"Sudah semuanya, Afya?" tanya Lucius sambil berjalan di sampingku. Ia berbaik hati mengangkat keranjang belanjaan sejak awal.
"Sebentar, aku cek dulu kertasnya," Aku merogoh saku celana, mengambil kertas belanjaan, lalu membacanya sambil mengecek keranjang. Saat berjalan melewati dua pegawai swalayan, aku tidak sengaja mendengar percakapan keduanya yang membuatku emosi.
"Hei, kau lihat gadis yang lewat bersama bapak tampan itu?" bisiknya pada teman di sampingnya.
"Ya, memang kenapa?" temannya balas bertanya, mulai melirik kami berjalan.
"Dasar anak manja, kenapa ia tidak membawa keranjang belanjaan itu sendiri? Padahal itu tidak berat, kok." pegawai itu tertawa sinis, membuatku berhenti.
"Kau dengar itu kan, kakek?" aku menoleh, ekspresiku pasti terlihat marah. "Anak manja? Mereka keterlaluan! Langsung menilai sesuka hati tanpa mengetahui kalau kakek yang memaksa untuk membawa belanjaan!"
Aku menggeram, mengepalkan tanganku yang beberapa detik kemudian bercahaya. Tiba-tiba, toples plastik dan barang di rak sekitar kedua pegawai itu berjatuhan. Mereka terkejut, berjalan menjauh dari tempat mereka berdiri.
"Eh, sabar. Namanya juga gadis yang suka gosip," Lucius memegang bahuku, mengirimkan rasa tentram.
Lucius melirik ke belakang, lalu mengibaskan tangannya. Barang-barang yang jatuh dengan cepat kembali ke rak dan tersusun rapi.
"A-apa yang baru saja terjadi?" Pegawai menyebalkan itu gagap, menyaksikan kejadian 'supranatural' itu.
"Makanya, jangan membicarakan orang sembarangan—apalagi cucuku ini. Kalian nyaris habis tadi," Lucius menoleh ke belakang, berkata datar. Pegawai itu terdiam seribu bahasa.
***
Setelah keluar dari gedung department store, kami pergi ke tempat parkir yang sepi, dan segera berteleportasi kembali. Inilah kenapa aku selalu mengajak Lucius berbelanja akhir-akhir ini, karena tidak melelahkan. Cukup berteleportasi untuk pergi dan pulang, menghemat biaya pula.
Sepuluh detik kemudian, kami muncul di halaman belakang rumah. Agar Mama tidak curiga, kami masuk dari pintu depan.
"Kami pulang!" Aku berseru, membawa plastik belanjaan pada Mama.
"Eh? Kenapa bisa cepat sekali? Bukannya akhir minggu macet?" Mama yang mencuci tangan di wastafel sedikit terkejut, wajahnya terlihat heran.
"Yah, mari kita katakan kalau tidak selamanya akhir pekan macet, Ma," Aku mengedipkan mata, membuat Lucius tertawa pelan.
"Mana pesanan pentingku?" Mama berbisik dengan suara terendahnya, dan aku pun mengeluarkan kantung plastik yang lebih kecil. "Tenang, aku tidak lupa, bos!"
"Bagus," Mama tersenyum lega, dan segera menunjuk meja makan. "Mama baru buat pancake. Ajak kakek makan, ya."
Aku mengangguk, dan segera menarik Lucius ke meja makan. Pancake dengan sirup mapel itu sangat lezat!
"Wah, pancake nya sangat lezat!" Lucius berdecak kagum, terlihat lebih semangat dariku.
"Siapa dulu yang buat?" Aku tersenyum jahil, melirik Mama yang tersenyum senang di seberang ruangan. Kami menikmati cemilan kecil itu dengan penuh rasa senang.
***
Waktu berjalan lambat saat di rumah. Libur semester tersisa hitungan hari. Di semester baru ini aku akan menjadi murid kelas sembilan, harus belajar dengan giat untuk mendapat nilai ujian akhir yang baik agar dapat memasuki jalur beasiswa di SMA idamanku. Dan tentu saja itu menjadi kendala bagiku sebagai anak yang tidak normal—dalam tanda kutip pemilik kekuatan—yang harus berlatih dan melindungi orang-orang di sekitarku dari jarak.
"Kakek," gumamku pelan, masih membaca. Novel yang entah siapa mengirimkanku untuk dibaca kemarin siang. Lumayan tebalnya, seribu halaman. Ceritanya juga seru, dan genre petualangan kesukaanku.
Siapapun kau, terima kasih sudah mengirimnya. Aku bisa kebablasan jika pergi di toko buku lagi. Batinku.
"Ya?" Sahutnya, sedang membaca sesuatu di tangannya. Kertas hologram canggih dengan lambang kerajaan tertera di pojok kiri atas.
"Apa yang sedang kau baca?" Aku melepas novel itu, menggunakan teknik telekinesis untuk membawanya kembali ke rak buku.
Lucius mengangkat kertas hologram, kemudian mengusapnya ke arah televisi. Seketika, salah satu video siaran dari kerajaan Zoltria terputar.
"Selamat kembali, pemirsa. Dengan saya, Bana Beuka, melaporkan dari studio utama.
"Beberapa waktu lalu, penduduk kerajaan dan dunia paralel dikejutkan dengan kembalinya Lucius, raja dari Kerajaan Zoltria yang telah lama menghilang hingga berabad-abad yang diselamatkan oleh sekelompok anak yang salah satunya berasal dari keluarga kerajaan yang tidak diketahui. Rumor yang beredar saat ini adalah sang raja sedang mengasingkan diri untuk menghindari pertanyaan media dan pers. Sementara itu, Pangeran Elios yang sedang mengambil alih sementara pemerintahan sibuk meladeni pertanyaan demi pertanyaan dari warga dan perwakilan beberapa dunia paralel lainnya di Institut Hukum seperti yang terlihat di layar anda."
Gambar di televisi menunjukkan rapat terbuka yang dihadiri Elios di gedung Institut Hukum secara langsung. Dari raut mukanya, ia mulai gelisah menjawab pertanyaan para media dan wartawan yang terus saja memotret. Blitz kamera memenuhi ruangan rapat. Mikrofon setiap saluran televisi tersusun rapi di depan Elios.
"Yang mulia, apakah kembalinya raja Lucius adalah hal yang direncanakan atau hal yang kebetulan terjadi? Jika direncanakan, mengapa kelompok misterius Anda langsung turun tangan? Bukankah itu tidak masuk akal?" Salah satu wartawan bertanya, membuat yang lainnya terdiam. Menyisakan suara blitz kamera pers.
"Ah, soal itu aku tidak bisa menjelaskannya, karena aku tidak memiliki kewenangan untuk hal itu. Tapi untuk mengapa 'kelompok misterius' dan aku langsung turun tangan adalah karena itu di batas kemampuan pasukan kami, bahkan yang terkuat sekalipun. Aku tidak pernah meremehkan pasukan kerajaan, tapi ini memang di batas kemampuan mereka saat ini." Elios menjawab dengan penuh keseriusan dan halus di setiap katanya. Memastikan bahwa perkataannya tidak ada yang salah dan dapat mengundang konflik.
"Satu pertanyaan lagi, Pangeran Elios. Apakah kejadian ini akan memberi dampak pada kerajaan, Dunia Cahaya, maupun dunia paralel lainnya?" Pertanyaan itu membuatku terdiam di tempat, menelan ludah. Para wartawan ini mengerikan.
Sebelum sempat menjawab, Elios segera berdiri dan diiringi para penjaga untuk keluar dari ruang rapat. Waktu rapat sudah selesai, begitu juga dengan Elios dalam sesi pertanyaan. Para wartawan tetap mengejarnya sambil membawa mikrofon hingga Elios masuk ke dalam mobil dan pergi.
"Seperti itulah penampakan rapat terbuka dari Institut Hukum Zoltria yang ditonton jutaan orang dari seluruh penjuru dunia paralel. Satu pertanyaan yang ada di benak kami: Apakah ini pertanda baik, atau buruk?"
Lucius mematikan siaran televisi dunia paralel itu, waspada jika Mama mendengar berita itu dari lantai dua.
"Ini mengerikan sekali, kakek," Aku menoleh ke Lucius. "Akan banyak orang yang mencarimu dari dunia paralel lain dan bisa saja ini akan berdampak buruk bagimu!"
"Aku tahu itu, Afya. Aku sedikit stres memikirkan ini, tapi aku yakin di saat bersamaan, ada seseorang yang sedang merencanakan hal baru di tempat lain." Lucius menatap kertas hologram itu, lalu menaruhnya.
"Siapa?"
***
"Jadi, berita akan kakakku yang kembali ke kerajaannya itu sudah tersebar ke mana-mana?"
Para Pohampto yang tidak terlalu mengerti ekspresi ratu mereka saling lirik, mengangguk. "Betul, yang mulia. Mata-mata bayaran kami berhasil mengirimkan berbagai data dari setiap saluran televisi yang menyiarkan berita itu tadi."
"Bagus, bagus," Sang ratu tertawa kecil. "Sekarang, mari kita lihat berapa lama mereka bisa menangani hal itu hingga tuntas."
***
Please support me by vote and follow! {^~^}
KAMU SEDANG MEMBACA
TMA Series 2: ILUSI
Приключения**BACA BUKU PERTAMA "TMA 1: TANAH" TERLEBIH DAHULU AGAR MENGETAHUI JALAN CERITA LEBIH BAIK** • Setelah Lucius kembali, semuanya berubah. Beritanya dengan cepat tersebar ke penjuru dunia paralel lainnya, membuat banyak belah pihak yang mulai menafsir...