Rencana....?

1.2K 17 0
                                    

Helaan kecewa Levin yang hari ini setidaknya sudah didengar lima puluh kali oleh Gina, mulai membuat gadis berambut panjang itu frustasi. Ia, bagaimana pun juga, tetap merasa punya kewajiban untuk menghentikan helaan serta ekspresi kusut Levin yang disebabkan oleh sebuah alasan konyol: Petir, si prince charming dari Bogor, ternyata tidak menempati kelas yang sama dengan mereka. Sebaliknya, ia satu kelas dengan quenn bee sekolah, yang notabene anak TER-populer, TER-cantik, TER- pintar, TER-gaul, serta banyak TER-TER lainnya.

Alun-alun kota yang telah lama jadi tempat favorit berbagi cerita, kembali didatangi oleh sepasang sahabat itu. Gina, dengan wajah ceria yang dibuat-buat. Serta Levin, dengan air muka tak bersahabat yang sangat tidak menyenangkan untuk dilihat.

"Vin? Duileee jutek amat? Masih mikirin Si Petir itu?" Gina menyenggol bahu sahabatnya ketika mereka telah menempati undakan alun-alun kota. Bibirnya membentuk cengiran lebar.

"Bukan gitu, Gin! Maksud gue, kan nyebelin banget kalau nanti dia cinlok sama si quenn bee najong itu! Ya emang sih, gue gak punya hak untuk ngelarang. Tapi kannn..."

"Yena playgirl? Atau sombong? Atau terlalu sempurna untuk Petir? Ya ampun, udah deh. Lo konyol banget tahu gak?" potong Gina, dengan sedikit intonasi menghina.

"Kok lo malah belain Yena sih?!" ketus Levin tak terima. Wajahnya ia palingkan dengan satu kali hentakan.

"Baby, bukan gitu. Lo pikir aja deh. Rugi banget kalau lo sampai galau berhari-hari kayak gini, karena si Petir itu. Maksud gue, dia bahkan gak kenal lo. Kalaupun Yena sama Petir jadian, mereka gak akan peduli sama lo yang semaput sampai mati karena dengki!"

Mau tak mau, Levin membenarkan ucapan Gina. Memang faktanya, sekalipun ia memendam dengki karena alasan tolol yang bahkan belum dapat dipastikan kebenarannya, Petir atau Yena atau mungkin seluruh manusia di bumi (kecuali Gina pastinya), tidak akan memedulikan perasaannya. Lagi pula, Petir bahkan tidak tahu ia ada di dunia.

"Sssttt!!! Petir tuh, lagi sama temennya yang dari Bogor juga!" bisik Gina, sambil memberi isyarat tentang seorang cowok dengan gitar di pangkuan yang tengah berbincang di sudut lain alun-alun kota.

Melihat binar di mata Levin, Gina berinisiatif untuk membimbing sahabatnya itu menuju tempat dimana Petir mulai memetik senar gitar.

"Heh? Mau ngapain sih?!!" Pekik Levin heboh ketika sadar bimbingan Gina mulai berputar haluan jadi paksaan.

"Gue gak tahan ngeliat lo galau tiap hari!" jawab Gina dengan senyum iblis di wajahnya.

Memutuskan untuk tidak jadi pengecut yang hanya bisa memandang dari jauh, Levin menyerah pada dorongan kasar Gina di punggungnya. Dan ketika mereka telah sampai di hadapan kedua tujuan akhir mereka, tidak ada yang bisa dilakukan Levin selain menunduk dalam dan memandang kerikil di bawah kakinya seolah itu benda paling menarik di dunia.

Melihat gelagat sahabatnya, Gina berbisik pelan, "ngomong dong, Vin?! Lo mau jadi kambing congek di depan dia??!"

Menelan ludah, Levin menggeleng pelan. Sementara mata coklat Petir terfokus pada wajahnya yang bersemu merah, Levin mengeluarkan suara pertama miliknya.

"Enggg... Lo... Petir kan?"

Dengan satu kali anggukan angkuh, Petir sukses memporakporandakan debar norak tak menentu dalam dada Levin.

Gina, merasa kasihan sekaligus sedih melihat kesalah-tingkahan sahabatnya, berinisiatif untuk memulai pembicaraan dua arah.

"Ohhh? Jadi lo ya yang namanya Petir?" ujar Gina dengan gaya sok akrab yang, jujur saja, menyebalkan lagi memuakkan.

Petir melirik teman disampingnya, lalu menjawab Gina dengan alis yang terangkat sebelah. Tapi Gina, seolah memiliki kulit wajah kedua, malah tersenyum manis mananggapi sikap sinis Petir. Terpaksa, Petir memberi pertanyaan pembuka yang diarahkan pada Gina.

"Mau ngapain?"

Heboh, Gina menjawab antusias, "gini loh, kita mau promosiin sister school program ke Korea. Kebetulan, gue sama LEVIN jadi panitia"

Pandangan bertanya Petir yang cenderung merendahkan, tetap tidak meruntuhkan semangat Gina untuk menjalankan rencana yang telah disusunnya sejak lama. Sejak dilihatnya semangat Levin mengendur lima hari belakangan.

"Sori, gak berminat"

Mendengar jawaban ketus Prince-Charming-from-Bogor, Gina hanya memberi jawaban berupa lirikan tak bersahabat, lalu mengalihkan perhatiannya pada cowok berambut kekuningan di samping Petir. Sesuatu dalam dirinya berdesir saat melihat tatapan antusias si cowok berwajah latin tersebut.

"Eh, lo yang ikut ekskul pecinta alam juga kan? Siapa namanya? Zak? Zey? Jey? Jay??" Gina berusaha megingat.

"Gue Zack. Iya, anak pecinta alam juga. Bisa jelasin soal sispro tadi gak?"

Gina memberi senyum manis, lalu mengangguk-angguk bersemangat.

"Bisa banget dong..., jadi gini. Sebenarnya kalau mau ikut, kita udah bisa berangkat bulan depan. Soal biaya bisa dikasih rinciannya nanti aja kali ya?. Pokoknya, kita pake sistem homestay di sana. Selama sebulan di Korea, kita juga bakal belajar di sekolah internasional-nya. Kadang-kadang, bisa juga studi banding ke sekolah umum. Intinya, kita akan belajar jadi warga negara Korea gitu deh..." cerocos Gina tanpa henti. Wajahnya bahkan memerah kekurangan oksigen.

"Ngapain coba? Lo serius mau ikutan program gak jelas gitu Zack? Jadi WNI aja belom becus, buat apa nyobain jadi warga negara lain?" ungkap Petir sinis.

Zack tidak menggubris, ia justru memberi pertanyaan tambahan pada Gina. Pertanyaan penuh harap yang membuat hati cewek ceria itu meledak-ledak gembira.

"Lo juga ikutan Gin? Emang, semua panitia wajib ikut?"

Gina melirik Levin sekilas, lalu mengangguk ragu-ragu. Bukan karena sebenarnya ia tidak mengikuti program tersebut, tapi karena bualannya soal ia dan Levin yang menjadi panitia program. Mungkin karena kedua cowok itu baru di sekolah, mereka tidak mengetahui fakta bahwa yang berhak jadi panitia sispro hanya guru bahasa asing sekolah, dengan pengalaman mengajar diatas delapan tahun.

"Oke deh, gue bicarain dulu sama ortu. Kalau ada brosur, kasih gue satu ya?" pinta Zack dengan senyum ramah yang terlihat manis di wajahnya.

"Pasti deh. Oh iya, biar gampang ngabarinnya, gue boleh nge-save nomor lo kan?"

Zack tersenyum samar mengetahui niat lain Gina, meski pada akhirnya ia mengangguk, dan mereka bertukar nomor ponsel dengan embel-embel 'informasi lebih lanjut' setelahnya. Sementara itu, Levin hanya mampu menekuk wajah melihat keberhasilan sahabatnya. Dan Petir, yang meski menunjukkan sikap tak acuh sejak awal, tak ayal turut merasa kesal dengan ketertinggalannya.

* * *

"Gin, lo gila apa?! Kalau ketahuan kita gak jadi panitia gimana? Apalagi, gue kan gak mungkin banget ikut program begituan! Lo mau bayarin gue?!" pekik Levin kesal sesampainya mereka di kamar kuning lembut miliknya.

Dengan senyum tak enak hati, Gina menjawab, "Sori deh. Tapi gue jamin mereka gak akan tahu kita bohong..."

"Kita?!"

"Iya, iya. GUE bohong. Lagian kan ada tes supaya bisa gratis ke sana. Lo masih punya waktu dua minggu buat belajar..."

"Heh! Lo pikir aja deh. Dari anak kelas sepuluh sampai dua belas, pada mau ikut tes semua. Lo kira gampang?! Udah gitu, yang bisa dapet tu gratisan cuma satu orang. Mustahil gue bisa kepilih!"

Seiring dengan gelengan putus asa, Gina menjawab, "padahal kalau lo gak nyerah segampang ini, gue udah punya rencana supaya..."

"RENCANA?! Duh, Ginaaaaa. Lo jangan mikir aneh-aneh deh. Menurut pengalaman gue, rencana lo itu selalu kacau. Ujung-ujungnya gue juga yang kena imbasnya!"

Gina berdecak kesal, kemudian berujar, "denger dulu kenapa sih?! Ini kan demi kebaikan lo juga. Lagian, gue udah susah-susah nih nyari inspirasi buat bikin tu rencana!"

Menyerah, akhirnya Levin memutuskan untuk mendengarkan penuturan Gina mengenai rencana yang dimaksud oleh sahabatnya itu.

Star SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang