Aron menatap benda tipis persegi yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia menarik napas lalu mengembuskannya dengan berat. Hal serupa sudah ia lakukan sejak setengah jam yang lalu.
Sepi.
Biasanya benda tipis itu akan rajin berbunyi. Setiap setengah jam Naya akan rajin mengiriminya pesan singkat, sekadar menanyakan kabar, apa yang ia lakukan, apa yang ia makan, pulang jam berapa, dan lain sebagainya. Terkadang bila tak sibuk, perempuan itu akan menelpon, menyapa dengan suaranya yang ceria, dan memanggil namanya dengan hangat.
Tapi sekarang, tidak lagi. Ponsel itu sepi.
Aron sendiri sudah berusaha menghubunginya, tapi nihil. Telponnya ditolak, pesan singkat yang ia kirim tak satupun yang dibalas. Ia juga sudah berusaha menemuinya, tapi tak berhasil.Apartemennya kosong, di rumah orang tuanya juga tak ada. Naya seolah menghilang. Terakhir kali perempuan itu hanya sempat mengiriminya pesan singkat yang berbunyi: Aku butuh waktu menenangkan diri.
Hanya itu.
Dan itupun Ia kirimkan sekitar sebulan lalu.Sebenarnya ini bukan yang pertama Aron dan Naya bertengkar. Beberapa kali mereka pernah bersitegang karena masalah sepele. Perempuan itu pernah ngambek karena sesuatu hal dan mereka akan saling mendiamkan diri selama satu atau dua hari. Tapi setelah itu mereka akan cepat berbaikan kembali.
Tak pernah mereka berantem seserius ini, apalagi sampai terucap kata putus.
"Telponlah dia lagi."
Joe muncul dari dapur membawa dua kaleng minuman dingin, lalu meletakkannya ke meja, depan sofa.
Pria maskulin dengan tubuh jangkung itu sudah lama bersahabat dengan Aron. Ia yang berinisiatif datang ke apartemen Aron setelah mendengar ia putus dengan Naya. Bahkan jika tidak ada insiden mereka putus, Joe akan tetap bolak balik mampir ke apartemen Aron. Baginya, apartemen Aron adalah rumah kedua.
Satu fakta ironis bahwa ia tak pernah merasa punya rumah sendiri.Joe terlalu kaya untuk mengklaim sebuah rumah sebagai tempat tinggalnya secara permanen. Punya banyak apartemen dan rumah mewah yang tersebar seantero negeri, ia malah lebih sering menghabiskan waktunya di rumah teman wanita.
Terkadang sibuk berpesta, bepergian dari satu tempat ke tempat lain, tipikal anak muda kaya raya yang hobi bersenang-senang."Aku sudah berusaha menelponnya, tapi ditolak terus," jawab Aron.
"Perlu kusewa pasukan khusus untuk membawa Nana ke hadapanmu?" Joe meringis. Ia tahu bahwa Aron tak pernah suka jika ia memanggil Naya dengan panggilan 'Nana'.
Menurut Aron, panggilan Nana terlalu 'intim' dan ia tak suka mendengarnya.Joe sendiri masa bodoh. Walau sering kena damprat Aron karena memanggil kekasihnya dengan panggilan 'intim' tetap saja ia akan melakukannya.
Ia suka memanggil Naya dengan Nana.Nana-nya...
Kesayangannya...
Ngomong-ngomong, ia tak bercanda soal pasukan khusus. Jika Aron berkenan, ia akan menelpon Departemen Pertahanan untuk mengirimkan pasukan khusus dan membawa Naya kemari. Sudah dibilang, kekayaan yang ia miliki sekaligus strata tinggi keluarganya memberinya kuasa yang tak dimiliki orang biasa.
Faktanya, keluarga Joe memang bukan orang biasa. Kakek dan Neneknya pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan, sementara kedua orang tuanya punya kerajaan bisnis yang berpengaruh langsung pada perekonomian.
"Jadi... apa ini berarti kalian benar-benar akan putus?" Joe kembali bertanya sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Aron tak menjawab. Ia duduk membisu di sofa yang berada di seberang Joe. Posisinya tak berubah sejak bermenit-menit yang lalu."Entah." Lirih Ia menjawab.
"Jika kalian benar-benar putus, biarkan aku memiliki Nana," ujar Joe enteng.

KAMU SEDANG MEMBACA
Weak
RomanceKau menginginkannya. Kau membutuhkannya. Kau mencintainya. Dan... Aku bukan dia.