First Impression

1.1K 17 0
                                    

"Astaga, Levinn!!" Gina memekik heboh, sementara bola matanya bergerak-gerak cepat menelaah layar laptop dalam pangkuannya.

"Apa sih Gin?" Tanpa semangat, Levin bertanya. Hidungnya kembali meneteskan darah ketika ia berusaha menghampiri Gina di sudut ranjang kamarnya.

"Eh, eh! Ntar dulu. Beresih dulu tu mimisan. Nanti laptop gue kena lagi!"

Menuruti perintah sahabatnya, Levin bergegas keluar kamar menuju kamar mandi di sisi lain rumah perseginya. Kasihan gadis itu. Sudah dua minggu lebih tiga hari berlalu, sejak Gina menuturkan rencana gila nan luar biasa miliknya. Dan karena usaha yang tidak main-main (Levin bahkan hanya membiarkan dirinya tertidur tiga jam per hari selama dua minggu penuh), sekarang hidungnya memiliki kebiaaan baru  : mengeluarkan darah setiap dirinya mulai merasa lelah sedikit saja.

Tapi, tentu saja, karena Tuhan mahaadil, kerja kerasnya itu tidak berakhir sia-sia. Sebab, sesaat setelah Levin masuk kembali ke kamar bernuansa kuning lembut miliknya, Gina memekik memberi kabar gembira,

"Levinnn!!! Lo LOLOS. Lo bisa ke Korea gratisss!!!"

Mendengar hal itu, Levin hanya mampu memberi respon berupa bulir air yang keluar dari sudut matanya, serta senyum kemenangan yang sejak awal memang dirasa pantas menjadi miliknya.

"Gue tadi baca pengumumannya di website sekolah. Dan lo tahu?? Zack juga ikutan!!!" teriak Gina lagi, kali ini terdengar lebih bahagia dari sebelumnya.

"Eh, tapi Petir gimana? Zack udah berhasil bujuk tu orang belom?"

Gina menggeleng pelan, tapi seiring dengan gelengan itu, ia menjawab putus asa, "udah berhasil sih..."

Levin mendesah, berpikir sebentar, lalu memekik kesal, "BERHASIL?! Itu kan kabar baik. Kok muka lo malah nelangsa gitu?!"

Gina memberi senyum jahil, kemudian menjawab, "cuma ngecek konsentrasi lo. Hehehe..."

"Eh tapi, kok dia mau ya? Kayaknya gampang banget dibujuk..." gumam Levin ragu.

"Ya ampun, Vin... Siapa sih yang gak mau nyoba sekolah di luar negeri? Lagian, dia kan tipe orang yang akan ngambil kesempatan apapun asal bisa ninggalin pelajaran di sekolah. Apalagi, ortunya kaya! Cuma waktu itu gengsi aja"

Levin manggut-manggut, berpikir bahwa apa yang dikatakan Gina ada benarnya.

"Udah deh, mending sekarang lo pulihin kesehatan supaya dua minggu lagi bisa berangkat. Jangan lupa kabarin bunda lo. Oh iya, ngomong-ngomong, bunda lo kemana sih? Gue jarang lihat dia akhir-akhir ini"

"Gak tahu tuh, katanya sih lagi ada kerja sampingan. Jadi pulangnya telat terus. Enak kali ya kalau ayah gue masih hidup? Jadi gue bisa curhat sama Bunda kayak dulu, bosen gue cerita ke lo terus!"

Mendengar ucapan sahabatnya yang riang dibuat-buat itu, membuat Gina memberi senyum sedih padanya. Tapi kemudian, memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan, ia berkata, "dasar! Udah untung gue mau denger cerita lo. Mending sekarang kita samperin bunda lo di kantornya deh"

"Harusnya sih jam segini Bunda udah pulang. Mungkin sekarang lagi di tempat kerja sampingan. Kalau lo serius mau nemenin gue ke sana, gue ada nih alamatnya"

"Emang bunda lo kerja apa buat sampingan?"

"Pembantu"

"Pembantu?!! Emang gaji pegawai kantoran kurang?"

"Tahu, tuh. Kata Bunda sih dia disuruh sama temennya gitu..."

"Kok mau?!!" Gina memprotes, matanya bahkan membelalak tak terima.

"Kepo banget deh lo! Tapi intinya, ada anak temen lama Bunda yang merantau gitu ke Jakarta. Dulu, bokapnya anak itu ngebantu Bunda biar bisa masuk ke perusahaan. Jadi mungkin Bunda mau balas budi"

"Jadi bunda lo ngurusin anak itu? Semacem babysitter dong?"

"Ya gitu deh. Tapi kerjaannya, kerjaan pembantu. Jadi sekarang Bunda berangkat jam enam pagi, pulang jam enam sore. Gara-gara tu anak rese!"

"Ya udah, mumpung masih jam empat, samperin aja ke tempatnya sekarang!"

* * *

Mereka tiba di depan rumah bergaya modern minimalis itu tepat pukul setengah lima sore. Sayang, sepertinya mereka harus pulang dengan tangan kosong karena tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Rumah itu kelewat sepi bagi sebuah rumah yang berpenghuni.

"Rumahnya lagi kosong kali, Vin" ucap Gina akhirnya, dengan desahan kecewa.

"Ih, nyebelin banget sih! Udah ah, masuk aja yuk? Pagernya juga gak digembok"

Tanpa mendengar persetujuan Gina sebelumnya, Levin melangkah masuk dengan hentakan-hentakan keras di langkahnya. Baru ketika ia telah tiba di depan pintu utama rumah, Levin menoleh dan memaksa Gina ikut dengan isyarat tangan.

"Duh, nggak deh Vin. Gue tunggu di sini aja"

Menyerah, akhirnya Levin mengetuk pintu itu tanpa Gina di sampingnya. Lima menit tidak ada jawaban, Levin memutuskan untuk memberi usaha konyol: memutar gagang pintu yang seharusnya sudah pasti terkunci. Tapi tidak, ternyata pintu itu segera terbuka pada usaha pertama.

Sesaat Levin melirik sahabatnya -untuk meminta dukungan- tapi ketika dilihatnya Gina menggeleng pelan, Levin memutuskan untuk tidak mendengarkan. Pelan, dimasukinya rumah yang seolah tanpa penghuni di hadapannya.

Hening. Tidak terdengar adanya keberadaan si penghuni saat Levin telah berhasil menjelajah rumah tersebut hingga ke ruang keluarga.

Bukan rumah yang buruk, pikirnya. Properti di dalam rumah bercat putih gading ini terlihat mahal dan tentu saja, modern. Tv plasma besar yang tergantung di sudut ruang keluarga sepertinya sorot utama dari ruangan itu. Sofa besar hitam dan beludru di bawahnya... belum lagi lukisan dan segala pernik-pernik lain seperti kura-kura awetan sebalah sana... benar-benar menggambarkan kepribadian si pemilik yang dewasa dan berkelas.

Tapi, seandainya ia memang dewasa (dan mungkin saja, berkelas) untuk apa ortu orang itu meminta bunda untuk menjaganya? Benar-benar tidak masuk akal.

Senandung kecil dari balik punggung Levin, membuat gadis itu berdiri kaku seketika. Wajahnya berubah pucat ketika mendapati seorang cowok dengan dada telanjang, tengah menatap tajam ke arahnya.

Belum sempat ia berkata-kata, si cowok mendesis dingin, "ngapain lo ke sini?"

Segera setelah mendengar suara itu, Levin merasa bahwa sebaiknya bumi segera menelannya sebab -apalagi kalau bukan karena- ia tahu persis siapa pemilik desisan sinis itu.

"S-ssori, gue lagi nyari orang di sini..." katanya dengan wajah merah yang tertunduk malu.

Petir melengos tak peduli menuju sofa hitam mewah tak jauh darinya, kemudian mulai menyalakan tv. Tanpa benar-benar ada niat untuk menontonnya.

Setelah sekitar sepuluh menit berlalu dengan keheningan yang mencekam (tentu dalam sudut pandang Levin), Petir menggumam pelan sambil menepuk tempat di sampingnya, "gak sekalian aja duduk di sini?"

Dengan rasa malu yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun, Levin memalingkan wajahnya lalu berkata, "enggak usah deh. Gue balik aja sekarang..."

Tapi ketika ia berbalik, dilihatnya bunda kesayangannya tengah melongo tak percaya. Genggaman Bunda pada dua buah kantung plastik besar di tangannya, mengendur saat dilihatnya Petir yang setengah telanjang, tengah menonton dengan penuh otoritas tak jauh dari putrinya yang tercenung dengan wajah semerah tomat.

Dengan satu kali gerakan tangkas, Bunda berhasil melakukan beberapa tindakan sekaligus: mencabut kabel televisi, memaksa Petir memakai kaos, dan menyeret Levin keluar rumah.

"Kita bicarain ini nanti. Pulang sekarang!" desis Bunda sesampainya mereka di depan pagar. Dan dengan sedikit kibasan marah, Bunda berbalik kemudian masuk ke dalam rumah modern minimalis di hadapannya.

"Mati gueee...."

Star SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang