satu

9.6K 417 29
                                    

Jika hatimu tak mampu di ajak berteman, maka bersahabatlah dengan logikamu.

--------------------------
Krist POV.
-----
Pernah memberatkan hati hingga ia lelah dengan sendirinya, kemudian mencoba bersahabat dengan logika dan aku menemukan bahagia.

Enam tahun bukan waktu yang mudah. Aku mencintainya, menyayanginya, menerimanya, mempercayainya. Aku selalu dan selalu menomorsatukan dia atas segala pilihan kehidupanku. Aku selalu membenarkan dia atas segala tindakannya. Aku selalu memaklumi kesalahannya hingga maklum itu menjadi biasa.

Tujuh tahun yang lalu saat ia mengejarku, aku menolaknya, lagi, lagi dan lagi hingga ketiga kalinya aku menolak.

Enam tahun yang lalu aku mencoba menerimanya, membuka kecil pintu hatiku. Tanpa niat serius aku hanya mencoba membukakan pintu hati untuknya, hanya mencoba.

Enam tahun lalu aku menerimanya, menerima dia sebagai kekasihku, kesalahan demi kesalahan yang ku lakukan, kesalahan demi kesalahan yang ia lakukan membuat kami semakin kuat ku kira.

Pernah ku mencoba melepaskannya empat tahun yang lalu ketika aku merasa terpuruk, tertekan atas semua tindakannya, tertekan akan dirinya.

Hingga setahun kemudian ia datang saat aku dekat dengan yang lain, mengatakan jika kami masih bersama, membuat aku berfikir jika aku sudah menerimanya, membuatku berfikir untuk kembali menerimanya, berfikir lagi untuk menjalin kasih dengannya. Dan saat itulah aku kembali terjatuh pada pesonanya, kembali terjatuh pada dirinya.

Hinga satu bulan yang lalu aku masih menerimanya, namun sebuah kesalahan yang tak mampu ku tolerir membuat hatiku lelah. Kesalahan yang sama telah ia lakukan empat kali, kebodohan yang sama telah ku biarkan tiga kali. Dan kesalahan ke empat tak mampu ku tolerir lagi. Ku biarkan ia terlepas, aku mencoba bersahabat dengan logikaku karena hati yang telah lelah memaklumi enam tahun ini.

Aku mencoba menanamkan kata ikhlas di hatiku saat logikaku meminta. Ku biarkan logikaku memimpin hatiku untuk melangkah. Ku biarkan logikaku egois mencari bahagia untuk hatiku yang lelah.

Aku biarkan ini sebagai pelajaran hidupku, ku biarkan hati ini kosong untuk sementara. Aku kembali menghubungi teman - teman yang pernah ku lepas demi dirinya. Aku tak pernah menyesali enam tahunku untuknya, aku hanya menyesali tak mampu membuatnya bertahan hingga ia berpaling. Aku menyalahkan diriku atas kesalahannya. Dan hingga saat ini aku masih berdoa semoga ia bahagia, mendoakan kebahagiaannya atas semua ini.

Dan itulah sebuah alasan yang membuatku duduk disini menikmati secangkir kopi hangat di atas mejaku, aku Krist Perawat Sangpotirat. Semuanya memanggilku Krist, seorang editor novel yang bekerja pada sebuah perusahaan penerbit.
.
.

Pagi ini, aku tengah berada di tempat kerja, bekerja seperti biasa sebagai seorang editor novel. Tak banyak hal yang kulakukan selain mengecek setiap hasil tulisan para penulisku.

Aku tengah duduk bersantai di kursi kantorku, menunggu seseorang yang membuat janji denganku melalui pemimpin perusahaanku. Hingga seorang pria berjalan menghampiriku.

"Perawat Sangpotirat?" Kalimat pertama yang ia ucapkan adalah namaku.

"Krist, silahkan memanggilku Krist. Anda?" Aku berdiri dari dudukku meraih tangannya yang mengulur untuk bersalaman.

"Prachaya Ruangroj, anda bisa memanggilku Singto" dia tampak ramah. Aku tersenyum sembari mengangguk mengerti, jika ia adalah putra dari keluarga Ruangroj, pemilik perusahaan ini.

"Anda putra dari tuan Ruangroj?" Aku sedikit ragu ketika mengucapkannya.

Namun pemuda ini tersenyum dan mengangguk untuk membenarkan kalimatku.

"Aku baru saja kembali dari Jepang. Aku tau kau adalah editor terbaik di perusahaan ayahku. Aku ingin menawarkanmu untuk bekerja denganku sebagai editor pribadiku. Bagaimana?" Dia sangat sopan dan santun ketika berbicara, tapi tak ada sedikitpun keraguan dalam kalimatnya.

"Editor pribadimu?" Aku ingin memastikan jika aku tidak salah dengar.

"Editorku sebelumnya adalah seorang perempuan, karena dia baru saja menikah, ia memilih untuk mengundurkan diri. Jika kau berminat, kau akan tinggal bersamaku di Jepang. Menjadi editor, sahabat, rekan, dan juga keluarga untukku. Kau harus tinggal bersamaku, mengontrol jadwal penulisanku, menjaga kesehatanku, dan semuanya tentangku. Editorku sebelumnya menyebut dirinya baby sitter untukku. Tentang gaji-"

"Tunggu..." Aku mencoba menghentikan ia yang terus berbicara tanpa henti.

"Bisa aku memikirkannya?" Lanjutku bertanya, maksudku ini terlalu tiba-tiba. Bagaimana pun aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya.

"Kau harus memberikan keputusannya malam ini. Karena besok pagi kita berangkat. Ini tiket pesawatnya, datanglah jika kau menerimaku..." Ia bangun dari duduknya, meninggalkan tiket pesawat di atas mejaku.

Aku tak habis pikir dengan pemuda ini. Dia tak tampak sombong tapi sikapnya barusan seolah ia yakin aku tak akan menolaknya. Aku tersenyum menyadari ke angkuhan pemuda barusan. Singto?  Jika aku tak salah ingat, itu namanya barusan.

Aku melirik seorang perempuan di sampingku, namanya Jane, dia adalah rekan kerjaku.

"Dia sangat tampan, dan sepertinya pria yang baik. Berbeda dengan pria mu sebelumnya. Enam tahun kau perjuangkan dan kemudian kau lepaskan. Aku penasaran mengapa kau melepaskannya setelah enam tahun kau pertahankan?" Jane bertanya, pertanyaan yang paling ku hindari.

"Tak ada yang perlu ku jelaskan. Lanjutkan pekerjaanmu!" Perintahku sebelum Jane bertanya lebih.

Aku menghubungi sahabatku seperti biasa, ia perlu tau tentang ini.
.
.

"Tee..." Panggilku saat sudah tiba di rumah sahabatku,

"Krist..." Dia datang dengan perut besarnya.

Ya, dia memang sedang hamil.

"Astaga perut ini semakin besar!" Aku menggodanya.

"Jangan menggoda suamiku!" Suaminya datang dari belakang memeluk Tee. Benar, Tee merupakan seorang pria yang bisa hamil dan suaminya adalah orang yang memeluknya, Tae.

"Hanya menggoda sedikit, pelit sekali!" Aku protes pada Tae.

"Ku dengar kau baru saja putus? Tee cerita semalam." Tae memeluk Tee dari belakang.

"Hahaaa.... Bukan aku yang bertingkah Phi... Ku rasa, dia mungkin hanya menungguku mundur." Aku tersenyum, aku sudah tau pertanyaan ini akan muncul, enam tahun aku menjalin kasih dengan dia pasti akan membuat banyak orang bertanya, penyebab kami berakhir.

"Kau sudah melakukan yang terbaik..." Tee mengelus ujung rambutku.

"Ah, lupakan soal itu, kenapa kau kemari? Menganggu pasangan yang sudah menikah itu dilarang loh!" Aku kesal jika Tae menggoda seperti ini.

"Itu... Aku mendapatkan tawaran pekerjaan. Seorang penulis novel yang terkenal. Ia tengah menulis di Jepang, jika aku mau aku harus berangkat dengannya besok pagi. Aku ingin bertanya tentang pendapat kalian..." Aku berjalan menuju sofa, lelah jika berdiri di ambang pintu masuk seperti ini.

"Apa kau menginginkannya? Kau yang menjalaninya Krist..." Tee berucap sambil menyusul duduk di sampingku.

"Entahlah, ini terlalu tiba-tiba untukku..." Aku menghela nafas, membaringkan tubuhku di sofa, menjadikan kaki Tee sebagai bantalku, dan mengusap perut besarnya.

"Pergilah! Cari suasana baru! Mungkin kau bisa menemukan cinta baru disana..." Saran Tae sebelum tangannya memukul tanganku yang menggoda Tee.
.
.
.
.
.

TEBECEH

Bagaimana pendapat kalian tentang tulisan ini?

It's Love (SK) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang