WELCOME TO YAHUKIMO

14.8K 1.5K 22
                                    

"WELCOME TO YAHUKIMOOOOO ... AAAAAAAAAA ...."

Mereka semua langsung berlari menuruni gunung, menembus rerumputan hijau yang tingginya sampai mendekati pinggang sambil merentangkan tangan, tanpa peduli beban berat dari ransel di pundak. Terus berlari di bawah awan biru tanpa polusi sambil menghirup udara segar.

WELCOME TO YAHUKIMO, PAPUA.

Umar, Dipta, Wawan, Tito, dan Petrus berjejer sambil memegang dada. Menutup mata rapat-rapat sebelum membuka manik mereka menatap jauh ke depan. Tampak rumah-rumah adat Papua berbentuk seperti jamur yang disebut Honai, terpampang jauh di hadapan mereka.

Tanpa aba-aba mereka sudah bernyanyi bersama karena disulut oleh si tukang galau. Tito. "INDONESIAAAA TANAH AIR BETAAAA. PUSAKA ABADI NAN JAYAAAAAA. INDONESIA SEJAK DULU KAAAALA, SELALU DI PUJA-PUJA BANGSA ...."

Tiba-tiba Dipta berbalik melirik ke sekeliling. "Eh, dimana si Dian?"

Umar menaikkan satu alis sebelum ikut melirik ke sekeliling.

Hebatnya mereka itu, menculik setelah itu melupakan korban. Penculik mana yang seperti itu?

"Hey, Petrus? panggil Tito. "Bukannya tadi Dian sama kamu?"

Petrus malah garuk-garuk kepala dan ikut melirik ke sekeliling dengan wajah bingung. Keasyikan nostalgia di tanah kelahiran malah melalaikan Dian. "Ya, mana saya tahu."

Umar memijit dahi. "Ayo kita segera kembali dan cek si Dian!"

"SIAP!" sahut mereka bersamaan.

Terpaksa mereka kembali dan hanya beberapa meter, sudah bisa dipastikan, Dian sudah teler di dengan posisi berbaring di atas rumput hijau.

"Emangnya mereka pikir, gue Tentara," ucap gadis itu dengan suara lemas.

Mereka semua mendekat sampai mengelilingi dan melihat muka kelelahan Dian dengan miris, kecuali Umar yang memilih berhenti dua meter sambil pura-pura melihat alam sekitar. "Itu tanya dulu, maunya apa?" ujar pria itu dengan nada datar.

Petrus berjongkok. "Apa kau haus, Dian?"

Gadis itu menggeleng lemah.

Wawan, Tito, dan Dipta saling berpandangan miris. Bukannya mereka tidak ingin mengurus, hanya saja sejak awal pembagian tugas, Petrus yang diberikan tanggung jawab lebih untuk mengurus Dian.

"Ijin, Danki?" panggil Petrus.

Umar menoleh dengan wajah cuek. "Hm?"

"Sepertinya Dian perlu istirahat."

Umar menghembuskan napas. "Tidak ada waktu lagi, Petrus. Kamu angkat saja di pundakmu, sedikit lagi warga desa akan menjemput kita."

"Siap, Danki."

Dengan lemah Dian digotong juga oleh Petrus dan ranselnya dibawa oleh Dipta.

Sepanjang perjalanan, gadis itu menatap lemah ke sekeliling sambil menyandarkan kepala di pundak Petrus.

Tak lama manik hitamnya bertumpu pada pundak lebar yang berjalan paling depan itu. "Cowok itu bener-bener songong, nyebelin, enggak ada pedulinya sama sekali. Dasar jahat!"

"Pak Petrus? Gue mau nanya sesuatu."

Petrus tetap menatap ke depan. "Iya. Tanya apa, Dian?"

"Apa si Umar itu bakal ngebunuh gue?"

Petrus malah tertawa. "Jangan salah, kau jangan tersinggung dengan Danki punya sikap. Komandan punya prinsip, jadi beliau agak tegas."

Dian mengerutkan dahi. "Prinsip? Prinsip apaan?"

Petrus menggeleng. "Nanti kau tanya saja dengan beliau secara langsung."

"Ishhhh ... ogah!"

Mana bisa dia menjalin pertemanan dan melupakan fakta bahwa dia korban penculikan di dalam keadaan ini? Pikirnya.

Pria berkulit gelap itu kembali tertawa. "Danki tidak bisa kau kenali dalam satu hari, kau harus gencar dekat dengan beliau. Baru kau bisa tau, beliau punya sifat asli. Karena beliau tidak mudah akrab dengan orang baru, apalagi beliau tidak punya saudara perempuan dan setau saya, tidak pernah dekat dengan perempuan.

"PANTESSSS!" batin Dian kesal sendiri.

Mereka berhenti di sebuah hamparan dekat hutan. Menunggu dengan sabar dan Dian juga memilih berbaring di atas rumput, membiarkan para tentara itu mengawasi sekitar dengan waspada.

Dian sempat menoleh dan mencuri-curi pandang ke arah Umar yang masih memasang ekspresi serius. Wajah pria itu tampak sekilas seperti keturunan Arab. Dian mulai menerka, usia pria itu sekitar 27 atau 28.

"Sampai sejauh ini dan dia enggak pernah deket sama perempuan? What? Apa dia semacam homo? Oh my! Bisa jadi, kan?" Dian sudah menganalisis duluan dengan mata melotot.

Dari kejauhan tiba-tiba rumput mulai bergerak.

Wawan langsung menoleh ke arah Dian. "Dian? Tolong kamu bangun!"

Gadis itu manyun tapi terpaksa menurut. Dan entah kenapa langsung memilih berdiri di sebelah Umar.

Sontak pria itu seperti meliriknya dengan anti sebelum satu langkah menjauh.

"Apaan sih?" Dian meliriknya dengan tajam dan tak mau kalah.

Dia melangkah mendekat lagi, Umar meliriknya dan kembali menjauh satu langkah, menjaga jarak aman. Dian tak mau kalah, main melangkah mendekat lagi sampai Tito dan Dipta saling pandang dengan wajah datar.

Umar mau menjauh lagi, tapi mendadak berhenti karena kepala suku sudah muncul dengan beberapa orang pria lain. Mereka menggunakan koteka untuk menutupi kemaluan dan tanpa baju. Terdapat garis-garis putih di pundak, lengan, dan pergelangan tangan. Di leher mereka juga terdapat beberapa hiasan kalung gigi anjing yang memanjang sampai dada, dan hanya kepala suku yang lubang hidungnya dilekatkan dengan taring babi. Di dahi mereka ada semacam pengikat kepala.

Hening. Hampir tidak ada seorang pun yang bergerak saat para pria dengan tombak itu semakin mendekat.

Tiba-tiba tubuh Dian sudah gemetar lebih dulu. Aslinya dia sudah ingin buang air saat itu juga karena perutnya terasa melilit.

Glekkkk

Dian semakin kesulitan menelan salivanya sendiri ketika para pria itu berhenti tepat di hadapan mereka dengan ekspresi tanpa senyum sama sekali.

Petrus langsung berbicara dengan bahasa daerah, dan tiba-tiba kepala suku langsung mendekati Umar lebih dulu, menangkup wajah pria itu lalu menyatuhkan kening dan mengosokkan dahi mereka sebagai ucapan salam sekaligus berniat damai. Dian bisa melihat dengan jelas, ketika kulit yang lumayan terang itu menyatuh dengan kulit hitam kepala suku dari pedalaman itu. Entah kenapa hatinya berdesir melihatnya.

Tak lama kepala suku melepaskan wajah Umar.

Deg

Jantung Dian berdebar hebat, begitu kedua tangan kepala suku mengarah kepadanya.

1

2

3

PRAKKKKKK

Dian smaput saat itu juga.

Be The New (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang