"Pulanglah." Naya berujar lembut. Ia menoleh ke arah jam di dinding. "Ini sudah jam empat pagi," lanjutnya.
Aron yang duduk tak berdaya di sofa, tak menyahut. Semalam ia menginap di sini, di apartemen Naya.
Tak terjadi apa-apa. Pria itu hanya menyeruak masuk, menumpahkan semua perasaannya hingga tak tersisa, lalu duduk meratapi nasib, menangis tergugu. Tak mengira semua akan serumit ini.Mereka sempat ribut, namun sekejap. Setelahnya, Aron menghabiskan waktunya menangis, Naya juga. Hampir semalaman mereka bertangis-tangisan. Menangisi semuanya.
Cinta yang melelahkan.
"Pulanglah. Chaca pasti mengkhawatirkanmu." Naya kembali berujar.
Aron mematung, tak membuka suara, tak pula menatap Naya.
"Kita ... tidak mungkin bersama lagi." Naya menunduk, meremas jemarinya sendiri. "Sudah selesai," lanjutnya.
Aron ikut menunduk, air matanya kembali berjatuhan. Betapa ia telah menjadi pecundang sekarang.
Menyesali semua keputusan yang telah terlanjur ia buat.Naya bangkit, memberanikan diri duduk di sebelah Aron, lalu memeluk pria tersebut. Untuk yang terakhir kali.
"Aku merelakanmu, tulus. Jadi untuk selanjutnya, hiduplah bahagia dengan Chaca. Mari tidak saling menemui lagi agar tak ada yang tersakiti." Ia berbisik dengan suara tercekat.
°°°
Belum ada pukul enam ketika tiba-tiba Joe sudah menyeruak ke apartemen Naya dengan wajah semringah.
"Good morning, Sayang." Ia berucap riang.
Naya yang tengah merapikan sofa tergagap.
Aron baru saja pergi sekitar sejam yang lalu. Memang tak terjadi apa-apa di antara mereka, tapi fakta bahwa pria itu menginap, diam-diam, rasanya Naya telah berkhianat pada Joe."Joe, uhm ...."
Ragu. Ingin ia ceritakan tentang Aron, tapi akhirnya tak jadi. Biarlah.
Toh, Aron hanya duduk-duduk di sofa."Ada sesuatu?" Joe menangkap kegundahan di wajah Naya. Perempuan itu menggeleng.
"Bagaimana makan malammu?" Ia mengalihkan pembicaraan.Dan hal itu sukses membuat binar di mata Joe semakin terang.
"Aku datang ke sini pagi-pagi sekali karena sudah tak sabar untuk bercerita.""Kalau begitu duduklah. Akan kubuatkan sarapan dan kita bisa sambil mengobrol."
"Tentu." Joe berjingkat menemani Naya membuat sarapan dan teh hangat. Tak henti mulutnya bercerita tentang makan malam luar biasa yang ia lakukan bersama papa dan mamanya.
"Aku bahagia sekali, Na. Ini benar-benar momen yang langka. Ngomong-ngomong, aku menceritakan tentang dirimu pada mereka."
"Oh ya?" Naya yang menyimak semua cerita Joe menimpali.
Joe mengangguk.
"Lalu?"
"Mereka ingin bertemu denganmu dan aku iyakan. Jadi ayo kita buat janji untuk makan malam lagi, bersama, kita berempat. Kau, aku, ayah dan ibuku."
Naya menatap pria itu dengan sorot keberatan.
"Aku ... tidak terlalu percaya diri bertemu dengan orang tuamu. Kupikir, ini terlalu dini mengingat kita, yeah, begitulah. Baru saling mengenal."Joe tersenyum.
"Mereka akan sangat senang sekali menyambut dirimu." Ia memastikan."Percayalah," ucapnya lagi.
Naya menggigit bibir. "Baiklah." Akhirnya ia berucap.
Joe tersenyum girang seraya mencubit pucuk hidung perempuan di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Weak
RomanceKau menginginkannya. Kau membutuhkannya. Kau mencintainya. Dan... Aku bukan dia.