Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Pencipta @Benitobonita
Aidan berdiri bersisian dengan Aura. Keduanya memakai teropong--yang entah didapat Aura dari mana--untuk mengamati sungai yang berada jauh di bawah.
Sebuah perahu kayu yang dikayuh oleh seorang pria tua terlihat bergerak lambat ke arah barat. Kening Aidan berkerut. Tidak ada yang aneh dari orang itu. Namun, tiba-tiba sang pendayung memutar haluan dan kini bergerak ke arah timur.
Rasa penasaran seketika mengisi hati Aidan. Dia terus mengintai dan hanya dalam hitungan menit sang pendayung lagi-lagi memutar haluan ke arah barat dengan mulut terus bergerak-gerak seakan-akan sedang berbicara kepada diri sendiri.
"Apa yang sedang dia lakukan?" tanya Aidan kebingungan saat laki-laki yang sedang mereka perhatikan berulang kali memutar perahu tanpa tujuan yang pasti.
"Sudah kubilang, dia gila." Jawaban asal dari Aura membuat Aidan menoleh. Mata remaja itu secara instan mengamati penampilan baru gadis yang berada di sebelahnya. Kaos ketat merah terang yang memiliki potongan leher yang terlalu lebar sehingga menonjolkan bahu kiri dan celana jin hitam tiga per empat yang dipadu dengan sepatu kets putih.
"Kenapa kamu terus-menerus berganti pakaian?" Aidan refleks bertanya. Bukannya dia sangat terpesona dengan penampilan centil gadis itu, tetapi melihat seseorang berganti penampilan sekurang-kurangnya per tiga jam sekali, membuat kepalanya pening.
Aura melirik sejenak sebelum dia meniup permen karet yang entah sejak kapan dikunyahnya hingga membentuk balon merah muda. Benda itu meletus ketika hampir sempat menyentuh hidung Aidan.
Hening beberapa saat. Aidan membalikkan badan dan melangkah menuju jalan besar untuk mencari taksi. "Aku pulang."
"Dan membiarkan Nadia menjadi batu," lantun Aura dengan nada berirama. Gadis itu kembali meniup permen karet hingga membesar dan meletus.
Aidan membeku seketika. Dia mencengkeram erat tongkat yang sedari tadi di genggamannya dan menahan diri untuk tidak menghajar gadis tengil yang menyebalkan itu.
"Jadi kita harus apa?" tanya Aidan dengan wajah masam. Remaja itu kembali ke posisi semula dan meneropong lagi untuk mengamati pendayung aneh yang masih terus berputar-putar di sungai. "Dia sepertinya tidak penting."
"Bagaimana kalau kita hantam kepalanya dengan tongkatmu, sekurang-kurangnya satu makhluk aneh tidak akan lagi menjadi masalah." Saran Aura membuat Aidan mendecakkan lidahnya. Salah dia karena meminta saran kepada roh alam haus darah yang tidak dapat berpikir jernih.
Aidan terus mengamati sang pendayung sebelum sebuah nama tiba-tiba teringat olehnya. Remaja itu bergumam pelan. "Lebai Malang ...."
"Siapa yang lebai?" Aura terdengar tersinggung. "Aku biasa aja. Kamu kali yang lebai."
"Nama orang itu Lebai Malang," jawab Aidan berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Remaja itu menurunkan teropongnya, lalu menghela napas. "Dia bukan orang gila. Dia hanya bingung memutuskan akan menghadiri pesta yang berada di hulu atau hilir sungai."
"Pesta?" Alis Aura terangkat sebelah. Itu hal yang wajar karena sekitar mereka sangat sepi dan tidak terlihat hiruk-pikuk manusia.
"Abaikan. Ayo, kita temui dirinya, mungkin dia tahu sesuatu tentang kristal," ajak Aidan.
Keduanya melangkah ke tepi sungai pada saat Lebai Malang sedang melakukan putaran untuk yang kedua belas kalinya. Aidan menyandarkan tongkat pada pohon trembesi yang berada di dekat mereka sebelum dia memakai kedua tangan sebagai corong dan berteriak, "Lebai Malang!"
Pria tua itu berhenti mendayung. Dia menoleh ke arah Aidan dan balas berseru, "Siapa siko?! Kenapa tahu nama ambo?!"
"Aku Aidan!"
"Apa?!" tanya Lebai sambil menelengkan kepala hingga bisa mendengar lebih baik.
"Aidan!" teriak remaja itu lantang.
"Siapa?!" Namun, Lebai Malang yang berada jauh di tengah sungai belum juga bisa mendengar suara Aidan.
Remaja itu mengambil napas dalam-dalam sebelum berteriak hingga tenggorokannya sakit. "Aidan!"
"Apa?!"
"Oh! Diamlah!" bentak Aura dengan nada kesal saat Aidan akan kembali berseru.
Aidan yang tersinggung langsung terdiam seketika. Dia menoleh ke arah Aura dengan wajah masam untuk menegur sikap kasar gadis itu. Namun, tingkah Aura yang membuka mulut dan menghirup udara yang berada di hadapannya, membuat Aidan memutuskan untuk tidak menyelanya.
Perahu bergerak pelan mendekat ke arah mereka dengan Lebai Malang menjerit-jerit kebingungan. Pria tua itu berusaha melawan dengan mengayuh ke arah yang berlawanan.
Meskipun demikian Aidan tidak memperhatikan peristiwa yang sedang terjadi. Matanya kini sedang melotot terkejut karena melihat perut Aura yang semakin lama semakin besar.
"A-aura, i-itu bahaya nggak?" tanya Aidan dengan ketakutan. "Nanti perut kamu meletus."
Ucapan Aidan sontak membuat Aura terbatuk. Angin kencang langsung mendorong perahu hingga melesat jauh dan membawa pendayungnya yang memekik ketakutan hilang dari pandangan mereka.
"Dasar, Bodoh! Lihat ulahmu!" gerutu Aura gusar. "Tadi kita hampir bisa mendapatkannya!"
"Habisnya ...." Aidan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia memang salah. Remaja itu akhirnya menundukkan kepala. "Maaf."
Aura mendecakkan lidah. Gadis itu melihat ke arah sungai yang tenang, lalu berkata dengan nada pasrah. "Sekarang gimana? Dia pasti sudah sangat jauh."
"Kita kembali saja ke rencana semula, mencari naga penunggu danau kembar," saran Aidan sambil memasang wajah polos.
Aura melirik ke arah remaja itu sebelum tiba-tiba di memukul bagian belakang kepala Aidan sambil berkata, "Ayok."
"Sakit tauk!" Aidan mengelus kepalanya yang tidak benjol. Dia langsung mengambil tongkatnya dan langsung menyusul Aura yang telah berada jauh di depannya.
Matahari semakin tinggi ketika mereka kembali menyusuri jalan untuk menuju Danau kembar.
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Aidan dan Legenda Batu Kembar
FantasiaMemiliki kemampuan istimewa bukanlah keinginan Aidan. Remaja itu tidak mensyukuri berkahnya yang dapat mendengar ataupun mencium aroma makhluk halus di sekitar dirinya. Namun, siswa kelas IX itu tetap berusaha menjalani hidupnya dengan normal, sampa...