2. Tangan Kanan

3 0 0
                                    

Sinar matahari tiba - tiba mengenai wajah gadis muda yang tengah tertidur lelap di kasurnya. Gadis itu merengutkan wajah lalu segera menarik selimut untuk melindungi diri dari sinar matahari.

Pelayannya, seorang gadis yang seumuran dengannya, rambut coklatnya tersanggul dengan rapi, ia memakai pakaian khas pelayan namun dilengkapi dengan bros bintang berwarna emas di kerah, sebagai penanda bahwa dirinya adalah pelayan pribadi.

"Nyonya Ferisa tolong segera bangun, ini sudah jam 8 pagi."

Ferisa mendengus kesal lalu bangun dengan malas. Rambut hitamnya begitu berantakan seperti singa. Ia menutup matanya sebentar karena silau matahari. Setelah memastikan bahwa dirinya sudah benar - benar sadar, Ferisa turun dari kasurnya dan meregangkan tangan.

"Air untuk mandi sudah siap," ujar Daria, pelayannya, yang kini berdiri di sampingnya sambil memegang handuk.

Ferisa mengangguk pelan lalu berjalan menuju kamar mandi pribadi yang terletak di sisi kiri kamar.

Di kamar mandi sudah tersedia bak mandi yang diisi dengan air hangat. Ferisa membuka jubah tidurnya lalu memberikannya kepada tangan Daria yang sudah terjulur.

Pintu kamar diketuk dari luar. Daria segera berjalan untuk membuka pintu, meninggalkan Ferisa yang asyik berendam.

Terdengar suara percakapan di luar. Setelah percakapan itu berhenti, pintu kamar tertutup.

"Yang mulia Raja Arden meminta anda untuk segera menemuinya di ruangannya setelah ini," kata Daria memberitahu ketika sudah menutup kembali pintu kamar.

Ferisa mendengus kesal sambil menggosok rambutnya dengan handuk.

"Apa yang dia mau?" tanyanya gusar.

"Saya hanya diberitahu bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan."

"Hari ini aku ingin pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Aku tidak tahan dengan suhu dingin hari ini."

"Tentu. Apa anda ingin mengenakan sarung tangan? "

.......

Di ruang pribadi Raja Arden, Ferisa sudah memakai baju terusan berwarna biru muda dan rambut yang terikat dengan rapi, duduk sambil memperhatikan sepupunya dengan bosan. Arden mondar - mandir sambil terus mengoceh.

"Pertemuan dengan pemimpin kerajaan Sergim siang nanti membuatku pusing. Aku tahu raja kerajaan itu keras kepalanya minta ampun. Para anggota parlemen bahkan tidak mau memberiku saran agar bisa membuat raja tua itu mau menerima penawaranku. Karena itu," Arden menarik napas panjang akibat terlalu banyak bicara, dia menatap lama ke arah Ferisa, "Kau harus menemaniku saat pertemuan nanti."

Sesudah Arden menyelesaikan perkataannya, tidak ada suara yang muncul setelahnya. Mereka berdua saling menatap dengan ekspresi yang berbeda. Yang satu dengan wajah penuh harap sedangkan yang lain dengan wajah datar. Ferisa menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Ia menarik napas panjang.

"Bukannya itu memang sudah tugasku. Kau berbicara panjang lebar hanya untuk sesuatu yang memang sudah kuketahui," balas Ferisa datar.

Arden tersenyum tanpa mempedulikan sepupunya. "Yah, aku sebagai raja yang baik harus bisa mengingatkan tangan kanannya," ujarnya dengan nada sedikit arogan.

Ferisa berdiri dari kursinya. "Kalau tidak ada hal penting lain yang ingin kau bicarakan, aku pergi saja."

"Ya, silahkan datang ke ruang pertemuan siang nanti."

Pintu ruangan tertutup dengan keras. Ferisa berdiri diam di luar, matanya melihat lurus ke bawah.

"Kenapa orang sepertimu bisa menjadi raja," bisiknya pelan. Ia berjalan tanpa mengalihkan pandangannya. "Seharusnya tahta itu milik Joshua... dan aku... "

Setelah melihat matahari yang sudah meninggi dari jendela, Ferisa pergi menuju kandang kuda. Bertemu dengan Raga, kuda kesayangannya, selalu mendinginkan pikirannya.

Saat ia melewati beberapa pelayan, mereka tampak ragu untuk menunduk memberi hormat atau tetap melanjutkan kegiatan mereka.

Dulu sebelum kakeknya meninggal, setiap kali ia dan Joshua melewati lorong istana, para pelayan pasti selalu akan menghentikan pekerjaan mereka sebentar dan menyapa mereka dengan bahagia. Suasana dulu jauh lebih menyenangkan. Sekarang para pelayan disini diam - diam akan meliriknya dan membicarakannya dari belakang.

Mereka tidak lagi menyapanya dengan panggilan 'tuan putri'. Kini ia dipanggil 'tangan kanan raja' dengan nada mengolok.

- - - Barathea - - - 412 tahun - - -
- - - Raja Arden - - -

PS : Vote dan comment

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Veltium DynastyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang