.
.
.
."INI gila! Sungguh gila! Dia di sini!" Di dalam kamarnya yang kedap suara, Ella berseru tertahan. Wajahnya berseri-seri. Bibirnya tidak berhenti tersenyum layaknya idiot. "Aku tak percaya ini. Dia semakin gagah dan tampan! Kyaa!!!"
Sebuah laptop di hadapan Ella menampilkan layar video call; yang terdiri dari replika wajahnya sendiri dan tiga orang pemuda—teman-teman dekatnya. Satu menit yang lalu Ella mengundang akun mereka masing-masing dalam sebuah grup, lalu menumpahkan segala curahan hatinya yang sejak satu jam lalu berbunga-bunga.
Sakiel, yang saat ini bertelanjang dada—menampilkan kulit kecoklatan yang hot dan seksi ala remaja tanggung—sedang mengunyah keripik dengan khusyuk. Headphone merah menempel di telinganya. Ia beralih dari televisi dan menatap Ella protes. "Hati-hati. Kau bisa memecahkan gendang telingaku."
Kalau Maliq, belum merubah posisi rebahannya. Dia tengah fokus memainkan game MOBA melalui ponselnya. Layar laptop hanya menunjukkan sisi kiri wajahnya yang pucat dan tonjolan hidung mancung. "Sakit, Bitch!" bisiknya marah.
Alvan, si pemuda ketiga, mencabut kacamatanya, menggosok benda itu dengan kain, lalu memasangkannya kembali di atas hidungnya yang terpahat sempurna. Ia lanjut membaca buku. Sama sekali tidak tertarik menoleh pada laptop, apalagi berkomentar.
Para cowok itu memiliki wajah yang beda, unik, dan bergaris mirip satu sama lain jika dipandang sekilas, namun mereka tidak pula kembar.
Sakiel sering berpenampilan kusut dan berantakan. Rambut tebalnya berwarna kemerahan alami, kulit sawo matang yang bersinar dan punya body ideal. Dia pemuda tertua—satu tahun lebih tua—diantara ketiganya. Obsesinya terhadap headphone sudah dimulai sejak dia berada di kandungan ibunya.
Maliq seorang maniak game. Kantung matanya menjadi hiasan permanen di wajahnya. Namun tidak ada yang membantah kalau rambutnya selalu rapi, mengkilap, dan hitam. Cocok dengan kulitnya yang amat pucat. Dia agak kurus, tapi itu berarti dia yang paling gesit.
Alvan si pintar, lebih senang diingat sebagai pemuda yang bersih dan elegan. Tubuh tingginya atletis. Rambut coklatnya dipangkas lebih pendek. Manik matanya berwarna emas, namun sayang keindahan itu disembunyikan dengan sebuah kacamata. Sikap dan pembawaannya yang tidak banyak omong—plus tatapan datar—membuat orang lain memandangnya antara segan dan enggan.
Nah, tiga pemuda itu bersepupu. Memiliki ayah biologis keturunan arab, alhasil, mereka lumayan menarik perhatian dengan ketampanan yang di atas rata-rata itu.
"Dan dia akan tinggal di sini dua hari." Ella memukul meja belajarnya sebagai bentuk semangat. Tentu saja dia tadi menguping percakapan Jaac dan Bastian. Telinganya beradar seperti kelinci, dan hidungnya tajam bak ikan hiu. "Kuharap dia akan mengantarku ke sekolah besok! Kalian pasti ingin melihatnya, kan?"
"Tanyakan itu pada Edith." balas Sakiel.
Ella mendelik tak suka.
Maliq menimpal dengan senang hati. "Aku akan mengingatkannya untuk menunggu di depan gerbang bersama kami." kekehnya.
"Hei—"
"Lupakan saja." celetuk Alvan santai. "Membawa lelaki itu ke sekolah adalah peperangan."
Satu lagi keanehan Alvan. Dia kerap berujar dengan pilihan kata-kata yang 'pintar' dan terkadang 'ambigu' sehingga dapat menyebabkan datangnya rasa kebingungan bagi yang mendengar—atau dalam beberapa kasus, orang lain akan salah mengartikan ucapannya. Hal itu membuat dirinya seakan-akan berasal dari ketuban alien.
Terjadi keheningan sejenak. Terlalu senyap sampai-sampai ketika Alvan membalikkan lembaran bukunya, semua orang mendengar.
Tak lama setelahnya, Sakiel menyemburkan tawa. Maliq mengedutkan bibir. Mereka mengerti benar tentang peperangan yang dimaksud Alvan. Yaitu, Ella yang bergulat dengan Edith—hanya karena seorang cowok.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Little Lady
Romance#Romance #Drama #(A little bit)Comedy •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• Bastian bersumpah kalau Bella dulunya adalah bocah perempuan yang manis walau agak merepotkan. Sekarang, 7 tahun telah berlalu. Bella membuat peru...