Fool Choice

1K 15 0
                                    

"Tapi, Bun...??"

"Gak bisa, Levin! Kamu ngerti kata Bunda gak sih?!"

"Bunda, semua biaya kan ditanggung sekolah dan kedubes RI. Kita gak perlu bayar apapun, sedikitpun! Lagian, Levin kan udah belajar mati-matian untuk ini" jawab Levin dengan suara bergetar menahan tangis.

"Bukan masalah biaya..."

"Terus apa? Masalah tadi? Kan Levin udah berkali-kali bilang kalau Levin ke sana untuk cari Bunda. Bukan cari si Petir!" Kali ini sudut matanya mulai basah oleh air.

"Masalahnya, anak itu juga ikut program ini kan? Bunda sendiri yang transfer biayanya ke rekening sekolah tadi siang. Bunda gak mau kamu kenapa-napa, Sayang. Levin kan tahu Bunda cuma punya Levin sekarang..."

Intonasi suara Bunda yang melembut, membuat Levin tak mampu lagi menahan tangis. Meski begitu, ia tidak menyerah.

"Bunda kenapa sih gak bisa percaya sama Levin?! Emang kenapa kalau Petir juga ikut program ini? Emang kami bekalan tinggal satu rumah? Kan enggak, Bun..."

"Kamu harus tahu kalau Petir itu anak gak baik, Vin..."

"Itu bener-bener gak ada hubungannya sama yang kita omongin sekarang, Bun!"

"Tapi Gina bilang..."

GINA!!! Pekik Levin dalam hati.

"Gina bilang... Kamu ikut program ini karena Petir"

Berkelit, Levin menjawab, "gimana ceritanya sampai Levin mau ikut program ini gara-gara Petir? Itu gak berhubungan banget, Bun. Levin mau ikut, karena diri Levin sendiri. Bukan karena Petir atau siapapun!"

"Tapi kamu akan tinggal di sana sebulan, Sayang. Dan kamu bahkan belum ngasih tahu Bunda apa-apa soal program ini sampai sekarang"

"Itu karena Bunda gak nanya. Bunda mungkin gak sadar kalau Levin cuma tidur tiga jam selama dua minggu terakhir ini untuk belajar. Bunda mungkin gak tahu kalau Levin sholat tahajjud tiap malam di kamar. Dan bahkan, Bunda mungkin juga gak tahu kalau sekarang Levin punya kebiasaan baru!"

Bertepatan dengan teriakan itu, setetes cairan warna merah mengalir dari hidung Levin. Buru-buru dihapusnya cairan itu dengan punggung tangan, sebelum Bunda berhasil memberi reaksi apapun terhadapnya.

"Bunda sadar gak sih, kalau setiap hari kita tuh cuma punya waktu empat jam untuk ketemu. Dan selama empat jam itu, Bunda juga cuma melototin paper dari kantor!" lanjut Levin berapi-api.
Bunda tidak memberi jawaban. Hanya sepasang matanya yang menatap Levin nanar.

Setelah sekian menit diisi oleh hening yang kaku, akhirnya Bunda memberi keputusan.

"Kalau kamu emang mau banget ikut program itu, Bunda gak bisa ngelarang. Tapi kita ke dokter sekarang ya Nak? Mimisan itu..."

"Gak perlu. Oh ya, Levin berangkat ke Korea dua minggu lagi" potong Levin cepat. Setelah itu ia berlalu ke kamar dan diakhiri oleh bantingan keras pintu.

* * *

H - 2 menuju Korea.

"Vin, lo masih marahan sama bunda lo?" Gina bertanya takut-takut. Matanya menghindari tatapan tajam Levin yang duduk di sampingnya.

"Semua itu gara-gara siapa yaaa???" sindir Levin, sambil kemudian mengalihkan pandangannya ke sepiring bubur yang tiba-tiba saja terasa hambar pada suapan pertama.

"Maaf dong, Vin... Waktu itu kan gue panik banget. Secara gitu, bunda lo tiba-tiba nepuk punggung gue terus nanya kenapa gue bisa ada di depan rumah si Petir. Eh, tiba-tiba aja gue keceplosan bilang kalau lo mau ikutan sispro gara-gara Petir"

"Gak ada angin, gak ada badai, pas Bunda nanya ngapain lo di depan rumah Petir, tiba-tiba aja lo keceplosan bilang kalau gue ikut sispro gara-gara Petir? Masuk akaalll. Gue percaya kok!" Ujar Levin sengit.

"Percuma deh kalau gue cerita dari awal. Ujung-ujungnya lo juga gak bakal percaya. Tapi yang pasti, mending lo minta maaf sama bunda lo deh. Dua hari lagi mau berangkat, masa' kalian masih diem-dieman?"

Tidak ada jawaban, sebab pusat perhatian Levin sudah beralih pada seorang cowok yang tengah melenggang santai menuju kantin. Padahal jam istirahat akan berakhir tiga menit lagi.

"Vin?! Ya ampun! Biasa aja kali ngeliatinnyaaa..." goda Gina, dijawab oleh tatapan tak suka dari Levin. Mungkin hatinya masih dongkol mengingat kesalahan sahabatnya itu.

"Duile jutek amat! Udah yuk, masuk ke kelas. Bentar lagi bel, tahu!"

* * *

Bodoh. Benar-benar keputusan bodoh yang didorong oleh gengsi tolol, saat Levin lebih memilih untuk tidak mengacuhkan bundanya selama dua minggu terakhir sejak pertengkaran hebat mereka, sebelum keberangkatannya ke Korea.

Sapaan hangat Bunda, atau sarapan yang sengaja dibuat pagi-pagi sekali sebelum Bunda berangkat kerja (yang tentunya sudah mendingin saat Levin melihatnya terhidang di atas meja) sama sekali tidak disentuh oleh gadis itu.

Levin bahkan sengaja bangun agak siang dan tidur lebih awal demi menghindari bundanya. Idiot.
Aku benci sekali terutama saat ia dengan satu gerakan angkuh, membuang pandang ketika ternyata Bunda telah berada lebih dulu di rumah, menunggunya pulang di beranda dengan senyum terkembang meski tahu putrinya sengaja memperlambat langkah demi menghindarinya.

Aku benci, sangat benci, saat Levin menolak makan malam sementara Bunda telah menunggu di meja makan. Sampai akhirnya wanita paruh baya itu terpaksa memulai makan sendirian.

Aku benci, benciiii sekali, saat Levin tidak menjawab telepon dari Bunda.

Dan yang paling utama, aku menyesali semua tindakan itu dilakukan Levin hingga hari keberangkatannya ke Korea.

Maksudku, siapa yang bisa menjamin sesuatu-hal-yang-bisa-dijamin-dalam-diri-seseorang?

Lupakan.

* * *

"Hati-hati di sana ya, Sayang. Jangan lupa...."

Sebelum Bunda sempat menyelesaikan kalimatnya, Levin telah melompat dari mobil dinas pinjaman Bunda, mengangkut dua koper sekaligus, dan berlari menuju bis sekolah yang (sebenarnya) baru akan berangkat ke bandara setengah jam lagi.

Levin bahkan tidak menoleh saat Bunda memanggil namanya berkali-kali. Seolah ia akan mati jika tidak sesegera mungkin masuk ke dalam bis.

"Vin, lo udah keterlaluan kali ini!"

Kedatangan Levin di bangku terdepan bis, disambut oleh teguran tegas dari Gina. Ogah-ogahan, Levin duduk di samping sahabatnya itu lalu menjawab, "apaan sih, Gin? Bisa gak lo diem aja? Urusan keluarga gue kaliii..."

"Oh gitu? Lo turun dan minta maaf ke bunda lo sekarang, atau lo urus aja sendiri rencana di Korea nanti!"

"Kok lo jadi ngatur-ngatur gue gini!"

"Heh! Lo pikir deh. Bunda lo salah apa sih sampe lo mogok bicara gitu? Dia salah kalau khawatir sama lo? Atau salah karena sempet ngelarang lo ikut program ini?"

Menyerah, akhirnya Levin menjawab singkat, "iya deh, gue minta maaf"

Gina mengangguk-angguk puas saat dilihatnya Levin turun dari bis lalu menghampiri mobil Bunda yang masih menunggu di luar gerbang sekolah bersama belasan mobil wali murid lainnya.

Sayang, Gina tidak tahu bahwa saat itu Levin hanya kembali untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di dasbor mobil.

Dan lebih sayang lagi, karena Gina sama sekali tidak tahu-menahu mengenai sikap kasar Levin yang bahkan tidak melirik bundanya saat pengambilan ponsel tersebut.

Star SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang