Apakah ada yang sadar kalo aku udah rubah jadwal update aku?
Jadi, mulai sekarang aku bakal usahain untuk update seminggu 3 kali. Tapi, mungkin bakal butuh penyesuaian secara aku kalo nulis itu kayak siput alias gak selesai-selesai.
SELAMAT MEMBACA~
"Kalo suatu saat nanti ada cowok yang berhasil merebut hati kamu. Biarlah aku menjadi yang pertama kali tahu siapa sosok beruntung itu." Ujar Axel disertai senyuman tulusnya.
Tepat pada hari ini yang Axel harapkan hanya satu. Agar dia bisa merelakan perempuan di hadapannya ini seutuhnya bila kelak hari itu datang. Hari dimana hati Azkia sudah tidak dapat diperebutkan karena sudah tidak ada lagi bersamany
Azkia menganggukkan kepalanya tanpa ragu. Entah kenapa Azkia merasa nyaman dengan sosok Axel yang seperti ini. Yang tidak memuji-mujinya, tidak menyanjung-nyanjungnya, hanya bertingkah seperti ini. Seperti seorang teman yang mampu membuatnya betah berlama-lama di dekatnya.
____________________
MISS AMBITIOUS ● 8 | A New Level of Suspicion
Enzo membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa lelah seusai melewati hari yang panjang ini. Entah apa yang baru melintas di pikiran Enzo tiba-tiba saja dia tersenyum, terkikik geli sendiri sambil memandangi langit-langit kamarnya. Tidak ada yang lucu tentang langit-langit kamarnya itu, hanya cat putih polos yang membosankan.
Lantas, ada apa dengan Enzo?
Katakanlah dia gila dan tidak waras. Tapi, entah kenapa dia tiba-tiba saja kepikiran tentang kejadian di perpustakaan pagi tadi. Muka cemberut Azkia, omelannya, bentakannya, dan segala-segalanya. Enzo bahkan tidak pernah menyangka dia akan terkena lemparan buku dua kali oleh perempuan yang sering digosipkan sebagai cewek lemah lembut itu.
CEWEK LEMAH LEMBUT KOK BISA NGEBENTAK SAMPE NGELEMPAR BUKU?!
Enzo semakin terkikik geli saat memikirkan hal itu. Tapi, dia lalu kepikiran tentang Azkia yang tadi juga nyaris menangis. Azkia yang terlihat menahan banyak beban. Dan, Azkia yang... menyindirnya?
Enzo tertawa meremehkan. Dia melirik ke meja di sebelah kirinya yang dekat dengan pintu. Meja kokok dari kayu jati itu. Meja kokoh yang tak pernah mengeluh walau harus menampung beban yang begitu berat. Buku-buku tebal, beserta tumpukan-tumpukan berkas. Enzo yang baru melirik saja langsung merasakan penat.
Coba aja hidup gue semudah yang mereka pikirkan.
Tok! Tok! Tok!
Enzo langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang sudah terbuka lebar. Disitu terdapat seorang perempuan dengan rambut bewarna pirang. Dengan tingkah selayaknya bos besar, dia bersedekap sambil menyenderkan punggungnya ke pintu dengan mata tak lepas dari Enzo yang memutar bola matanya malas.
"Apalagi sih, Jade?"
Jade adalah adik perempuan Enzo yang masih berumur sepuluh tahun. Umur sih sepuluh tapi tingkahnya gak ada imut-imutnya. Dari pemikiran hingga penampilan, semuanya sangat dewasa.
"Temenin ke toko buku." Jangan membayangkan Jade akan merengek-rengek dengan tingkah imut selayaknya anak seumurannya. Dia mengatakannya dengan tegas dan tak terbantahkan.
Namun, Enzo yang sudah terlalu lelah tidak memperdulikannya. "Enggak." Jawab Enzo singkat, padat, dan menyebalkan.
Sama sekali tidak jelas bagi Jade karena dengan tampang tidak peduli, kakaknya itu menolaknya. Jade berdecak kesal, dia mendekati kakaknya itu yang sudah berbalik badan memunggunginya. Dia tidak menghentak-hentakkan kakinya, ataupun menarik-narik tangan kakaknya itu agar menuruti permintaannya. Cukup berdiri di samping tempat tidur kakaknya itu dan membisikkan kalimat ajaib di telinganya. "Anterin aku ke toko buku atau enggak aku bakal laporin ke papa." Bisik Jade penuh ancaman.
Enzo mendesah lelah menatap adiknya yang sudah tersenyum penuh kemenangan. "Jade... please."
Senyuman Jade seketika luntur digantikan wajah khawatir saat melihat kakaknya yang terlihat pucat. "¿Estás bien?" Jade langsung menengok ke belakang ke arah meja belajar itu saat melihat kakaknya menggeleng lemah.
Hati Jade ikut teriris saat melihat tumpukkan berkas di atas meja milik kakaknya. Pantas saja kakaknya itu terlihat kelelahan. Papanya benar-benar keterlaluan.
Sesenggukkan terdengar setelahnya. Jade memang lemah terhadap hal-hal seperti ini. Terhadap kakaknya yang hanya dilihat sebagai aset oleh papa mereka. Terhadap kesehatan Enzo dan juga kehidupan Enzo yang, entahlah... terkekang? Tidak bebas?
Enzo langsung menegakkan tubuhnya saat mendengar sesenggukkan itu. "Hey, I'm okay." Enzo merengkuh adiknya itu ke dalam pelukan, berusaha menenangkannya. Jade langsung menarik Enzo semakin erat, menangis dengan puas di pelukan kakaknya itu.
Enzo tersenyum melihat adik kecilnya yang seperti ini. Hanya disaat-saat seperti ini saja dia bisa melihat adiknya yang terlihat manja dan kekanak-kanakan. Sisi lain dari adiknya yang terlihat lebih normal.
Jade menggelengkan kepalanya mendengar penuturan kakaknya. "No, you're not okay. And don't you dare lie to me!" Jade lalu mengangkat kepalanya. Menatap Enzo dengan serius. "Zo, kamu harus jelasin ke papa kalo papa udah kelewatan gini ngasih tugasnya." Jade terlihat sangat khawatir membuat Enzo tersenyum.
"I'm okay." Enzo mengusap lembut rambut adiknya itu. "You act as if this is the first time seeing me like this." Enzo terkekeh meledek adiknya itu yang langsung berdecak kesal.
"I care about you, okay." Jade meninju dada Enzo dengan kesal.
"Oh really?" Enzo menaikkan satu alisnya.
"Duh... you're all I have. The world's not giving me any option. If I may choose, I'd rather have Shawn Mendes as my brother than you." Omel Jade pura-pura kesal.
"Shawn Mendes?" Tanya Enzo dengan nada meremehkan. "Apa menangnya dia dariku?"
Jade memutar bola matanya jengah. Over-confident as always. "Pertanyaanmu salah. Yang benar adalah apa menangnya kamu dari Shawn?"
"Kamu benar-benar ingin aku menjawabnya?" Tanya Enzo yang sudah memasang seringai andalannya. Percayalah, apapun yang dilakukan Enzo saat seringai itu muncul selalu berakhir buruk.
Jade langsung menggeleng keras. Jade jadi ingat terakhir kali dia menantang kakaknya, dia jadi kepikiran sendiri mengapa dia dulu bisa sangat mengidolakan Manu Rios yang nyatanya memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kakaknya itu. Segala yang dibicarakan kakaknya itu memang fakta. Fakta menyebalkan.
Enzo mengangguk-anggukkan kepalanya, "beneran pengen? Yang pertama tentu saja aku lebih tampan seribu kali lipat dibandingkan dirinya. Jauh lebih kaya dan juga berbakat dalam berbagai bidang..."
Jade segera menutup telinganya lalu beranjak dari ranjang kakaknya itu. Dia tidak mau mendengarkan sepatah kata lagi yang akan meracuni pikirannya. "Ahhhh.... aku gak mau denger kata-kata Enzo!" Teriaknya keras untuk menutupi suara Enzo yang hendak meracuni pikirannya.
Sebelum keluar kamar tapi dia tidak lupa untuk meneriakkan, "gak mau tahu, besok harus anterin aku ke toko buku!"
Enzo terkekeh melihat tingkah adiknya yang menggemaskan itu. Enzo tersenyum seraya mengacungkan jempolnya.
Bedebum!
Dengan tidak santai pintu kamar Enzo Jade banting membuat Enzo terlonjak kaget.
~TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA~
Jadi, ini adalah bagian pertama dari chapter ini, karena aku belum selesai nulis :p Mungkin malem bakal update XD
Jangan lupa follow ig @dsugisan
See u in the next chapter👋
~DSugisan❤
02.07.2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Ambitious
Teen Fiction[DREAM BIG ACADEMY #1] Cinta atau cita-cita? Azkia tidak perlu berpikir berulang kali sebelum menjawab cita-cita, karena memang hal itulah yang paling penting bagi-nya. Belajar siang dan malam hanya untuk mempertahankan beasiswa, Azkia tidak pernah...