HUGUMA

15K 1.6K 54
                                        

Kampung Huguma

Setelah perjuangan melewati jalanan yang curam, dan kawasan hutan yang membuat Dian garuk-garuk tangan dan kaki sejak tadi, akhirnya mereka sampai di kampung Huguma. Sebuah kawasan perkampungan yang ada di Kabupaten Yahukimo.

Gelap. Rupanya tidak ada listrik disana.

"Ada senter enggak sih?" tanya Dian dengan nada kesal, pasalnya sejak tadi dia sudah tersandung berulang kali.

Tito tersenyum. "Tenang saja, Dian. Insyaallah di depan ada orang."

Dian memutar bola mata malas. "Insyaallah lo itu versi Indonesia atau versi Arab?"

Wawan malah hampir terbahak. "Eh, Dian? Arti Insyaallah itu, bila Allah berkehendak. Bagi Muslim, itu lebih tinggi dari kalimat pasti, bukan menunjukkan ketidakpastian."

Dian ber'oh'ria. Dia baru tahu, karena tradisi di kampusnya menggunakan kata, Insyaallah berarti untuk sesuatu yang masih diragukan.

Tepat saat mereka hampir sampai di kantor kampung Huguma, benar saja, sudah ada sedikit cahaya di kejauhan.

Acara tersandung Dian sepanjang perjalanan sedikit tertolong dengan adanya obor-obor yang dipegang para warga itu. Mereka berjejer sambil menyanyikan lagu dengan bahasa daerah. Sejenis ucapan selamat datang.

Rambut mereka semua pendek, keriting dengan kulit gelap yang khas. Dian cukup bisa membedakan perempuan dan laki-laki dari tampilan yang perempuan menggunakan rok dan memiliki bentuk fisik yang lain dari pria tentunya.

"WUUUUUUU ...."

Tanpa aba-aba, para tentara di sampingnya sudah berlari menuju para warga dengan gembira, meninggalkan Dian yang terheran-heran sambil menatap mereka yang mulai berpelukan dengan para warga.

Tito memeluk beberapa bapak-bapak yang langsung memeluknya dari segala arah. Wawan dan Dipta juga tak ketinggalan diserbu, apalagi Petrus yang sampai diangkat-angkat oleh kelompok bapak-bapak dengan bangga, dan Umar justru tertawa lepas melihat Petrus.

Untuk pertama kalinya Dian baru tahu, Umar bisa tertawa selepas itu. "Bisa bahagia juga ternyata."

Gadis itu bingung, kenapa warga kampung seperti sudah mengenal mereka dan sangat merindukan mereka.

"Dian? Sini!" panggil Umar duluan sambil menahan senyum.

Deg

Dian terpaku untuk sesaat. Rekor pertama kalinya Umar seramah itu padanya.

Gadis itu mendekat juga ke arah kepala kampung Huguma yang bernama Felix.

"Pak Felix? Ini, Dian. Teman kami dari warga sipil yang siap membantu mengajar di sekolah anak-anak nantinya," jelas Umar semangat.

Gubrak.

Dian menganga. "EH? SEJAK KAPAN GUE BILANG GUE MAU JADI GURUUUUU?" Ini pemaksaan bagi Dian.

Felix langsung menyodorkan tangan. Minta dijabat. "Hehehehe ...." Ketawanya terdengar khas. "Ibu guru kita ini. Senang sekali kami dapat ibu guru karena yang lama su pulang ke tanah Jawa, jadi anak-anak ke sekolah tidak ada guru ini. Main terus, tidak pernah sekolah lagi."

Umar mengacungkan jempol. "Makanya Pak Felix, kami bawa guru yang hebat bicara di depan murid."

"AAAAAAAAAAAAAAA ...." Dian sudah ingin mati bahkan dia sampai mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "TNIIIIIIII I HATE I HATE VERY HATEEEEEEEEE!"

***

Malam yang indah, diisi dengan membakar ubi di dalam rumah Honai yang disediakan bagi mereka, walaupun Dian sempat terjedot dua kali di pintu karena lupa menunduk sebelum masuk.

Be The New (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang