"When we first met, I honestly had no idea that you would be so important to me,"
-source
***
Hari demi hari dilewati Diana dalam rindu. Bulan demi bulan terlewati. Sekarang Diana sudah terbiasa menunggu.
Pohon Mapel diluar kamarnya mulai menggugurkan daunnya setelah lebih dahulu berubah warna menjadi merah. Angin dingin menyambut Diana kala membuka jendela dan berjalan menuju balkon.
Ia mengusap lengannya yang tak terbalut sehelai benang mencari kehangatan, gaun malam yang ia kenakan benar-benar tidak cocok di pakai di musim gugur.
Namun, Diana tak peduli. Dia ingin merasakan rasanya pertama kali udara pagi di musim gugur tanpa seorang pun. Kalau dulu ada Ellinor, kakak kandungnya, yang biasa memberinya segelas teh hangat untuk menyambut musim ini, ataupun Ibu dan Ayahnya yang bisa menyempatkan waktu luang untuk merayakan hari ini. Kini, tak seorang pun menemaninya.
Hari ini, sangat sunyi. Daun maple yang gugur berterbangan dibawa angin dingin. Dari balkon, Diana bisa melihat Mr. Carlos memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan sebelum mengambil gunting pemotong rumput. Kemudian Paul yang sibuk memoles kereta kuda yang biasanya mengantar sang suami pergi.
Ah, suami. Diana tak lagi sibuk menunggu kabar karena sekarang dia tau. Suaminya tak mengirim sepucuk surat pun untuknya. Ntah kenapa, ada perasaan hampa yang dulunya merupakan rindu yang tak terbalas.
Tanpa ia sadari, setetes air mata lolos dari matanya. Diana tak dapat menahan air matanya yang dari dulu terasa membeku. Ia berbalik. Menutup wajahnya yang mulai terbanjiri air mata. Ini sungguh menyakitkan, rasa hampa itu ternyata amat sangat menyakitkan.
***
Setelah usai mandi dan memakai gaun yang dibantu dengan Maria, Diana turun ke bawah. Ia ingin keluar. Menyegarkan pikiran dan hatinya sejenak. Ia benar-benar butuh udara segar sekarang.
"Paul! Paul! Dimana kau?" Ujar Diana seraya mencari keberadaan supirnya itu
Mendengar suara nyonya nya, Florest segera mendekat. "Ada apa nyonya? Ada yang bisa saya bantu?
Diana menatap asisten rumah tangga yang dari dulu sudah melayani keluarga Maxwell itu. "Apa kau melihat Paul? Aku tidak bisa menemukannya dimana pun," ujar Diana sambil melihat sekelilingnya
Florest mengangguk paham. "Tunggu sebentar, nyonya. Saya akan panggil kan dia," jawabnya lalu mengundurkan diri dari hadapan Diana
Tak lama kemudian, Paul dan Florest terlihat berjalan tergesa-gesa mendekati Diana. "Maafkan saya, nyonya. Saya tadi sedang memoles kereta di halaman," Ujar Paul gelisah
Diana tersenyum. "Tak apa, bukan salahmu. Apa kau bisa mengantarkan aku ke kota? Aku ingin menyegarkan kepalaku," ujar Diana penuh wibawa
Paul dan Florest yang mendengar itu sesaat terperanjat. Mereka tak pernah melihat nyonya mereka melangkah keluar lingkungan mansion sejak pertama kalinya wanita itu menjadi istri Maxwell.
Di menit berikutnya, Paul berdehem lalu mengangguk. "Dengan senang hati, nyonya," jawabnya. Paul dengan secepat kilat menyiapkan kereta sementara Diana di pakaian mantel oleh Florest. "Apa kau mau ikut bersama ku, Florest?"
Mendengar ucapan Sang Lady, wanita tua itu terkesiap. Dia merasa tersanjung bisa berpergian bersama bangsawan untuk pertama kalinya. Namun, dilain hal, dirinya tak bisa, di udara dingin seperti ini, tubuhnya kurang bisa bertahan, dan mungkin nanti akan merepotkan sang majikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Affair (Completed)
Historical Fiction#Lady's Series #1 British (18/3/21) #14 Newadults Diana Heart Mountbatten merupakan putri bungsu dari keluarga bangsawan, Duke Mountbatten. Statusnya sebagai seorang wanita terhormat membuatnya tidak pernah merasakan rasanya jatuh cinta, sampai keti...