"Aduhhhhh, Piiiii? Mami enggak bisa bernapas lagi tanpa Dian, Piiiii." Lina terus saja menangis sambil bersandar lemah di sofa dengan mata yang membengkak.
Erwand sampai tidak tau harus bagaimana.
Bayangkan saja sudah dua hari anaknya hilang tanpa jejak dari rumah, dan bayang-bayang kejadian besar tahun 1998 terus saja menghantui pikirannya. Belum lagi pihak polisi yang mengabari bahwa belum ada kemajuan sedikitpun dalam pencarian.
"Kita harus gimana, Pi?" tanya Lina membuat Erwand semakin lemah.
Entah apa yang mendorong pria paruh baya itu, mendadak dia menyalakan televisi dan sebuah berita justru sudah muncul disana.
"Para pejabat birokrat, wakil rakyat, akademisi, tokoh agama, aktivis, pemerhati HAM dan lain-lain, mengecam adanya keberadaan TNI yang melakukan operasi di beberapa wilayah Papua. Hal ini serupa dengan pernyataan Gubernur Papua, yang merasa keberatan dengan adanya keterlibatan TNI dan POLRI dalam pengamanan wilayah Papua pasca terjadinya tindakan pembantaian secara keji terhadap puluhan pahlawan pembangunan Papua ...."
Erwand mematikan Tv sebelum memandang istrinya dengan ekspresi kecut.
"Itu kan, Mi. Gubernur yang wilayahnya diamankan aja, enggak setuju kalau TNI ada disana. Ini menunjukkan kalau TNI itu potensinya sangat berbahaya."
Lina mengangguk cepat. "Aku enggak lupa, Pi, peristiwa tahun 1998. Itu ngeri banget. Dian juga enggak akan lupa gimana saat etnis Tionghoa diserang dan beberapa aktivis sampai diculik."
Pandangan mereka terhadap TNI tidak akan pernah baik lagi semenjak peristiwa kelam di tahun 1998. Tidak ada kebaikan lagi di dalam pandangan mereka, karena bagi mereka TNI adalah sekelompok orang-orang terlatih yang mengemban tugas untuk melindungi rezim pemerintahan yang berkuasa. Siapapun yang menentang pemerintah, maka berurusan dengan sekelompok pasukan elit yang ada di dalam tubuh TNI.
***
"Ayo anak-anak, nyanyi lagi. Satu, satu ...," ajak Dian.
"Satu, satu, aku sayang ibu. Dua, dua ...." Hanya beberapa anak yang ikut bernyayi.
Hampir tidak ada satu pun dari mereka yang semangat, bahkan anak-anak yang ada di belakang malah memilih duduk dan diam saja sambil melipat tangan di atas meja kayu.
Sejujurnya Dian lebih tidak semangat untuk beberapa alasan.
Pertama, sekolah yang terbuat dari papan kayu dengan satu ruangan itu, hanya memiliki beberapa meja dan kursi yang sangat sederhana buatan warga.
Kedua, tidak ada buku atau fasilitas selain papan tulis dan kapur.
Ketiga, Anak-anak datang tidak dengan seragam, mereka hanya memakai baju sehari-hari tanpa alas kaki.
Keempat, jangan bermimpi ada pembagian kelas, karena kondisi sekolah yang hanya satu ruangan, maka semua umur dari yang kecil sampai yang besar digabung menjadi satu.
Kelima, ini faktor paling menyebalkan bagi Dian. Ya, karena Umar dan Petrus duduk di belakang seperti mengawasi dan seolah mengatakan, "Apa yang bisa dilakukan aktivis ini?" Asli, Dian sangat malu dan kurang percaya diri terutama pada Umar. Entah kenapa.
"Aishh ... Umar kenapa sih harus disini?" batin Dian kesal.
Gadis itu berharap Umar keluar dan berjaga di luar seperti Dipta, Wawan, dan Tito yang tetap siaga di halaman sekolah.
"Yeeeeee ...." Dian yang heboh sendiri begitu lagu selesai dinyanyikan. "Aduhhhh, gue harus gimana sekarang? Bener deh gue malu bangetttttttttt."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be The New (Tamat)
Espiritual#KARYA 4 Dian sangat membenci TNI. Sangat-sangat benci. Karena bagi gadis Tionghoa itu, TNI bertanggungjawab atas peristiwa 1998 dan diskriminasi yang diterimanya di masa kecil. Itulah alasannya memilih bergabung bersama organisasi mahasiswa yang su...