An Accident

687 16 0
                                    

.
.
.
.

2010


SORE itu, taman bermain di Kompleks mereka lumayan ramai. Laman yang berkisar separuh dari lapangan bola itu dipehuni oleh anak-anak. Mulai dari usia 4 sampai 8 tahun, yang senantiasa didampingi oleh ibu—atau barangkali pengasuh—mereka.

Beberapa anak perempuan berkepang tengah asik bermain pasir, tali temali, bahkan ada yang berbaring sambil membaca buku cerita. Berbeda dengan para anak lelaki yang mengarungi seluruh lapangan dengan kedua kaki kecil mereka, aksi kejar-kejaran, membuat peran sebagai polisi dan bandit, juga, ada yang bermain ayunan, memanjat dari tiang ke tiang, perosotan, sampai berakhir tunjang-menunjang.

Mereka sangat ceria, sungguh. Ella bisa melihat itu dari senyum sumringah para anak-anak beruntung itu.

Ella sedari tadi hanya bisa memperhatikan mereka dari kejauhan dengan wajah suram—sembari menggenggam telapak tangan kakaknya, Axton, begitu Ella menyebutnya.

Padahal nama asli pemuda berumur 15 tahun ini adalah Jaac.

Jaac Honora, si sulung, dengan rambut pirang klimis yang—sudah positif—halus, kulit putih bersih, hidung terpahat rapi, alis tebal, dan sorot mata tajam, menjadikan pemuda itu terlihat seperti Pangeran dalam dongeng Ella.

"Kak ..."

"Wait, El. Aku sedang—"

"Amber." ralat Ella cepat. Dia mendongak menatap wajah Jaac yang masih serius dengan ponselnya.

Jaac hanya mengangkat alisnya tidak minat. Dia nyaris memutar bola mata.

"Kau berjanji memanggilku begitu," mulut kecil itu mulai mengomel. "Ayolah, kau berjanji kita akan bermain setelah sampai di sini. Aku akan jadi seorang Putri bernama Amber. Kau mm-mph ..."

Sebelah tangan Jaac terpaksa membungkam mulut Ella, satu tangannya lagi digunakan untuk menerima telpon. "Halo! ... Ya, aku di Taman ... Tolong, cepatlah sedikit."

Ella menjepit secuil kulit tangan Jaac dengan jarinya, membuat pemuda itu sedikit berjengit hingga spontan melepas bekapannya.

Ella hanya bisa bersedekap dengan wajah semakin keruh dan bibir manyun. Betapa dia ingin segera berlari ke taman itu dan, maaf, bolehkan dia memamerkan pada anak-anak di sana kalau dia akan jadi seorang Putri? Bukannya apa-apa, Ella hanya senang saja melihat para anak perempuan cemburu atas apa pun yang dimiliki Ella. Yah, Pangeran Axton ini misalnya, sudah jelas para anak perempuan itu akan menjerit dan meminta foto pada kakaknya, tidak diragukan lagi. Lalu, di balik semua itu, Ella akan mendapatkan banyak sekali perhatian dan tentu saja teman. Itulah keinginan terbesarnya yang sesungguhnya.

"Di sini!" Jaac berseru, melambaikan tangan pada seseorang di belakang tubuh mereka.

Ella tidak tahan. Entah hantu apa yang merasukinya, kaki pendeknya terus melangkah menuju para anak perempuan yang tengah tergolek di atas tikar—dengan buku cerita di masing-masing tangan mereka.

Setelah berdiri tepat di atas kepala rambut-rambut kepang itu, sinar matahari sontak terhalang oleh badan Ella, menutupi buku bacaan dari cahaya. Para anak perempuan mendongak disertai kerutan tajam di dahi mereka.

"Kau oke?" tanya salah satu anak, memiliki rambut kasar sewarna coklat lumpur.

Namun, sebentar, bukan itu kata pertama yang harus keluar dari mulut mereka setelah melihat Ella, maksudnya—begini, bukankah seharusnya Ella mendapat pujian lebih dulu? Tentang betapa cantik sekali dirinya, oh, jangan dulu berkata bahwa Ella mirip seorang Putri, belum waktunya. Yah, minimal mengatakan, 'Wah!' atau, 'Halo.' 'Hai, Siapa namamu?'

My Possessive Little LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang