.
.
.
.MALAM itu, Ella nyaris bermimpi indah.
Tentang gambaran dirinya sedang berlapis gaun musim panas kuning, dengan rambut tergerai menari-nari bersama udara dan kaki telanjang. Ella berlarian di bibir pantai dalam gerakan slow motion membawa tawa lepas—suara yang indah dan menyenangkan. Ketika Ella menoleh ke belakang, ada satu sosok turut mengejarnya dalam tempo lari yang sama: seorang lelaki jangkung sedang tersenyum memesona hanya kepadanya. Tangan lelaki itu terjulur ingin meraih Ella.
Siapa dia?
Kenapa wajah lelaki itu buram dan hitam?
Hitam.
Gelap.
Ella membuka mata, tersentak, kembali pada kesadaran. Alih-alih pemandangan bernuasa pastel yang menyambutnya, kamar ini—seluruh ruangan—sedang gelap total.
Sambil mengerjap-ngerjap dan bernapas dengan rakus, tangan Ella mulai meraba tempat tidur, mencari sebuah ponsel namun tak kunjung menemukannya. Ia lupa letaknya dan terlalu sibuk untuk berpikir.
Mati listrik.
Ella tidak suka kegelapan. Napasnya menjadi berat. Jantungnya seakan tak berdetak. Air matanya mulai merebak. "Jaac..." lirihnya.
"El?" Pintu kamarnya menjeblak terbuka. Entah siapa yang melakukan kekerasan itu, namun Ella harap sekarang dia tidak sedang bermimpi.
"Jaac?" panggilnya memastikan.
Sesuatu yang hangat dan empuk meraup muka Ella; telapak tangan Jaac. "Aku di sini."
Ella duduk dan menangkap tangan kakaknya. Mendekapnya erat, menyandarkan pipinya pada bahu Jaac, dan terus berusaha bernapas normal sampai kepanikannya hilang.
"Aku di sini." ulang Jaac. "Ayo kita turun. Pegangan padaku."
Ella mengikuti intruksi Jaac. Mereka beranjak, berjalan menuju pintu kamar dengan meraba-raba. Jaac memimpin jalan dengan Ella yang memegangi tangannya
"Kenapa kau tidak bawa senter, Jenius?" bisik Ella. "Minimal ponselmu."
"Aku baru naik tangga saat listriknya padam." jelas pemuda itu. "Kalau aku mencari benda itu, mungkin kau sudah menjerit sekarang karena aku lama datang."
Tentu saja. Ella tidak membalas lagi. Jaac menariknya lebih dekat. Berganti memegangi bahunya agar Ella tidak terbentur dinding atau tersandung karpet. Ella yang tidak mau kalah melingkari tangannya pada pinggang Jaac.
Mereka terlihat menyedihkan. Ella menyalahkan Jaac atas acara penyelamatan yang tidak keren ini.
Berkali-kali mereka menjalani keadaan krisis ini, Jaac tidak pernah lupa membawa sebuah lentera untuk memandunya.
Ya. Memang berkali-kali.
Sejak kecil, kegelapan total merupakan musuh besar Ella. Barangkali musuh abadinya. Jaac tahu itu, karena dia yang merasakan asam pahitnya merawat Ella sedari balita. Dahulu, begitu kegelapan datang, Ella akan menjerit-jerit meminta tolong seakan dirinya diculik alien. Dan anehnya, Ella selalu saja tahu ketika listrik padam, kendati sebelumnya sedang tertidur pulas.
Nah, apa-apaan sikapnya ini? Kenapa dia takut gelap sekaligus tidak menyukai cahaya terang? Ella tak tahu jawabannya.
"Kita mau kemana?" tanya Ella heran karena Jaac membawanya menuruni undakan menuju dapur, alih-alih ke taman belakang untuk menghidupkan genset. "Kurasa pintu belakang ada di arah jam 9, Jaac."
"Mencari lilin dulu, dong."
"Oh, ya."
Jaac meraba lemari gantung, lalu membukanya. Kemudian meraba lagi. Dengan Ella yang memegangi dan membatasi gerak-geriknya, butuh waktu lumayan lama untuk menemukan lilin dan menyalakan pemantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Little Lady
Romance#Romance #Drama #(A little bit)Comedy •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• Bastian bersumpah kalau Bella dulunya adalah bocah perempuan yang manis walau agak merepotkan. Sekarang, 7 tahun telah berlalu. Bella membuat peru...