13. Isabella

17 0 0
                                    

RUANGAN persegi bernuasa cream itu dipenuhi dengan aura kebahagiaan. Helmina terbaring lemah, tersenyum penuh haru, berwajah pucat, mata tajamnya berubah sayu setengah mengantuk. Jauh berbeda sekali saat melihatnya mengajar di sekolah. Div duduk, menggenggam tangan dingin wanitanya, mengecupnya berkali-kali. Beberapa meter di samping tempat tidur, hampir dekat tembok di seberang, ada sebuah tabung bayi beserta isinya.

Jaac dan Bastian menghampiri Div, menyalaminya, mengucap selamat, bernostalgia. Fabian mendekati sang bayi perempuan yang tertidur. Ella duduk di kursi, di sisi Helmina.

"Bagaimana keadaan Anda?"

"Tak pernah lebih baik dari ini. Terima kasih banyak atas bantuan kalian... Maaf, lenganmu tidak apa-apa? Aku sempat menekannya kuat sekali."

Ella tersenyum. "Anda tidak menyakitiku. Jangan khawatir."

Helmina menggenggam tangan Ella. "Tidak usah berbohong demi menyenangkan hatiku... Nah, lihat, semua berjalan dengan lancar. Aku sehat, bayiku juga demikian. Kau masih muda, tidak seharusnya melihat yang seperti itu di dalam mobil. Kadang-kadang bisa berujung traumatis. Kejadian itu... jangan dikenang-kenang lagi, ya. Tidak semua wanita saat melahirkan mengalami hal yang sama denganku. Sebenarnya, aku saja yang tidak kuat menahan rasa sakit."

"Aku tahu, yang terjadi pada Anda bukan bagian terburuknya, Frau." Ella berkata spontan.

Helmina mengerutkan dahi, yang terlihat seperti mengejan. "Kau pernah melihat yang lebih parah dariku?"

Ella menggeleng. "Secara langsung tidak pernah, kecuali Anda. Aku hanya... tadi aku takut sekali Frau pergi. Seperti Mamaku."

"Pergi?"

"Iya. Mama tidak selamat saat melahirkanku."

Helmina terdiam, bertambah pucat. Matanya melirik sejenak pada Jaac yang berbincang seru bersama Div dan Bastian di sofa.

Ella melanjutkan. "Tadi itu... fatal. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan tidak bisa bergerak sementara Fabian berteriak, Frau menjerit. Mr. Div benar, seharusnya kami tidak memaksa berkendara padahal aku bisa menelpon ambulans. Makanya aku berpikir, kalau Anda juga seperti Mama, aku akan menyesal seumur hidup."

Helmina terdiam sebentar, lalu berujar, "Bukan salah kalian. Aku yang bersikeras naik mobilku, ingat? Aku akan menjelaskannya pada suamiku. Dan menurutku, keterpurukan bukan jalan yang sehat, Nak. Itu sama saja dengan tidak menghargai kehidupanmu sendiri sementara kebanyakan orang terus berdoa agar dipanjangkan umurnya--diberi kesempatan untuk menikmati dunia dari sisi baik, termasuk mengumpulkan bekal untuk akhirat.

"Hidup akan terus berjalan. Apapun yang telah terjadi, bisa kita ambil sebagai pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Percayalah bahwa pelajaran hidup akan memberi kita kekuatan yang setimpal. Bahkan pepatah bijak mengatakan: akan ada pelangi setelah hujan." Frau Helmina tersenyum tipis, bertanya hati-hati. "Dan kau, dengan pemikiranmu yang seperti itu, apa selama ini kau menyesal karena selamat sendirian sementara Mama-mu tidak?"

Ella menegang. "A...aku tidak... Frau, apa aku berdosa karena tidak menyesal? Apa benar akulah yang telah membunuh Mama?"

Jantung Helmina mencelus. Perutnya mulas seketika, maka ia mengernyit menahan sakit. "Aku salah bicara. Maafkan aku. Dan tidak, Nak, kau bukan ... seperti itu. Prasangka yang tidak masuk akal. Justru Mamamu-lah yang berkorban, bukan sebaliknya. Duh, kita sudahi sebentar--Div!"

Melihat Helmina menggeliat, Ella turut bergerak panik. Pria yang dipanggil muncul senyong-konyong, "Apa? Apa yang sakit?"

"Aku mau duduk."

Bastian dengan sigap membantu mengatur tempat tidur, memudahkan Helmina duduk bersandar. "Anda punya keluhan, Frau?"

"Tidak, tak apa. Aku cuma capek terlentang terus."

My Possessive Little LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang