"Pak? Tolong Pak, anak saya, Pak. Hilang, Pak. Semalam, Pak. Di kamar, Pak. Tidak ada tanda-tanda, Pak. Tolong, Pak." Erwand sampai mau berteriak di depan muka Pak polisi yang masih berekspresi datar itu. "Tolong, Pak! Tolong!"
Lina tak mau ketinggalan. "Hilang, Pak. Saya sudah telepon ke teman kampusnya, tapi-"
Pria paruh baya berseragam coklat itu mempertebal stok kesabaran. "Iya, Pak, Bu. Sabar! Duduk dulu!" potongnya mencoba tersenyum terpaksa.
Suami istri yang masih dengan tampilan santai itu langsung duduk dengan gusar.
Bukan tanpa alasan kenapa polisi itu malas melihat muka dua orang itu, pasalnya baru dua minggu yang lalu mereka nongkrong di kantornya hampir 24 jam, karena kasus anak tunggalnya yang bernama Diandra Araska Kawilarang yang terlibat perkelahian dengan sesama saingan modelnya.
"Baik, Ekhem." Pak polisi yang bername tag Dion itu membenarkan suara. "Siapa nama anak, Ibu?" Pura-pura amnesia.
"Dian, Pak. Dian." Pasangan suami istri pengusaha properti itu kompak main serobot.
Dion menatap mereka dengan ekspresi malas. "Satu-satu, ya, Pak, Bu! Saya harus buat laporan dengan pengetikan. Baik, biar Pak dulu yang jelaskan. Ibu diam dulu!"
Lina mengangguk dengan wajah khawatir. "Baik, Pak." sahut wanita etnis tionghoa itu.
Erwand tarik napas. "Nama anak saya, Diandra Araska Kawilarang-"
PRAKKKK
"Wohhhhhh." Dion heboh sampai memukul meja. "Sulawesi Utara, Pak? Sama kita." Seakan-akan orang Sulawesi Utara di dunia ini cuma mereka berdua. Dion dan Dian.
Erwand dan Lina saling pandang sebelum menatap Dion dengan ekspresi datar, datar sekali. Sontak yang dilihat langsung sadar diri.
"Ekhem, sampai dimana tadi?" Dion kembali memasang muka sangar. Aslinya Lina dan Erwand sudah menjadi saksi hidup betapa tidak berwibawanya kelakuannya itu.
"Jadi begini Pak, anak saya ...."
Dan Erwand mulai menjelaskan dengan rumus persegi panjang. Dari awal Dian bangun pagi, gosok gigi, makan roti dengan sambal ABC, sampai terakhir kali dia melihat keberadaan anaknya masih di planet yang sama dengannya.
Dion menangkap poinnya. "Sebentar, tadi kata Pak Erwand, Dian terlibat demo?"
Lina mengangguk cepat. "Benar, Pak. Demo yang di depan istana negara. Saya tuh sudah bilang Pak, jangan kesana, tapi dia tuh keras kepala. Saya sebagai seorang Ibu, ya, saya ... hiks ...." Tissue sudah kembali diangkat mengusap kedua matanya yang sudah berair sejak tadi, padahal sebelumnya dia sudah menangis hampir sepanci dan belum puas rupanya.
Pada akhirnya Dion ikut bersedih lebih tepatnya berduka. "Demo yang di depan istana negara, yang kebanyakan mahasiswa itu, Pak?"
"Benar, Pak," sahut Erwand.
Yang ada di pikiran Dion hanya satu, harapan hidup yang nyaris tidak ada.
"Oh ...." Dion cuma sanggup ber'oh'ria.
Tentu saja dia sangat tahu, kemarin siapa yang ditugaskan berjaga di istana. Gabungan dari Marinir dan Kopassus. Kalau para baret merah jambu alias Marinir berjaga untuk pengaman obyek vital, otomatis pasukan yang paling banyak berjaga di luar adalah para baret merah.
"Astaga! Harapan kepulangan yang kandas," batin Dion miris.
Tentu saja Dion tahu dan sangat kenal dengan para generasi Kesatrian Muhammad Idjon Djanbi, Batujajar itu. Para tentara yang ada di belakang otak penangkapan 'orang paling dicari' sewaktu kerusuhan di Timor-Timur alias pimpinan gerakan gerilyawan Fretilin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be The New (Tamat)
Spiritual#KARYA 4 Dian sangat membenci TNI. Sangat-sangat benci. Karena bagi gadis Tionghoa itu, TNI bertanggungjawab atas peristiwa 1998 dan diskriminasi yang diterimanya di masa kecil. Itulah alasannya memilih bergabung bersama organisasi mahasiswa yang su...