"Men trust God by risking rejection, women trust God by waiting,"
-Carolyn McCulley
***
Diana Rose Mountbatten tinggal seorang diri di dalam sebuah mansion megah yang terletak di pinggir kota Annecy, Prancis.
Wanita yang mendapat gelar the duchess Maxwell atau biasa dipanggil, Lady Diana, sebenarnya tidak sepenuhnya tinggal seorang diri. Ada Maria dan Florest sebagai asisten rumah tangga yang setia menemani Diana, juga Mr. Carlos dan Paul yang bekerja di mansion tersebut sebagai tukang kebun dan supir pribadi Diana apabila sewaktu-waktu hendak ke pusat kota untuk membeli keperluannya.
Hari itu, Diana mengantarkan kepergian Lord Maxwell, suaminya, tuk pergi ber-ekspedisi ke dataran Amerika guna meng-eksplor kekayaan alamnya.
Setelah dua minggu resmi menyandang nama Maxwell di belakang namanya, Diana sudah terbiasa di tinggal pergi seperti ini. Karena memang begitulah apabila kalian menikahi seorang bangsawan.
Diana hendak menahan kepergian suaminya itu. Namun, sebagai seorang Lady, dia tidak berhak membantah ataupun melarang keinginan sang suami.
"Aku akan pergi untuk sementara waktu, jaga dirimu dan jangan bicara dengan orang asing, my Love," pesan Maxwell sambil mengecup dahi sang istri
"Selalu, My Lord," ucapnya pelan diikuti lepasnya bibir sang suami dari dahinya. dengan senyum tipis, Maxwell masuk ke dalam kereta kuda yang sudah menunggunya.
Kereta bergerak keluar halaman mansion setelah Paul menghentakkan tali kekang. Dari balik jendela kereta, Maxwell mengangkat topinya dan melambaikan nya.
Sejenak, ada rasa tak nyaman yang merayap di hati Diana. Namun, ketika melihat topi suaminya, ia menepis prasangkanya, dan balas melambaikan tangannya. "Hati-hati," lirihnya.
Lama Diana berdiri di depan rumahnya sampai ia tak dapat lagi mendengar suara gesekan antara roda, dan tanah. Kemudian, ia berbalik lalu masuk ke dalam mansion yang megah itu.
***
Dipandanginya lukisan seorang pria yang duduk diatas kursi kebesarannya di ruangan kerja nya. Manik hitam yang senantiasa dirindukannya, bibir tipis yang suka mencium keningnya, jenggot tipis yang menambah citra gagahnya, serta rambut hitam yang seringnya ditutupi topi tinggi miliknya.
Diana rindu. Ia mengelus lukisan itu dengan jemarinya berharap pria itulah yang di usapnya sekarang. Diana menutup matanya. Menahan rasa rindu yang mulai menggerogoti hatinya.
"Anda dimana sekarang?" Ucapnya
"Apa anda sudah sampai di tanah yang jauh itu?"
"Sekarang musim semi, apa disana bunga-bunga sudah bermekaran?"
Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Diana. Berharap menemukan jawaban dari lukisan suaminya yang di pajang di tembok.
Florest yang sehari-hari menemani Diana tak dapat membendung air matanya melihat kelakuan sang Lady yang terlihat amat sangat menderita di tinggal sang suami.
"Cinta pengantin baru sangat membara," komentarnya sambil menyeka air mata yang menetes
Maria mengusap bahu wanita tua itu lalu berbisik, "tega sekali tuan Maxwell meninggalkan istrinya, mereka bahkan baru menikah seminggu,"
Mendengar itu, Florest menggeleng tak terima. "Tuan Maxwell memang orang yang sibuk dari sejak ia masih lajang, tuan sering keluar kota untuk mengurusi bisnisnya. Namun, kau tidak sepenuhnya salah. Aku juga sempat menduga, dengan adanya istri dirumah, dia akan jarang pergi. Tapi ternyata, ternyata sama saja," tandas wanita tua itu
Maria mengangguk setuju, "Kuharap mereka akan bersatu kembali secepatnya, Lady terlihat sangat kesepian," tambahnya
Florest mengangguk dengan tegas seraya berkata, "Sebaiknya kita membiarkan Lady Diana sendiri, ayo kita bersihkan dapur,"
Maria menahan bahu Florest, "jangan dapur! Aku sudah membersihkannya tadi, kita bersihkan tangga saja," usulnya lalu menarik tangan wanita tua itu ke arah tangga
***
Hari demi hari dilewati Diana dalam rindu. Bulan demi bulan terlewati. Sekarang Diana sudah terbiasa menunggu.
Pohon Mapel diluar kamarnya mulai menggugurkan daunnya setelah lebih dahulu berubah warna menjadi merah. Angin dingin menyambut Diana kala membuka jendela dan berjalan menuju balkon.
Ia mengusap lengannya yang tak terbalut sehelai benang mencari kehangatan, gaun malam yang ia kenakan benar-benar tidak cocok di pakai di musim gugur.
Namun, Diana tak peduli. Dia ingin merasakan rasanya pertama kali udara pagi di musim gugur tanpa seorang pun. Kalau dulu ada Ellinor, kakak kandungnya, yang biasa memberinya segelas teh hangat untuk menyambut musim ini, ataupun Ibu dan Ayahnya yang bisa menyempatkan waktu luang untuk merayakan hari ini. kini, tak seorang pun.
Hari ini, sangat sunyi. Daun maple yang gugur berterbangan dibawa angin dingin. Dari balkon, Diana bisa melihat Mr. Carlos memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan sebelum mengambil gunting pemotong rumput. Kemudian Paul yang sibuk memoles kereta kuda yang biasanya mengantar sang suami pergi.
Ah, suami. Diana tak lagi sibuk menunggu kabar karena sekarang dia tau. Suaminya tak mengirim sepucuk surat pun untuknya. Ntah kenapa, ada perasaan hampa yang dulunya merupakan rindu yang tak terbalas.
Tanpa ia sadari, setetes air mata lolos dari matanya. Diana tak dapat menahan air matanya yang dari dulu terasa membeku. Ia berbalik. Menutup wajahnya yang mulai terbanjiri air mata. Ini sungguh menyakitkan, rasa hampa itu ternyata amat sangat menyakitkan.
***
TBC
27 Nov 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Affair (Completed)
Ficción histórica#Lady's Series #1 British (18/3/21) #14 Newadults Diana Heart Mountbatten merupakan putri bungsu dari keluarga bangsawan, Duke Mountbatten. Statusnya sebagai seorang wanita terhormat membuatnya tidak pernah merasakan rasanya jatuh cinta, sampai keti...