berganti pakaian."

Dia memasukkan telepon ke dalam saku, lalu berjalan dengan kepala menunduk. Aidan telah belajar banyak … salah satu cara untuk terhindar dari masalah adalah dengan tidak berhubungan dengan siapa pun.

Aidan tidak membutuhkan sahabat. Dia tidak memerlukan ayahnya yang memutuskan bercerai. Remaja itu juga tidak membutuhkan ibunya yang selalu sibuk bekerja.

Dia hanya memerlukan Nadia.

Dan sekarang telepon genggamnya berkhianat sehingga dia tidak dapat menghubungi saudari kembarnya ….

"Menjengkelkan!" umpat Aidan kesal.

"… Aidan …."

"Berhenti memanggil-" Ucapan Aidan terhenti seketika. Di hadapannya terlihat seorang siswi asing sedang berdiri mengamatinya.

Gadis itu memakai seragam sekolah yang sama dengannya. Dia memiliki kulit cerah, mata bulat, rambut hitamnya dikuncir dua, dan … manis, jauh lebih cantik dibandingkan wajah Nadia yang sedang mencoba make up ibu mereka.

Wajah gadis itu berkerut sebelum berkata, "Tutup mulutmu, nanti lalat masuk …."

Rasa malu menguasai Aidan. Dia ketahuan kesemsem sama cewek yang berada di depannya.

"Siapa?" tanya Aidan penasaran. Remaja itu sangat yakin tidak pernah mengenal gadis yang menyapanya.

Mungkinkah akhirnya ada cewek yang sadar akan pesonanya?

"Namaku Aura." Gadis itu memiringkan wajah melanjutkan perkataannya. "… dan aku ingin kamu mencarikan kristal untukku …."

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Aidan dan Legenda Batu KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang