10. Bye

1.3K 204 10
                                    

Naya berhasil membawa Chacha ke rumah sakit atas bantuan beberapa tetangga. Dalam perjalanan ke sana, ia juga berhasil menghubungi Aron dan memberitahukan keadaan perempuan tersebut.
Pria itu sampai di rumah sakit sesaat setelah Naya selesai mengurusi beberapa urusan administrasi dan Chacha dipindahkan ke ruang perawatan.

"Bagaimana keadaannya?" Aron bertanya cemas. Napasnya naik turun setelah berlarian di sepanjang lorong rumah sakit.

"Aku tak tahu. Dia belum sadarkan diri." Naya menjawab seraya menyisir rambutnya dengan jemari.

Aron menatapnya trenyuh. Perempuan itu masih mengenakan baju rumahan. Kaos kedodoran dipadu celana longgar di atas lutut dan sepasang sandal jepit warna hitam. Wajahnya masih pucat tak tersapu make up. Sementara rambutnya berantakan belum disisir.

Menyadari tatapan dari pria tersebut, Naya berdehem lalu membuang pandangan.
"Dia datang menemuiku pagi-pagi sekali. Mengoceh ini dan itu, lalu pingsan. Aku panik." Ia buru-buru berujar sembari menyisir rambutnya yang berjuntaian di seputar wajah.

"Tunggulah di sini. Aku akan melihat keadaan Chacha sebentar lalu segera mengantarkanmu pulang." Aron berucap lembut.

Naya buru-buru menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku akan segera pulang dengan taksi. Kau fokus saja mengurusinya."

"Tidak. Aku akan mengantarkanmu pulang. Kau tunggulah sebentar." Aron beranjak menuju ruang perawatan Chacha.

"Aron," panggil Naya lirih.

Aron baru saja hendak membuka pintu, tapi kemudian urung. Ia berbalik dan menatap Naya dengan perasaan campur aduk.
Panggilan lembut ini, menandakan pembicaraan di antara mereka akan berlangsung serius.

"Apakah ... Chacha akan sembuh?"

Pertanyaan yang tak mampu Aron jawab. Karena sejujurnya ia juga tak tahu. Dokter mengatakan, ada kanker di leher rahimnya.

"Dia ... akan sembuh, kan?" Naya kembali bertanya.

Aron menggigit bibir. Perlahan ia mengangguk.
"Dia akan sembuh," jawabnya. “Dokter sedang berusaha menyembuhkannya. Dan aku percaya. Dia akan sembuh.”

Semoga.

“Aku akan melihat keadaannya. Tunggu ya.” Pria itu kembali berbalik.

“Aron …”

Panggilan itu kembali membuat langkahnya urung.

"Kau atau aku yang pergi?"

Aron tertegun. Menelan ludah dengan susah, ia berbalik. Tatapan matanya terlihat benar-benar putusa asa.
"Nay..." Suaranya tercekat.  “Please…”

Naya menggigit bibir getir. Ia mengangkat bahu, tak kalah putus asa.
"Aron , realistis saja. Kita akan terus saling menyakiti jika tetap seperti ini. Bertemu satu sama lain, ini tidak baik. Termasuk untuk proses penyembuhan Chacha. Jadi … ayo segera kita akhiri ini. Kau atau aku yang pergi?”

Aron tak menjawab.

“Mari untuk tidak saling menemui lagi.”

Aron menggeleng samar. “Please, Nay …” Suaranya lirih.

Naya bergerak mendekati pria itu. Ragu, tapi toh ia melakukannya. Memeluk Aron erat.

“Ini pamit dariku.” Ia berbisik.

°°°

Chacha sudah membuka mata ketika Aron menjenguk ke kamarnya. Pria itu tak menyapa. Entah kenapa, ia seolah kehabisan kata-kata.

“Maaf.” Chacha yang membuka suara. “Aku menemui wanita itu. Aku tak bisa menahan diri.”

Aron melenggang gontai ke sofa lalu duduk di sana. Lagi-lagi ia tak bersuara.

WeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang