Episode 6 / Berbeda tapi Sama

235 41 0
                                    

Tin! Tin! Para pengendara sepeda motor tidak sabaran di belakang mobil kami. Klakson mereka terus saja berbunyi, gelisah menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Masuk akal, pekerja kantoran diwajibkan datang lebih awal dari biasanya (aku mengetahuinya dari siaran radio pagi).

"Aduh, kenapa jalan ini macet sekali?" Papa mengeluh, sesekali membunyikan klakson mobil.

"Maklum, Pa. Ini kan jalan utama," jawabku pendek, berusaha menghibur. Diam-diam, aku menggunakan gelangku yang sudah di upgrade Elios beberapa waktu lalu. Aku menekan permatanya, dan dalam sekejap permata itu menjadi kamera terbang. Aku menggunakan teknik teleportasi untuk membuatnya berada di atas kami.

"Kamera pengintai diaktifkan." Tulisan itu muncul di layar hologram canggih, dan lima detik kemudian digantikan dengan siaran langsung kamera pengintaiku.

"Aku tahu jalan alternatif ke sekolah, Pa," Aku segera menurunkan tangan, membuat layar hologram menghilang.

"Lewat mana? Semua jalan kan macet." Papa menoleh ke belakang, sedikit ragu.

"Percaya padaku. Papa tinggal ikut arahanku saja, dalam kata lain fokus saja menyetirnya." Aku kembali mengangkat tangan kiriku saat Papa menoleh lagi.

Tepat saat itu juga lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Papa segera menancap gas, melaju di jalan raya dengan kecepatan normal.

"Kita belok dulu di jalur kiri pertama, lalu lurus hingga bertemu pertigaan, langsung belok kanan. Saat sampai di jalan utama, kita tidak akan bertemu kemacetan."

Dengan gesit Papa membawa mobil, keraguannya berkurang saat jalur yang aku sarankan terlihat sepi dan lancar. Dua menit kemudian, kami kembali di jalan utama, semakin dekat dengan sekolahku. Jalan itu ramai-lancar.

***

"Papa tidak perlu menjemput. Aku akan pulang dengan Lani dan Zandar," Aku mencium punggung tangan Papa dari luar jendela, pamit. Papa mengangguk, segera menancap gas. Melaju di jalan dengan cepat.

"Halo, Afya." Suara khas itu menyapa dari belakang. Aku menoleh, tersenyum hangat. "Hai, Elios!"

"Tumben kamu datang sepagi ini di sekolah. Ada urusan apa, Eli?" Kami berjalan di sepanjang koridor, kemudian menaiki anak tangga. Elios sedang berusaha mengatur emosinya dengan panggilan 'Eli' itu.

"Ah, aku akan mengurus jadwal libur kalian bertiga dengan Anna," jawabnya pelan, tersenyum. Sejak tadi, para siswi yang melewati kami menatap takjub Elios, bahkan ada yang wajahnya memerah saat tidak sengaja dilirik Elios—setidaknya itu yang kudengar dari mulut mereka.

"Eh? Tapi ini kan baru minggu pertama semester baru. Memangnya bisa mendapatkan izin libur dari sekolah? Lagipula, ini untuk tiga orang, lho."

"Tidak perlu khawatir akan pelajaran, Afya. Kujamin semua pelajaranmu yang tertinggal akan segera tuntas ke dalam otakmu yang cerdik itu," Elios mengacungkan jempol, mengedipkan satu mata.

Setelah dua menit berjalan, aku masuk ke ruang kelas sembilan. Beberapa teman sekelasku menyapa saat aku masuk, dan dengan cepat aku menghampiri kedua teman baikku yang sedang berbincang di kursi belakang. Lani dan Zandar menyapaku.

"Wah, kenapa kamu telat? Biasanya kau dan Jayden sampai paling awal—!" tanya Lani penasaran, tertawa kecil. Aku segera menaruh tas di kolong meja.

"Maaf." Lani bungkam, bukan merasa bersalah, tapi rasa ketakutan yang dirasakannya saat menyebut nama teman sekelas kami itu. Aku melambaikan tangan, tidak peduli dengan hal itu.

"Tadi aku berbincang dengan 'Sang Raja' menuju kelas. Dia pergi ke ruang kepala sekolah." jawabku datar, tapi tersenyum kecil.

"Maksudmu Elios? Kenapa dia mau menemui kepala sekolah kita?" Zandar bertanya lagi, alisnya terangkat. "Dan ingin membantu Miss Anna? Untuk apa repot-repot dari Dunia Cahaya juga,"

"Hei, kau melihat kejadian tadi?" Lani dan aku menoleh ke Zandar, menyelidik.

"Jangan keras-keras!" Zandar mengangkat jari telunjuk di bibir. wajahnya panik. Kami berdua justru tertawa melihat ekspresinya. "Tapi benar, kan?"

Zandar mengangguk. "Seperti begitu kira-kira. Kemampuanku meningkat, sekarang aku bisa melihat waktu yang dilewati seseorang sesuai keinginanku. Tapi aku tidak bisa melihatnya lebih dari tiga hari."

"Maksud tiga hari itu, jangka waktu yang sudah dilewati seseorang?" Aku menyimpulkan, membalikkan kursi ke belakang. Lagi-lagi Zandar mengangguk.

Sebelum sempat mendengarkan "cenayang" Zandar, bel sekolah bernyanyi riang. Para murid di kelasku segera berlari ke meja masing-masing, memperbaiki posisi duduk. Semuanya kecuali aku terlihat panik, seperti takut akan sesuatu.

"Alat tulis dan seragam sekolahmu lengkap, kan?" Lani menyikutku, raut wajahnya sama dengan teman sekelasku yang lain.

"Memangnya ada apa hari ini? Kenapa semua orang terlihat panik, La?" tanyaku balik, sebelumnya mengangguk.

"Akan ada kunjungan menteri pendidikan di sekolah, bersama kepala sekolah kita yang super disiplin itu!" Bisiknya dengan suara serak, seketika membuatku merinding. Menteri pendidikan dan kepala sekolah? Penggabungan yang mengerikan dalam dunia kedisplinan.

"SERIUS?!" Zandar berseru di belakang, kedua tangannya berada di atas meja. Aku dan Lani menoleh karena kaget. Di saat bersamaan, seluruh murid ber-sst pelan pada Zandar.

Tap! Tap! Tap!

Terdengar suara langkah sepatu di koridor. Seluruh murid menoleh ke arah pintu. Rasanya seperti dapat mencium bau kedua orang menakutkan di dunia pendidikan sekolah kami. Bagaimana tidak? Kepala sekolah kami itu rumornya sudah trending di beberapa sekolah tetangga, dan semuanya selalu sama. Katanya dia mantan jenderal perang yang memandu pasukannya dari jarak jauh, ada lagi yang bilang kalau beliau melewati Samudera Pasifik dengan menunggangi seekor hiu tanpa henti dari arah utara menuju selatan. Ada lagi rumornya kalau dia—

Pintu kelas berderit pelan, dan wali kelas kami yang masuk lebih dulu. Ketua kelas berdiri, memberi aba-aba.

"Selamat pagi, bu!" sahut para murid serempak. Wali kelas kami membalas dengan ucapan yang sama.

"Anak-anak, kelas kita terpilih sebagai salah satu kelas percontohan dari enam kelas lain di hari pertama semester baru. Sebentar lagi, bapak kepala sekolah dan Menteri Pendidikan akan masuk dan melakukan pengamatan. Maka dari itu..."

Heh, pasti minta satu orang jadi wakil, nih. Bahkan aku tidak perlu kekuatan Zandar untuk tahu. Batinku, menyimak dengan muka datar. Sudah jadi kebiasaan guru kami ini dalam memilih salah satu murid di kelas—bisa dibilang itu senjatanya agar para murid mau menyimak dengan baik pelajaran sejarahnya yang membosankan tapi seru menurutku.

"Dan ibu sudah menentukan siapa perwakilan kelas sembilan dari kelas kita. Dan itu adalah...," Semua orang memajukan badan, dan dengan cepat mengikuti arah telunjuk si wali kelas. Kedua mataku membulat, perlahan menoleh ke belakang dengan Lani.

Mampus.

Zandar yang masih bingung mengapa kami menoleh padanya memasang wajah heran, menoleh ke samping dan menyadari bahwa semua orang menatapnya.

"Oh, aku mengerti." Dia segera duduk kembali. Bisa kurasakan auranya seketika suram.

"Zandar, temui ibu saat jam istirahat, ya." Wali kelas kami berkata pelan, mengambil spidol di atas meja lalu mulai menulis materi di papan tulis. Alih-alih temanku yang malang itu mengangguk, mengeluarkan buku tulis dan bolpoin dari tas dengan gerakan lambat.

"Semoga Zandar berhasil," Lani berbisik, melirik ke belakang dengan raut wajah yang cemas.

"Entahlah, aku tidak bisa melihat masa depan, tapi kurasa ini bukan kebetulan." Balasku berbisik, menarik buku dan pulpen dari dalam laci dan membuka sampul buku coklat itu.

Lani menelan ludah, lanjut menulis materi sejarah. Tapi pikirannya ada di tempat lain.
***
Please support me by vote and comment! {^~^}

TMA Series 2: ILUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang