1. The Prince in Trouble

265 8 0
                                    

.
.
.
.

2017


SEPASANG kaki panjang nan ramping yang dibalut celana hitam itu melesat keluar dari pintu kereta. Milik seorang pemuda jangkung yang amat menawan dengan tubuh tegap berlapis kemeja putih. Dia terus berlari. Kepala menoleh-noleh ke segala arah. Rambut legamnya yang lebat namun lunglai bermain dengan angin hingga menari-nari keatas-bawah mengikuti irama larinya. Netra biru gelapnya mencari-cari; menatap liar, menyelidiki sekaligus menuduh pada siapapun yang dilihatnya. Bahu keras dan lebarnya menyenggol beberapa orang—menyebabkan mereka murka. Walau mendengar kata sumpah serapah ditujukan padanya, maaf saja, ia tidak peduli.

Darah di kepalanya lebih mendidih dari mereka, tentu saja. Hal yang luar biasa penting saat ini adalah mengejar koper dan tasnya. Kedua benda itu mendadak raib saat ia ketiduran di dalam kereta bawah tanah. Dia yakin barang-barang itu hilang, alih-alih lupa meletakkannya.

Nah, ditengah 'keasyikan' melakukan aksi kejar-mengejar ini, sekarang earphone kelabu-nya berulah. Benda itu terlepas dari telinganya dan meluncur jatuh di lantai, yang kontan mendapat tekanan mantap dari sepatunya.

Krakk.

"Shit."

Benar-benar menghambat laju larinya. Pemuda itu berhenti. Dia menggigit lidah demi menghentikan apapun yang hendak ia lontarkan; sebuah teriakan, misalnya.

Dengan napas memburu dan hati teramat dongkol, ia memungut kabel earphone bagus itu, melepaskan colokannya dari ponsel, lalu membuangnya ke tong sampah terdekat.

Berhubung sedang memegang ponsel, ia jadi ingat dan tahu harus menghubungi siapa dalam kondisi terjepit seperti ini. Kakinya mulai melangkah lagi, tergesa-gesa. Jemarinya menggosok hidung karena mencium aroma yang tidak sedap dari ... dari mana itu tadi?

"Halo—" kata suara renyah di seberang.

"Aku dirampok."

"What?! Kau baik-baik saja, man?"

"Tas dan koperku dibawa kabur." keluhnya. "Semua berkas-berkas ada di dalam sana. Surat-surat itu juga..."

"Ya ampun! Hilang?! Itu kelalaian besar! Maksudku... Bagaimana bisa? Oke, kau dirampok. Tapi, itu agak tak masuk akal. Sebuah kesialan sepertinya bukan jalan takdirmu, jadi sekarang kau memang tertimpa sial?"

Entah temannya itu bermaksud memuji, mengejek, menyindir atau sedang tolol. Yang manapun, ia hanya membalas kalem. "Begitulah."

"Yah, oke, lalu apa? Kau mau pulang tapi tidak punya ongkos... Oh," tiba-tiba temannya mengerti. "Aku tahu tabiatmu. Kau mengadu padaku supaya aku mengatur ulang berkasnya dan mengirim melalui e-mail?"

Lagi-lagi jawabannya tenang. "Tanpa tanda tanya, Ben."

"Apa pun demi Sebastian Blake." temannya menggerutu. "Seandainya kau di sini, akan kusuruh kau bersujud. Jadi, uang sakumu bagaimana?"

"Trims. Dompetku aman."

"Beruntung. Oke, barangkali ini hanya membutuhkan dua hari—hanya dugaan kotor. Dan sementara menunggu 48 jam berlalu, kau bisa berjalan-jalan menikmati kota metropolitan itu. Olahraga pagi sambil memandangi pantai terdengar bagus, tapi di malam hari sebaiknya kau datang ke Bar untuk berkenalan dengan gadis-gadis seksi berkulit coklat. Aku sama sekali tidak keberatan kau menyinggung-nyinggung namaku di depan mereka—termasuk nama belakangku, tentu saja..."

"Dua hari." balas Bastian jengah. "Kalau lebih, katakan selamat tinggal pada Pedro."

"Hei, apa-apaan itu? Kau mengancam menghancurkan mobil kecil kesayanganku untuk lima berkas omong kosong?"

My Possessive Little LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang