KAGUM?

13.2K 1.5K 26
                                    

Welcome to hidup baru. Tanpa listrik, tanpa kompor, tanpa sinyal hp apalagi wartel ataupun warung kopi. Tidak ada. Hebat, pikir Dian.

Sejak tadi gadis itu menopang dagu sambil duduk di pintu honai meratapi nasib yang seperti kembali ke zaman batu.

Tidak ada alat transportasi disini, bahkan hewan tunggangan seperti kuda pun tak ada. Yang dipelihara masyarakat sekitar hanya babi dan anjing. Pilihan yang tepat, dua hewan yang sangat ditakuti oleh Dian. Belum lagi suhu udaranya yang dinginnya minta ampun, maklum kawasan pegunungan, alhasil Dian harus terbangun tadi malam hanya karena tidak tahan dengan udara dingin yang menusuk-nusuk kulitnya.

Tanpa gengsi, dia langsung memanggil-manggil para tentara itu meminta pertolongan sebelum benar-benar mati kedinginan. Dan tau siapa yang bangun dan menyodorkan jaket tebal untuknya? Ya, Tito.

"HALO HALO BANDUNG, IBU KOTA ...." Para tentara itu sudah berlari menuju kawasan perkebunan dengan semangat.

Dian yang memilih berhenti di jalanan curam, setelah terpeleset dan duduk di tanah dengan ekspresi kesal bertambah malas. "Haduhhhh ... apa mereka enggak bisa maklumi kekuatan gue? Lari kok semangat amat. Aneh!" gerutunya.

Begini nasib kalau tidak pernah membiasakan lari pagi, baru beberapa meter saja dia sudah berhenti. Kalau para tentara jangan tanya, mereka selalu latihan setiap hari. Kapan pun dan dimana pun.

"Ibu guru?" panggil seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun yang tiba-tiba sudah muncul di belakang tanpa alas kaki dan memegang jeriken bekas ukuran lima liter.

Dian mengerutkan dahi. "Ibu guru?"

Anak itu mengangguk. "Iyo, Bapak Felix bilang Pak tentara dong datang bawa Ibu guru."

Untuk beberapa saat Dian menganga. Tak menyangka berita kedatangannya sanggup menghebohkan satu kampung.

"Hebat!" Ekspresinya berubah datar sebelum garuk-garuk lengan yang tak gatal. "Lo mau kemana?"

"Ha?" Anak itu berekspresi heran karena tak paham dengan logat serta bahasa yang digunakan oleh Dian.

Maklum saja, mereka kebanyakan berkomunikasi dengan bahasa daerah dan hanya di sekolah serta beberapa keadaan, barulah memakai bahasa Indonesia seperti yang diajarkan di sekolah. Itupun masih bercampur dengan dialek lokal.

"Maksud gue ...." Dian tampak berpikir. "Oh bukan, maksud saya, kau mau kemana?" tanyanya dengan perlahan sebelum senyumnya mengembang.

Barulah anak bernama Sius itu paham. "Oh ... ambil air di kali sana, Ibu guru. Sa mau pih sekolah, jadi harus mandi terus bantu Mama isi air di rumah," jawabnya sambil melap ingus dengan punggung tangan.

Dian malah tersenyum kecut. "Oh berarti dengan saya, ya?" tawarnya.

Sius mengangguk semangat dengan ekspresi riang. Seakan-akan itu tawaran paling menarik dalam hidupnya. "Ayo, ayo, Ibu guru! Saya antar Ibu guru."

Tangan Dian sudah ditarik, alhasil gadis itu mengekor dengan wajah malas. "Ini beneran gue ibu guru? Bukannya gue korban penculikan, ya? Yang mana yang benar? Lagian emang mereka pikir jadi guru gampang, apa?"

Dian tetap saja perang batin selama melewati jalanan curam, tanjakan terjal, dan barulah sampai ke kali deras yang dimaksud. Total 3 kilo meter hanya untuk mendapatkan air bersih.

"Lihat kan sekarang?! Ini tuh gambaran kemiskinan yang jelas! Apa peran pemerintah coba?!"

Sontak Umar yang masih membantu anak-anak kecil untuk mengisi jeriken menoleh sebentar dengan ekspresi datar, mendapati Dian sudah ada di belakangnya dengan ekspresi kesal serta tak lupa membawa gaya sok kritisnya.

Be The New (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang