1998
Malam itu anjing penjaga rumah jenis rottweiler sudah disiagakan di dekat pagar rumah.
Kawasan Tangerang sudah kosong saat itu. Sepi. Banyak rumah-rumah yang ditandai. Ada yang ditandai milik pribumi dan milik etnis Tionghoa akan ditandai khusus sebelum terjadi sesuatu yang mengerikan.
Dian belum paham apa pun waktu itu, karena saat itu usianya masih sekitar empat tahun. Dia tidak boleh bermain di luar rumah, dan sudah tiga hari dia tidak boleh keluar rumah. Makanan pun apa adanya, tergantung dari persediaan di dalam rumah, karena Lina dan Erwand berusaha agar tak ada yang curiga bahwa mereka ada di dalam rumah itu.
Tepat pukul 01:00 WIB
Suara anjing penjaga rumah melonglong dengan keras sebelum suaranya melemah. Dian membuka mata saat itu, tepat saat mendengar anjing kesayangannya bersuara aneh.
"Piras?" bisiknya dengan suara serak.
Perlahan dia keluar dari pelukan ibunya, melewati Ayahnya yang ada di sampingnya menuju jendela.
Begitu tangan kecilnya membuka gorden putih kamarnya yang ada di lantai dua lalu melihat ke bawah, mulutnya terbuka seketika.
"Hahhhhh ... PIRASSSSSSSSSSSS ... PIRASSSSSSS ...."
Entah sejak kapan air matanya sudah meleleh, ketika melihat kepala anjing kesayangannya sudah terlepas dari badannya dan tergantung di pagar dengan darah segar yang terus menetes.
Tepat pukul 02:00 WIB, dia dan keluarganya meninggalkan kawasan Tangerang sekaligus keluar dari kota Jakarta. Dian bahkan disembunyikan di kursi belakang mobil, dan ditutup dengan kain.
"Hahhh ...."
Dian membuka mata dengan keringat bercucuran.
Tak lama tangannya terulur memegang dada. Dia bisa merasakan jantungnya masih berdegup kencang, dan rasa takut yang sama mulai kembali menghantui pikirannya, membuat tubuhnya langsung lemas seketika sambil bersandar di dinding honai.
Tissss
Air matanya jatuh tanpa mau diajak kompromi. Kedua tangannya langsung naik memeluk lutut dengan tubuh bergetar.
"Apa salah kami?" batinnya.
Dia tidak bisa tidur lagi setelah itu, bahkan setelah lewat jam dua pagi dini hari.
Pada akhirnya dia memutuskan menuruni tangga honai. Manik hitamnya melebar sempurna dan kantuknya hilang seketika, saat melihat tak ada satu pun tentara disana.
"Eh, mereka kemana?" tanyanya dengan panik. "Aduhhhh ... masa gue ditinggal disini sih?"
Gadis itu sudah khawatir. Alhasil tanpa memakai sepatunya sama sekali, dia berlari pelan keluar.
Suasananya memang masih sangat gelap, tapi ada sedikit cahaya rembulan. Dia berlari menuruni jalanan curam, tak peduli lagi dengan kakinya yang sudah terkena becek dan sakit pula terkena bebatuan kecil. Dia terus berlari menuju kali dan berharap para tentara itu ada disana.
"Please! Masa gue ditinggal disini sih?"
Air matanya sudah terbendung lagi.
Tepat sampai di depan kali, tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan orang-orang yang dicarinya itu sampai dia menemukan ada nyala obor kecil di kawasan hutan yang ada di seberang kali.
Dian semakin yakin bahwa itu Umar dan anggotanya.
Dengan susah payah dia menyeberangi kali bermodal pegangan pada batu-batu kali, bahkan celana trainingnya sampai basah hampir mendekati lutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be The New (Tamat)
Spiritual#KARYA 4 Dian sangat membenci TNI. Sangat-sangat benci. Karena bagi gadis Tionghoa itu, TNI bertanggungjawab atas peristiwa 1998 dan diskriminasi yang diterimanya di masa kecil. Itulah alasannya memilih bergabung bersama organisasi mahasiswa yang su...